Sunday, December 30, 2007

Re: Kematian Kecil

Surat balasan dari kawan bermimpi, tempat saya pulang ketika memulai pencarian identitas. Haha, dia pasti mencak-mencak jika menemukan tulisan ini. Tapi tak apa, anggaplah ini ganti untung atas catatan harian saya yang ia curi dan ia jahit ulang, lantas dengan semena-mena ia muat di media kampus tempat kawan saya tadi kuliah. Hell yeah!

Date : Wed, 26 Dec 15:47:31 -0800 (PST)

From : padma*****@gmail.com

Subject : Re: Kematian Kecil

To : "Nanang Musha" (n4n4n6m5@yahoo.com)

Salam juga Pak,

Kaget juga melihat namamu di inbox surelku. Kukira kau sudah mati. Ups, sori... sori... kamu masih seneng gojek to le? :P

Pertama, kamu ga perlu minta maaf. Aku ga nunggu kamu. Yen kata anaknya Emha, "kau datang dan pergi begitu saja. Semua kutrima apa adanya." Iya kalo lagi waras, isa dicagerna. Lha kalo lagi kumat? Sampe lumuten ya ga bakalan beredar. Jangankan orangnya, yang kamu bilang mau nyari rekaman band-band Metal berbahasa Arab, sampai sekarang juga belum nyampe. Kalo alesanmu scene musik Timur Tengah ga mendukung untuk itu, yo ra masuk akal. Kalo niat nyari, aturan kan mesti ada, at least di internet. Nyari di myspace kek, apa kek. Kok yo kebangeten men!

Dua, kamu dulu yang sering ngomong jangan gampang ngerasa jadi korban. Kalo itu diterus-terusin, ya sampe kiamat bebanmu ga bakal kurang. Yang ada malah nambah. Heran aku, asline awakmu yen lagi niat, yang mustahilpun bisa jadi nyata kok. Mbok ngelingi jaman jahiliyah dulu. Semua orang geleng-geleng pas kamu bilang mau ke Mesir. Petruk dadi ratu yen jare wong Jogja. Lha gitu kok kelakon? Malah beasiswa pula. Aku bisa keliatan gagah koyo saiki kan usaha mati-matian. Sementara kamu yang dulunya urip nyantai, keluyuran tanpa tujuan yang jelas, kok tetep iso diajeni wong liya?

Aku ngerti kamu paling cuma mesam-mesem yen lagi diceramahi kaya gini. Dan paling-paling kamu ntar mbalesi gini, "Dapurmu pak, mbiyen yen ora ketemu aku opo ra wis dadi bathang." Iya kan? Aku maturnuwun marang awakmu, bener. Kamu yang dulu bisa bikin aku yakin, walau jadi sampah, minimal jadi sampah organik. Di mana dia ada, di situ tanah subur. Nah, kalo sekarang dibalik, sejauh mana tingkat kesuburanmu? Seberapa besar peranmu di komunitasmu, di lingkunganmu? Jajal kapan-kapan kamu cerita.

Aku setuju dengan ucapan pacarmu itu. Toh kamu juga sadar, kondisinya sudah lain, berbeda jauh dengan saat awal-awal kamu di sana. Semoga sisa-sisa tenagamu masih cukup untuk bertarung di sini. Kamu ngerti kan, kota ini udah ga seindah dulu. Bukannya udah ga ada orang baik sih. Mungkin masih, cuman ga kaya dulu lagi. Gara-gara itu juga aku jadi percaya sama omonganmu soal idola. Itu lho, yang kamu bilang jangan mudah silau karena kita kadang-kadang ga terlalu kenal sama seseorang. Miris Nang rasane, lihat orang-orang yang dahulu ngomong dengan berbusa-busa tentang sesuatu yang luhur, sekarang jadi sama najisnya dengan apa yang mereka cela.

Kalau hidup emang pilihan, sulit juga menyalahkan mereka yang memilih menjadi Usman ketimbang Abu Dzar. Lha wong Guevara wae kan sempat dadi mentri to? Arep piye jal? Poinnya, ga akan ada yang menyalahkan kamu kalo kamu emang dengan kesadaran berhenti jadi bohem dan mulai menjadikan anak istri sebagai pertimbangan sebelum melangkah. Tapi ingat lho bos, tenan engga itu yang dimaui kamu? Bener engga bojomu ga merasa bersalah karena kamu kudu kompromi? Apike kamu ngomonglah dulu, ke dia, ke rumah Solo juga, piye apike. Yen dalan lurus ngapain juga kudu banting setir?

Emang berat nebus kebebasan itu. Istilahe Camus: pencinta kebebasan sejati adalah mereka yang menerapkan kebebasan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Yen longgar coba pelajari siroh Eduardo Santos dari Kolombia. Menarik itu, kalau lihat istiqomahnya dia memperjuangkan kebebasan, ga cuma untuk kelompok sendiri namun juga kepada lawan politik dia.

Akhirnya, kamu banyak-banyak ngukur dirilah. Aku kadang khawatir juga kalo kamu lagi kumat arogannya. Bener optimis, tapi kudu dijaga juga terbangnya. Jatuh tu ga enak.

Udah ya. Aku nulise di warnet je, billing kok mlayune koyo setan. Kapan-kapan tak sambung lagi. Pesenku, mumpung masih di sana, kudu ada transformasi. Jangan cuma wacana aja. Mosok bacaan Arab, Inggris, Prancis, pacaran masih Indonesia, Jawa pisan!

Hehehe.. gojek Jhon. Yen sida liburan mrene bojomu diajak yo, pengen ngerti aku.

Nuwun,

Tuesday, October 9, 2007

Kecemasan

Seseorang bilang; acapkali orang mencemaskan masa depan, padahal ia tak cukup mengerti apa yang sedang terjadi saat ini.

Kadang aku begitu. Dihantui kecemasan akut akan sesuatu yang belum tampak, sementara mengeja apa yang adapun aku tak bisa. Saat itu terjadi, biasanya aku cepat-cepat menarik diri. Semacam jeda untuk membaca ulang diri. Masalahnya, kontemplasi membutuhkan waktu. Dan hanya orang tolol yang tak tahu kalimat bijak bestari berikut; waktu tak pernah menunggu. Maka selalu saja ada kesenjangan antara hasil perenungan dengan realitas yang digeluti. Maksudku, ketika merasa selesai dengan satu persoalan, muncul pula persoalan-persoalan lain untuk dituntaskan. Ini bisa memicu masalah besar. Dan ya, aku mengalaminya beberapa hari terakhir. Ketika beberapa orang dalam jejaring sosialku menuntut terlalu banyak di saat harus memecah konsentrasi dalam beberapa hal. Jelas, ada tarik ulur kepentingan di sini. Ujung-ujungnya konflik lagi, belajar dewasa lagi.

Hmm, semuanya akan baik-baik saja. Semoga.

Monday, September 17, 2007

Mereka Berbahagia, Sebenarnya

"Saya pengen tinggal di kampung Om. Mungkin, di pedalaman sekalian. Jauh dari hiruk pikuk peradaban yang riuh. Yang dalam kata sampeyan cuma berisi iklan, baliho, konsumerisme akut yang cuma bikin pengen muntah..."

"Bangun di pagi hari dan menghirup harum sirih. Mandi di sungai lalu berangkat; mengajar anak-anak mengeja a, b, c, d. Hmm, cita-cita petualang."

"No no. Ga seagung itu. Justru saya lelah. Ingin bersembunyi saja. Menjauh dari sesuatu yang mereka bilang agung dan sakral."

"Sayangnya, orang-orang seperti kita tak akan sampai hati berdiam diri. Berlagak pilon, pura-pura tak sadar ada arus besar yang menggerus sisi kemanusiaan kita. "

"Haha. Mungkin begitu. Pasti kita terpanggil."

"Atau dipanggil?"

"Apapunlah."

"Ya apapunlah. Sampai kita kelelahan. Tak sempat lagi membaca buku-buku di rak berdebu karena semakin jarang disentuh, tak sempat lagi bersantai di tepian Nil, tak sempat lagi mengisi kekosongan batin."

"Tak ada waktu lagi untuk mencari rekaman-rekaman baru, film-film bermutu."

"Perpustakaan. Antum kapan terakhir ke sana?"

"Iya. Hahaha."

"Dan kita merasa lelah. Sangat lelah."

"Hmm, tapi... sebenarnya kita bahagia kan?"

"Mungkin. Kita bahagia sebenarnya, menelusuri jalan sepi pelancong ini sendirian, penuh kesakitan."

Dan kamar kembali senyap. Dua lelaki muda haus identitas haus orisinalitas yang bernasib sama denganku: terdampar di kota tua; tempat sejarah ditorehkan sejak ribuan tahun lalu.

Aku --yang pura-pura tidur--bangun. Memeriksa jam lewat ponsel. Minum air dari botol plastik yang tinggal separuh. Cuci muka di kamar mandi. Pipis. Ke kamar lagi. Minta pamit kepada salah satu dari mereka --yang lain sudah rebah dengan mata terpejam-- lalu segera beranjak pergi.

Di luar, langit semakin hitam. Sangat. Sangat gelap.

Monday, August 20, 2007

Anti Kekerasan

Sebab kami percaya, bahwa anti kekerasan bukan sekedar sikap pasif, melainkan suatu cara bersikap dan bertindak dengan tujuan untuk mengatasi konflik, berjuang melawan ketidakadilan, dan membangun perdamaian abadi.

www.antikekerasan.org

Agustus: Tahun Lalu dan Kini

Tahun lalu, kita (ya, aku dan kamu saja, berdua) duduk di pinggiran Suq Sayarah. 17 Agustus dini hari, langit masih gelap suasana sudah senyap, lirih-lirih menyanyikan Indonesia Raya. Masih melekat ingatan akan matamu yang berkaca-kaca. Juga aku, yang tak sanggup menahan bulir-bulir air itu.

Tahun lalu, kita (iya, hanya aku dan kamu saja kawan) berbincang dengan kesedihan yang akut. Tentang identitas, tentang sekat-sekat primordial, tentang segala hal yang kita kutuk dengan penuh kesumat, segala yang membuat kita sungkan (atau enggan?) mengaku dengan bangga; aku Indonesia.

Lalu, betapa sesaknya dada kita ketika mengakhiri pertemuan dengan sebuah tanya: "Kapan baju-baju itu kita tanggalkan?"

Dan kemarin, 17 Agustus tahun ini, tak sanggup aku menahan haru saat menyanyikan Indonesia Raya, bukan berdua saja, melainkan bersama ratusan kawan. Dan mereka, dengan kerelaan melepaskan sekat-sekat usang, bersama-sama mengucapkan ikrar untuk bersama-sama membangun masa depan Masisir yang lebih baik.

Maka, kawanku yang baik, terulang lagi haru yang sama saat melihatmu kemarin, memegang megaphone berteriak serak bersajak: "Indonesia dibangun atas nama kerelaan."

Karena itu kawanku, jangan pernah takut untuk bermimpi. Seperti birokrat busuk yang menatap aksi kita dengan wajah pucat, seperti kawan-kawan yang tergeragap bangun melihat deras arus sejarah, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bermimpilah kawan, seperti kau bilang kemarin di atas hijau rumput Kedutaan: masih ada terang, selagi hari belum petang.

Sunday, August 19, 2007

300 dan Dua Kawan Amerika

Belum lama ini saya dolan ke kuliah. Pertama, saya harus memeriksa apakah hasil ujian tahun ini sudah turun. Kedua, saya hendak melihat-lihat barang di Khan Khalily. Barangkali ada sesuatu yang cukup menarik untuk dihadiahkan kepada kekasih saya.

Selepas sholat Maghrib di masjid Hussein, terpikir untuk singgah sejenak ke kedai kopi el-Fishawy. Itu lho, kedai kopi di bilangan Hussein yang menjadi salah satu tempat nongkrong almarhum Naguib Mahfouz. Seperti lazimnya, saya sendirian saja. Memesan teh dan apple shisa, duduk-duduk sembari membaca buku.

Dan mereka datang. Bertanya dengan ramah apakah mereka boleh bergabung di meja yang sama. Kubilang silahkan. Maka mengalirlah kata-kata, membanjir keluar di antara harum asap shisa.

Percayalah, bahasa Inggris-ku sangat pas-pasan. Aku tak tahu bagaimana malam itu kami tiba-tiba saja membincangkan 300, film adaptasi dari novel karya Frank Miller itu.

Edward, kenalan baru itu, berbicara tentang betapa dahsyatnya 300. Dari cerita, aspek visual, pokoknya semua hal yang cukup dijelaskan dalam satu kalimat: "Mas Nanang, Hollywood itu dahsyat."

Lalu sampailah, momentum yang bikin suasana mulai memanas. Kata saya, "Kalo kamu konsisten, kamu ga akan mengutuk gerakan perlawanan di Iraq, Palestina, juga di negara-negara lain."

Dia sedikit bingung, "Maksud kamu apa?"

"Let see, di matamu Leonidas dan pengikutnya adalah pahlawan. Mereka rela berkorban demi negara yang sedang terusik harga dirinya. Lalu, bagaimana dengan orang-orang di Irak dan Palestina? Bukankah mereka melakukan hal yang sama dengan Leonidas." ujarku.

Dia diam. Matanya menatap tajam penuh selidik. Saya mulai nyerocos lagi.

"Buatku, sejarah manusia hanya berisi pengulangan-pengulangan. Dulu Leonidas dan pasukannya melawan Xerxes. Sekarang siapakah yang memainkan peran sebagai Xerxes? Siapa pula yang menjadi Leonidas?"

Serangan itu membikin Edward terdiam. Lalu Emily, perempuan berambut brunette dan bola mata yang sangat indah itu, memberikan argumen, "Moussa, tak sepenuhnya begitu. Dalam perang Thermopylae, hanya para prajurit yang terbunuh, bukan rakyat sipil seperti yang kita lihat sekarang."

"Ok. Mari kita berhitung, berapa banyak penduduk sipil Amerika yang terbunuh karena aksi terorisme? Juga, berapa banyak penduduk Irak, Lebanon, juga Palestina yang tewas karena "aksi heroik" Amerika dan sekutunya, Israel?" jawabku sembari menggerakkan-gerakkan jari tengah dan telunjuk bersamaan, semacam penekanan ketika mengucap kata heroic.

Dan saya tahu, membawa persoalan ini ke dalam lingkaran statistika akan melemahkan posisi saya dalam perbincangan tersebut. Terbukti memang, Edward dengan intonasi tinggi menganggap saya aneh (saya lupa, dia menggunakan kata apa. Entah nerd, entah jerk, entah psycho) karena menakar nyawa hanya dengan bilangan-bilangan.Tapi saya baru kehilangan satu bidak, belum skak mati.

"Oh, jadi menurutmu nyawa seorang Amerika itu lebih berharga ketimbang nyawa seseorang dari negara lain?" jawab saya sejurus kemudian.

Berikutnya, sepasang kekasih itu silih berganti memaparkan argumentasi. Ungkapan-ungkapan apologetik untuk meyakinkan saya, bahwa tak semua kebijakan luar negeri Amerika, terutama di bidang pertahanan (baca: militer) lahir dari ego dan ke-semau gue-an Amerika. Juga tentang terorisme, tentang Islam dalam asumsi mereka, juga tentang kapitalisme global.

Dan malam itu, senang sekali rasanya menemukan kawan ngobrol yang begitu asyik. Sampai akhirnya sebuah panggilan masuk, meminta saya untuk segera ke KSW. Terpaksa deh harus undur diri. Saling bertukar alamat surel sebelum kemudian benar-benar pergi.

Di dalam bus yang melaju kencang menuju Nasr City, saya teringat akan Thomas Jefferson, akan Indian, juga Mark Twain. Juga buku-buku tentang Amerika yang pernah saya baca.

Mungkin kelak anak cucu saya akan bertanya; mengapa slogan right or wrong is my country didengungkan dari Amerika. Malam itu, rasanya jawaban sudah saya temukan.

Friday, July 20, 2007

Damai Diri

Saya kok mengamini apa yang dikatakan Omi. Menurut dia, perdamaian dengan diri sendiri, rutin dibuntuti impotensi. Dan saya sudah percaya jauh-jauh hari sebelum kekasih saya protes karena terlalu lambatnya saya menyelesaikan apa yang seharusnya saya kerjakan. Juga sebelum akhirnya kawan-kawan banyak yang kecewa sebab tagihan-tagihan yang tak segera purna terbayar.

Belakangan ini saya memang begitu. Sedikit moody kata saya, malas-malasan kata banyak orang. Rasanya, tak terlalu berdosa jika saya berhenti melakukan sesuatu. Hanya diam saja tak mengerjakan apa-apa. Dan kini, menyesal rasanya membiarkan penyakit tumbuh semakin akut dan akut menggerogoti diri. Sebabnya sederhana saja, bumi selalu berotasi bahkan ketika seluruh penghuninya memilih untuk tak bergerak. Lha, itu seluruh penghuni. Sementara apalah seorang Nanang yang hanya satu dari sekian banyak manusia yang hidup di muka bumi?

Dan saat saya mulai membuka mata melihat dunia, ada keterkejutan melihat banyaknya perubahan. Semacam keterkejutan budaya, ketika nilai-nilai yang dulu kukuh diyakini mulai luruh tergerus arus sejarah. Apa saya bilang? Arus sejarah? Iya. Memang begitu. Salah satunya saya tandai ketika semakin banyak wajah-wajah baru berlalu-lalang. Menjadi masalah tersendiri ketika mereka menyapa dengan ramah, sementara di kepala saya ada tanda besar, "Anda siapa ya?"

Dari dulu saya memang begitu. Cenderung introvert, lebih-lebih untuk urusan menjalin silaturahmi dengan orang-orang baru. Masalahnya, beberapa aktifitas yang saya lakukan setahun belakangan membuat tampang saya familier. Rasanya aneh, berpapasan dengan orang-orang yang menyapa dengan ramah di saat saya harus berfikir keras kapan dan di mana ketemu. Masih untung jika yang bersangkutan sudi berpanjang kalam sehingga bisa menaksir darimana dia "kenal" saya. Sayangnya, kebanyakan hanya berbasa-basi sebelum akhirnya melanjutkan aktifitas masing-masing. Sungguh, ngganjel sekali buat saya kalau harus diganggu penasaran.

Lalu bagaimana dengan kawan-kawan lama? Rasanya tak jauh berbeda. Seringkali ketinggalan kabar. Si A sudah pulang. Si B menikah kemarin. Si C bikin polemik di milis Kairo.

Begitulah. Toh sekarang saya mulai menyadari, terlalu berdamai dengan diri sendiri justru kurang baik. Ibarat kata, senjata makan tuan. Bolehlah saya merasa sudah menemukan kembali identitas saya, bolehlah saya merasa cukup setelah berlelah-lelah menyembuhkan diri, tapi sungguh terlalu mahal jika harus dibayar dengan putus silaturahmi. Karenanya, saya minta maaf kepada siapapun yang merasa hak-haknya terganggu karena ketakmampuan saya menunaikan kewajiban. Memang kondisi saya tak benar-benar lebih baik ketimbang kemarin dulu, namun setidaknya sudah ada greget untuk kembali melakukan sesuatu yang lebih baik.

Oia, tentu saja saya akan terus menulis, terus bepergian, untuk menangkap semua pengalaman yang bisa dicecap, merasakan emosi yang bisa diresap.

Tabik.

Thursday, March 29, 2007

5th Cairo Conference - The International Campaign Against US and Zionist Occupation


The International Campaign Against US and Zionist Occupation The International Campaign Against US and Zionist Occupation calls upon all groups and campaigners against Imperialism and Zionism, in Egypt and the Arab World, and upon social and antiwar movements worldwide to participate in the:


5th Cairo Conference "Towards an International Alliance Against Imperialism and Zionism" & 3rd Cairo Social Forum "Against Imperialism and Zionism... Against tyranny and oppression... Against exploitation and corruption"
Both will be held at the Egyptian Press Syndicate
29th March - 1st of April 2007

Background:
The 1st Cairo Conference was organized in 2002, against the US and British imperialism preparing to invade Iraq. The slogan of the conference then was "Against globalization, US hegemony and War". The conference was organized and called for by a group of Egyptian activists building on their previous efforts to break the siege of starvation enforced on the Iraqi people and in solidarity with the heroic Palestinian Intifada. The conference was attended by representatives and activists from various parts of the Arab World, Europe and the Americas. The gathering issued the first Cairo Declaration, which became one of the documents of the international anti-war and anti-globalization movements.

In subsequent years, three further Cairo conferences were organized, in December 2003, March 2005 and March 2006, under the slogan "With the Resistance in Palestine and Iraq... Against Globalization, Imperialism and Zionism". Activists and representatives of many groups and organizations, from various parts of the Arab World and globally, participated in all three conferences as well as members of the Palestinian and Iraqi resistance. All those conferences issued a number of decisions and recommendations, calling for the participation in all international actions organized by the anti-war and anti-globalization movements, to confront the imperialist war in Iraq and in solidarity with the resistance in Palestine and Iraq—starting from the demonstrations of the January and February 2003, onwards.

In all their recommendations and resolutions, the Cairo Conferences have stressed a number of basic principles which guided its strategies: 1) the unconditional support of all forces of resistance against imperialism and Zionism in Palestine, Iraq, and Lebanon; 2) a call for the necessary unity of all resistance groups, bypassing their ideological and political differences, and considering the struggle against US and Zionist colonialism to be the main strategic struggle; 3) supporting the democratic demands of the Arab peoples against the ruling dictatorial regimes as well as the projects of imperialist hegemony, and considering the struggle against tyranny in the Arab world as part of the struggle against globalization and war worldwide; 4) stressing the unity of the international anti-war and anti-globalization movements, and the need to collaborate among all the participant groups against globalization, imperialism and Zionism.

The 1st Cairo social forum was organized alongside the 3rd Cairo Conference (March 2005) under the slogan: "Against imperialism and Zionism.. Against tyranny and oppression.. Against exploitation and corruption." More than 30 political groups and civil society organizations in Egypt and the Arab World organized seminars, workshops, exhibitions and various cultural activities around battles of political and social resistance. The forum also held sessions on issues related to the struggle of workers, peasants, students, women and religious minorities. The 2nd Cairo Social Forum was held alongside the 4th Cairo Conference (March 2006) with the participation of more than 40 groups and organizations.

The Egyptian group for the International Campaign Against US and Zionist Occupation is currently preparing for the 5th Cairo conference and the 3rd Cairo Social Forum, to be held in Cairo between the 29th of March and the 1st of April 2007. The Egyptian group includes a number of Egyptian activists from different national groups and representatives of the following Egyptian groups working against imperialism, Zionism and tyranny: Karama Party, Muslim Brotherhood, Labor Party, & the Revolutionary Socialists Organization.

For more information and to submit any suggestions please contact us:
Email: cairoconference4@yahoo.com
Tel: 00 202 792 3837
Fax: 00 202 792 5327
Mobile: 00 2 012 356 7772

--------------------------------------------------------------------------------------------------

update: Opening

Monday, March 5, 2007

Selamat Pagi

Selamat pagi. Bukan sebagai ritual ketika pagi menjelang, anggaplah ini semacam cara untuk menyatakan kesyukuran. Tak ada yang istimewa memang. Seperti biasanya, matahari masih nakal menelusupkan sinarnya melalui lubang angin di kamar. Seperti biasa, sesekali burung-burung mampir di jendela sembari bercicit-cuit riang. Yang berbeda, mungkin, sarapan kopi susu dingin ditemani beberapa potong roti. Berbeda? Iya. Biasanya aku menyeduh minuman hangat. Entah kenapa semalam aku kepikiran untuk membuat dua porsi sekaligus. Gelas kecil menemaniku melewati tengah malam, yang besar kusimpan di kulkas.

Selamat pagi. Sebenarnya aku masih ngantuk. Aku baru merebahkan diri di kasur sekitar dua dini hari. Untungnya bisa bangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Seperti biasanya, menyalakan komputer lalu bersegera ke kamar mandi. Membersihkan tubuh seperlunya lalu balik lagi ke kamar. Seperti biasa, subuhan lalu membuka jendela lebar-lebar beberapa menit. Selesai menukar udara, ditutup lagi. Seperti biasa, duduk manis di depan monitor, melanjutkan pekerjaan, menunggu matahari datang.

Apa katamu? Pola hidup yang ritmis? Hahaha, bisa jadi begitu. Ritmis atau tak, bukan jadi soal untukku. Yang terpenting adalah bagaimana menghayati apa yang aku jalani. Iya sih, terjebak dalam rutinitas bisa sangat membosankan. Masalahnya, mana yang rutinitas dan mana yang tidak? Maksudku begini, ketika mendengar kata rutin, sebagian orang langsung mengaitkannya dengan kebosanan, dengan aktifitas yang itu-itu saja. Menurutku sih, itu hanya soal mind-set. Tergantung bagaimana seseorang menghayati proses yang sedang ia tempuh. Karena itu, kuucapkan selamat pagi. Bukan sekedar sapa, anggaplah ini semacam doa. Siapapun kamu, di manapun kamu berada sekarang, bisa menikmati proses yang sedang kamu tempuh.

Hmm, aku jadi ingat mbak Hera, guru saat aku di asrama dulu. Setiap kali masuk kelas untuk ngabsen, selalu saja berucap selamat pagi. Padahal dia hanya masuk kelasku saat tutorial sore. Apakah mbak Hera lupa waktu? Ngakunya sih tidak. Dia bilang begini, pagi adalah waktu untuk memulai beraktifitas, karenanya saya mengucapkan selamat pagi, agar kalian semangat. Duh, filosofinya sih boleh juga, tapi buat kami yang sudah masuk kelas sejak jam tujuh sampai setengah dua, lalu masuk kelas lagi setengah tiga sampai jam lima? Capek dong mbak, please deh.

Selamat pagi. Aku mau mandi.

Saturday, February 3, 2007

Sumpek

Beberapa hari terakhir, Kairo menjadi tempat yang menyenangkan bagi sebagian orang. Lihat; antusiasme orang-orang berkunjung ke pameran buku terbesar kedua di dunia, rapat-rapat di sekretariat, liburan musim dingin, juga cuaca yang mulai bersahabat. Sayangnya, itu tak berlaku untukku. Berangkat ke Cairo International Book Fair dengan duit pas-pasan, adalah contoh paling riil untuk peribahasa lama; seperti pungguk merindui bulan. Sungguh jengkel rasanya melihat deretan buku-buku menggiurkan namun tak terbeli. Benar, bukan aku satu-satunya orang yang mengeluh karena tak ada dana membeli buku. Benar, buku-buku yang aku beli tahun lalupun tak semuanya sudah terbaca. Tapi begini, soal duit lebih dikarenakan timing yang kurang pas. Kebetulan cadangan dana sudah terkuras untuk membeli "alat tulis" awal Januari lalu. Tentu, buatku, memulihkan dompet tak semudah membalikkan telapak tangan. Karenanya, maafkan jika tiba-tiba air mukaku berubah seketika saat kamu bercerita tentang buku apa saja yang barusan kamu beli. Maafkan pula, jika tiba-tiba aku keluar dari ruangan sambil bernyanyi sekencang-kencangnya saat kalian ngobrolin si A yang menghabiskan ribuan pound untuk beli buku. Dan maafkan pula, jika tiba-tiba aku memakimu saat mengeluh tak punya duit, sementara di tanganmu ada buku-buku baru yang aku sendiri tak sanggup membelinya.

Apa lagi ya? Males rasanya bercerita tentang rapat, liburan musim dingin, juga cuaca yang mulai membaik. Nanti malah dipenuhi dengan keluhan dan caci maki. Oia, kemarin kudengar Hanung Bramantyo sudah tiba di Kairo. Hari ini ada casting untuk beberapa pemeran pembantu untuk film Ayat-Ayat Cinta. Mungkin aku berangkat. Bukan. Bukan untuk ikutan casting. Aku hanya ingin bertanya kepada mas Hanung, kenapa sih dia bikin film Lentera Merah? Ga banget deh.

p.s mungkin benar, manusia memang diciptakan penuh dengan keluh kesah. Aku yang saat ini duduk nyaman sambil menghisap A Mild ditemani secangkir Kapal Api saja masih bisa mengeluh. Hehehe...

Thursday, January 4, 2007

Untuk Segala Keikhlasanmu

: EHdn

Non, terakhir kali aku meninggalkan rumah, yang kuingat pagar besi ada di sebelah kiri, bukan di kanan. Bapak tak pernah bercerita tentang hal-hal kecil seperti itu. Termasuk mengapa "bunga" telor itu sekarang berwarna pink, padahal dulu jelas-jelas berwarna merah dan kuning. Aku masih ingat betul kapan aku membeli beberapa botol pigmen dan mencampurnya dengan cat sisa di belakang rumah. Oia, pagar besi dan bambu masih berwarna sama. Hanya pindah tempat saja.

Kamu pasti ingat, sore itu terakhir kali kita bertemu. Maaf jika membuatmu menunggu terlalu lama. Bisa kau lihat bukan ketergegasan di wajahku? Maklum, kali pertama pergi jauh dalam waktu tak tentu. Setelah kamu minta diri aku kembali menemui kawan-kawan. Saat itu Bapak bertanya, "Sopo?" Kujawab saja Kawan. Iya, aku bilang Kawan. Dengan K besar meski mungkin Bapak tak menyadari karena aku menjawab dengan lisan.

Hmm, beberapa jam ini aku merekonstruksi kejadian-kejadian masa lalu. Perkenalan kita, pertemuan pertama kita lewat pameran lukisan di Gramedia. Sungguh lho non, itu cara yang menarik untuk sebuah pertemuan. Sms "gelap" yang bikin penasaran, telponmu ketika kau melihatku bergegas keluar area Gramedia. Oia, juga keherananmu saat menemukan keanehan pada foto yang terpampang di katalog pameran. Hehe... pantas saja kamu heran, meski sama-sama Nanang MS, tapi saat itu ada dua nama dan dua orang yang berbeda.

Lalu sebuah malam ketika aku mengambil pemberianmu. Ah, aku lupa namanya. Edo? Aldo? Entahlah. Yang pasti malam itu aku keluar rumah, mencari alamat rumah yang kau berikan, lantas mengambil bungkusan itu. Saat pulang, sengaja kuhentikan motor di trotoar Slamet Riyadi. Sambil menikmati teh jahe di pinggiran jalan yang ramai, kubuka bungkusan darimu. Iya non, itu Bible untukku. Pertama-tama aku buka sisipan di bagian belakang. Ah, di dunia ini selalu saja ada orang-orang baik. Terima kasih. Terima kasih. Aku sendiri lumayan sering membacanya, sampai sekarang. Terutama Mazmur. Entah berapa kali tulisan yang tercetak di sana aku baca. Oia, aku mungkin belum cerita soal larisnya Bible itu. Tahun lalu ada mata kuliah Perbandingan Agama, kawan-kawan yang semula merasa ganjil, semacam maido, tanpa ragu menelaah isinya. Memang sih, hanya saat ujian. Meski begitu aku yakin mereka juga berterima kasih kepadamu.

Di TC suasana syahdu sekali ya? Tapi saat itu aku tidak sedang terhanyut. Itu semacam keharusan yang memang harus terjadi harus dilakoni. Aku kok agak nyesel kenapa paginya aku enggan singgah. Terlalu banyak pertimbangan kadang-kadang bikin ruwet juga. Ya sudah. Toh sudah lewat.

Di Purwosari aku malah merasa garing. Itu salah satu yang bisa bikin aku "gelap". Jujur sih, meski aku agak lupa detailnya, tapi yang namanya rasa kan susah hilang. Antara merasa bersalah dan tak nyaman campur aduk jadi satu. Eh, tapi kadang-kadang ada bonus juga saat aku merasa gundah. Seperti saat aku ngebut naik motor Jogja-Solo karena dapat kabar harddisk di rumah rusak. Saking kacaunya pikiran aku sempat nyeruduk motor di Kandang Menjangan. Karena suntuk malah bablas mampir warnet. Ternyata kamu lagi di dekat UMS. Lalu aku ngantar kamu pulang. Waktu itu sempat jajan bakso Kadipolo ya? Hehe... seingatku kamu yang traktir. Meski akhirnya dataku hilang tak bisa diselamatkan, jadi sadar bahwa dalam kondisi sulitpun seringkali ada kompensasi. Hal-hal sepele mungkin, tapi bagi mereka yang mau sedikit nggalih rasa, akan menemukan keindahan di dalamnya.

Pada akhirnya kembali bertanya, "Terbuat dari apakah kenangan?" Aku tak bisa menjawab. Mungkin karena itu penggalan-penggalan masa lalu berkejaran di otakku. Tak utuh memang, namun itu sudah lebih dari cukup untuk mengingat bahwa di dunia ini masih banyak orang baik. Seumpama kamu mengira aku sudah lupa, rasanya itu salah. Mungkin memang aku terlalu gagap untuk bisa membalas Kasih yang kamu beri, karenanya aku mohon maaf.

Non, seandainya aku bisa menginventarisir semuanya; surat, pesan singkat, pertemuan, akan ada banyak hutang yang harus kubayar. Bahkan tanpa itupun, jelas sudah adamu menjadi variabel penting dalam perjalananku. Maaf jika egois, tapi ini cerita kita yang punya, biar saja kita yang menikmatinya diam-diam. Untuk segala keikhlasan yang ada padamu; terima kasih.

p.s: sanakjan saiki aku wis ono sing ngancani, ora banjur aku nglaliake kabeh pambudimu. :)

Monday, January 1, 2007

December I Always Remember

Manusia memang haus akan momentum. Itu terbukti hari ini, ketika mereka merayakan sebuah momen pergantian tahun. Banyak cara dilakukan. Sebagian memilih berkontemplasi merenungi perjalanan sepanjang tahun ini. Sebagian lagi bersukacita entah dengan alasan apa. Aku sendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya, memilih berdiam saja di rumah.

Hari ini cukup menyenangkan. Karena dini hari kuhabiskan dengan menghitung ulang apa saja yang terlaksana selama 2006, pagi hari kusempatkan untuk tidur sebentar. Bangun oleh alarm di ponsel bututku dan menemukan ym Haraiya menyala. O, sungguh kebetulan yang indah. Senang sekali rasanya bisa ngobrol berlama-lama dengannya. Mungkin, ini adalah hari di mana aku paling banyak tersenyum dan tertawa. Rasanya, ini cara tutup tahun paling mewah untukku. *Makasih ya Jo sudah bantu membuang sumpek*

Desember tahun ini betul-betul istimewa untukku. Banyak kejutan, yang pahit dan yang menyenangkan, akumulasi kedua rasa itu membuatku berpikir tentang titik balik. Ya, manusia butuh momentum. Rasanya ini saat yang tepat untuk kembali merancang perjalanan. Dengan asumsi aku tak mati sampai tutup tahun 2007 nanti, sepertinya cukup untuk melakukan hal-hal berarti. Bermimpi saja memang tidak cukup, untuk itu mohon doa agar nyala tetap terjaga.

Ah, cukup sudah berkeluh kesah atas nama kalah. Mari bangkit lagi merajut mimpi yang pernah disepakati.

Selamat Tahun Baru 2007
Semoga hari-hari mendatang sarat akan kebaikan