Monday, December 18, 2006

Tentang Baygon Cair

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak akan pernah
Selesai mendoakan keselamatanmu.
(Dalam Doaku, Sapardi Djoko Damono)

Salam,
Itu sajak Sapardi punya. Aku meminjamnya untuk kalian baca. Sebentar, jangan potong dulu. Kita tidak sedang berdebat tentang doa siapa yang paling manjur di antara kita bertiga. Sebentar, tunggu aku selesai bercerita.

Begini, kalian perlu tahu bahwa sejak aku mengikrarkan diri untuk sebuah proyek 'kecil' bernama Baygon Cair, aku benar-benar gelisah. Olla tak salah, untungnya aku mengucapkannya diam-diam. Tapi bahkan denting paling sunyi sekalipun akan terdengar oleh mereka yang peka.

Aku akan mulai dari kamu; Nad.

Barangkali sore itu jadi hari paling indah buat kita ya? Untung saja aku bukan gay, sehingga ucapanku selepas kita keluar dari taman kota tak perlu kau rekam dalam-dalam. Iya, aku tahu senja itu tersenyum untuk kita. Tapi kita tak boleh tertawa lama-lama. Bukan. Bukan karena aku 'sibuk sekarang, mencoba sebisa mungkin memahami teks-teks dengan huruf tak jelas' seperti yang engkau duga. Saat ini aku sedang sibuk mengumpulkan bahan agar tahun depan aku tak harus menelan Baygon cair. Ketakutan bahwa engkau tak menulis jika tak ada yang ngoyak-ngoyak jelas tak terbukti. Setidaknya kamu selalu berkabar tentang apa yang kamu kerjakan sekarang. Anggaplah itu pemanasan untuk tahun depan.

Kuberi bocoran ya Nad, sejak kita berpisah kemarin, aku sudah menemukan jurus-jurus milik Hemingway dalam In Our Time juga punya Orwell dalam Animal Farm. Mungkin memang daya serapku pas-pasan. Aku tak bisa menemukan apa yang Olla bilang tentang jarak-ruang dalam cerita. Yang kudapat dari Hemingway hanyalah cara menulis dialog. Untuk orang yang 'belum siap menulis novel' -seperti kata mas Allen- sepertiku, itu akan membantu.

Dari Animal Farm, yang menarik adalah bagaimana seorang penulis menyerap pelajaran dari alam sekitar. Kamu sudah pernah membacanya bukan? Nah, betapa cerdasnya Orwell membagi peran. Coba bayangkan kalau Napoleon itu kucing? Atau mengapa pula Boxer seekor kuda dan bukan yang lain? Cermati itu Nad.

Pertanyaanmu sore itu terjawab; aku mungkin sedang sibuk, tapi sibuk untuk sebisa mungkin memahami teks-teks di layar monitor sebagai pemanasan untuk bekerja tahun depan.

Oia, jangan main NFS terus. Setelah monumenmu jadi baru boleh berbuat apa saja.

Untuk Olla,

Bung, saya minta maaf untuk inkonsistensi selama ini. Setelah rencana enam bulan kemarin gagal, terbukti bahwa saya yang paling tidak melakukan apa-apa. Dan saya ingin menebus kesalahan itu. Sudah terlalu lama kita berbual tentang idealisme dan segala hal yang hanya semakin membuat kita kesakitan. Persoalannya jelas, bahwa saya belum memulai. Karenanya saya berharap tiga bulan ke depan cukup untuk menebus hutang-hutang sosial, agar nanti bisa berkonsentrasi menggarap proyek pribadi.

Sungguh, saya berterimakasih telah diberikan rumah untuk belajar. Dari sana kita bisa memompa semangat untuk tetap bergerak dan bergerak. Oia, saya belum sempat ngomong tempo hari; jika nanti anda menemukan 'anak' saya jauh dari apa yang pernah kita diskusikan, semoga anda memaafkan. Entah kenapa saya memilih untuk membuang standar kelayakan yang sudah terpatri selama ini. Maka maaf, jika pengkhianatan kreatif yang saya lakukan nanti membuat anda kehilangan jejak. Barangkali, hanya dengan dekonstruksi paling ekstrim saya bisa terlahir kembali.

Oh, salam hangat saya untuk Budi. Bilang untuk jangan terlalu sering 'menangis' di depan umum.

Demikian kawan. Semoga yang kutulis cukup pantas untuk memberi alasan mengapa aku harus mengutip sajak Sapardi di awal tulisan ini. Tentu, selain sama-sama dikutuk untuk mencintai kata-kata, kita sama-sama dibayang-bayangi oleh dua kata; mati muda. Sebelum itu terjadi kawan, segera bekerja sebelum kamu merasa lelah dan menyerah.

Salam,

Nanang Musha

No comments: