Monday, June 12, 2006

Kisah Di Tepi Mississippi

Nak, kau bertanya tentang sungai itu. Maka hari akan kuceritakan kisah yang pernah terjadi diantara aliran sungai yang indah dan menyimpan sejarah. Di sebuah waktu, di sebuah kota kecil bernama St. Petersburg hidup seorang anak nakal, gelandangan alkoholic bernama Huck. Kau akan mengira ini cerita yang membosankan. Sabar dulu anakku, nanti kau akan tahu bagaimana ia mengalami petualangan yang merubah cara seseorang memandang hidup.

Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan, itu kata orang. Sayangnya, ada kalanya omongan itu benar. Bapak Huck seorang alkoholik juga, suatu malam dalam kondisi mabuk ia mengancam akan membunuh Huck, anak yang lahir dari darahnya sendiri. Huck beruntung anakku, ia akhirnya diadopsi oleh seorang perempuan bernama Watson. Dalam kenyamanan secara materi, Huck bertemu dengan Jim, budak hitam yang cerdas dan bijak.

Waktu berlalu. Jim akan dijual ke Selatan. Konon wilayah selatan Amerika saat itu lebih keras dan lebih liar, terutama dalam memperlakukan budak hitam seperti Jim. Jim memutuskan untuk melarikan diri. Huck tahu dan ia ingin ikut, hidup dalam kemewahan tak selamanya membuatnya merasa nyaman. Keduanya pergi dengan rakit menyusuri Mississippi. Menjalani pelarian yang penuh kecemasan namun sarat pelajaran.

Malang tak dapat ditolak. Sebuah kapal uap menabrak rakit yang mereka tumpangi. Mereka tenggelam dan terpisah. Disinilah petualangan sejati mulai terjadi. Huck yang sudah menganggap Jim sebagai figur seorang ayah harus berupaya sendiri untuk menempuh hidup. Begitupula Jim yang merasa bersyukur dipertemukan dengan Huck, harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Kau tentu akan protes, apa asyiknya bersembunyi di semak belukar, berlari dari kejaran anjing penjaga dalam malam gelap. Tentu tak ada yang indah dari kisah itu anakku, tapi dari sini kau bisa belajar bahwa secara naluri manusia punya jiwa eksploitasi. Mencoba mengambil keuntungan dari sesuatu diluar dirinya. Persoalannya adalah bagaimana cara dia mengelola naluri jahat itu. Kau tahu anakku, Jim yang akhirnya tertangkap kemudian dimerdekakan oleh nona Watson. Kemudian Huck yang liar akhirnya diadopsi oleh keluarga terhormat.

Apakah cerita selesai sampai disini? Tidak. Kisah belum usai. Huck memberontak dan memilih lari menuju tanah Indian. Tanah yang murni dari kebusukan moral berbungkus kemajuan peradaban. Meski begitu, kita sama-sama tahu: rakit yang murni dan sederhana tadi pada akhirnya ditenggelamkan oleh kemajuan; kapal uap.

p.s Bapak, terima kasih untuk kekayaan yang kau wariskan untuk kami. Meski komik sederhana itu baru bisa aku resapi maknanya pagi tadi. Delapan tahun untuk bisa membaca kembali kisah klasik itu.

Menjelang Lembar Terakhir

Sebenarnya mata sudah merah dan tubuh sedikit lelah untuk "mencatat debu" dan "merekam waktu". Namun tiba-tiba ada energi baru yang merasuk, ketika sadar bahwa notes berukuran 12x20 cm setebal 100 lembar yang aku beli dua bulan lalu tinggal menyisakan dua lembar kosong.

Ok, anda akan protes, apa kerennya sih menghabiskan notes?

Untukku, notes ini adalah salah satu alat bantu dalam menyerap pengalaman hidup yang dijalani. Tidak perlu tahu bahwa HB Jassin, Taufik Ismail atau Eep Syaifulloh senantiasa membawa potongan kertas kemanapun mereka pergi, untuk sadar bahwa mencatat itu perlu.

Aku tak bisa memprediksikan kapan dan dimana sebuah peristiwa muncul. Aku juga sadar bahwa daya ingat yang kumiliki terlalu terbatas untuk bisa merekam semua yang terjadi. Karena itu notes dan pena menjadi senjata untuk menghindari kelumpuhan ingatan sekaligus monumen peringatan untuk melawan lupa.

Mencatat hasil pembacaan, merekam peristiwa keseharian, menulis ulang hasil jelajah di cyber, bahkan mengkalkulasi anggaran keuangan adalah aktifitas yang sering dilalui bersama lembar-lembar catatan. Maka harap dimaklumi ketika harus menjadi sentimentil dengan menulis catatan ini. Biarlah ini menjadi ucapan terimakasih untuk lembar-lembar yang setia menemani mencatat hidup. Sebab hidup yang tak diperiksa, kata Sokrates, tak layak untuk dijalani. Catatan-catatan sederhana inilah yang membantu untuk merekonstruksi perjalanan –setidaknya dalam alam pikir- agar suatu hari nanti, aku tidak terjatuh dalam lubang yang sama dua kali.

Saturday, June 3, 2006

To Be Different Is Not Crime

Ketika jalanan terlalu padat oleh keseragaman kita harus bergerak. Mewarnai, atau bahkan menciptakan lorong-lorong baru. Kita tidak sedang berbicara tentang anti-kemapanan atau melawan mainstream. Tidak. Sama sekali tidak. Lorong baru diperlukan bukan untuk memberontak, melawan arus dengan bergerak. Sama sekali bukan. Kita memerlukan lorong baru semata-mata untuk menjaga kesadaran manusia. Sama itu wajar, namun menganggap keseragaman sebagai kewajiban adalah salah. Betapa tidak, perbedaan adalah hukum alam (dalam bahasa lain: Sunnatullah) yang tidak bisa digugat. Sejarah mencatat bahwa beda itu biasa. Justru ketika semuanya sama dan seragam maka kita patut mempertanyakan. Ada apa?

Kita tidak sedang mencurigai ada apa dibalik arus utama. Hanya ingin bersikap kritis dan menjaga kesadaran kita. Apa salahnya jika sesekali bertanya: ada apa? Apa salahnya jika sesekali mengkritisi: jangan-jangan ada sesuatu dibalik ini.
Kita harus mengakui bahwa selama ini telah dicekoki homogenisasi. Kita tidak lagi terbiasa untuk berbeda. Kita tidak lagi berani berkata tidak untuk apa yang kita tolak. Kita terlalu pengecut. Diam dan melarikan diri. Anjing!!

Sekali lagi, kita harus bergerak untuk menjaga kesadaran manusia. Bahwa dalam kondisi tertentu keseragaman bukanlah kewajiban. Betapapun sulitnya untuk memulai, setidaknya kita punya mimpi yang diyakini bahwa berbeda tak selamanya dosa.