Tuesday, June 19, 2012

Tiga Setengah Tahun Lebih

Suatu waktu saya pernah berjanji untuk tidak lagi menulis di blog ini. Semacam upaya untuk lupa, bahwa saya pernah ada di titik itu: hari-hari penuh muram dan sendu. Alasannya sederhana: ketika seseorang mengenakan kacamata hitam di pagi hari, langit secerah apapun akan terlihat gelap. Maka saya mulai membuat beberapa rumah baru serta mengunggah beberapa tulisan. Kenyataannya halaman-halaman di rumah baru itu tetap kosong (sekosong hati saya beberapa tahun ini sih, hahaha). Lebih dari tiga setengah tahun dan hanya ada sedikit sekali hal-hal yang saya ceritakan.

Pagi ini, setelah berkunjung ke sini dan membaca tulisan-tulisan lama, muncul niatan untuk mulai menulis lagi. Iya sih, seperti kata Imam, pikiran-pikiran kecil sering hinggap di kepala untuk selamanya hanya ada di dalam kepala.Tapi kan niat baik dalam pikiran pun, jika tak terlaksana, konon sudah mendapat satu pahala. So here I am, trying to write another line.

Sunday, November 30, 2008

Kutipan Hari Ini

"The only person who can dream is the person who can stand with both feet firmly on the earth. That is why the Irish policeman is the best policeman in the world. He never sleeps on duty. He dreams wide awake. And the gangster has little chance. "

(Richard Boleslavsky on Acting: The First Six Lessons, page 34)

Thursday, November 20, 2008

Together We're Invincible

Saya patut merasa bersyukur. Di tengah-tengah kebangkrutan semangat yang mengkikis nyaris habis impian-impian, orang-orang lawas dalam jejaring sosial saya berdatangan dan menawarkan sesuatu. Mereka membawakan cerita, ringkasan pengalaman dari perjalanan yang mereka tempuh dari banyak tempat. Mereka menguatkan tekad saya untuk kembali mengemasi barang-barang dan memulai perjalanan menuju titik yang hendak saya tuju, sejak bertahun-tahun lampau. Dan dalam suasana seperti, tak heran jika beberapa orang bertanya mengapa Invincible, salah satu lagu Muse dalam album Black Holes And Revelations berulangkali masuk dalam playlist saya.

Well, bahkan jika kesepian batin adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan manusia, saya tak cukup yakin jika mereka pernah merasakan kesendirian seperti yang saya rasakan. Kira-kira setahun lampau, saat semangat enggan bersahabat, menumbuh-suburkan rasa apatis akan masa depan. Lalu mengisolir diri menjadi pilihan terbaik setelah usaha untuk bunuh diri beberapa kali gagal. Di sana, di sebuah flat sewaan di sebuah distrik kumuh pinggiran kota Kairo yang kerap disebut 'perbatasan Israel' karena jauhnya dari pusat kegiatan mahasiswa Indonesia, saya menghabiskan hari dengan mendekam di kamar. Maka selain menulis catatan-catatan muram dan berbincang dengan Suci (ya, saat itu dia satu-satunya orang yang kepadanya saya sudi bercerita) waktu saya habis untuk mendengarkan lagu.

Dan terpujilah Matt Bellamy terlahir di dunia ini. Invincible memang terbilang nyeleneh jika melihat lirik-lirik mereka yang cenderung muram dan butuh perenungan. Invincible, saya akui, terbilang cemen. Apa sih yang istimewa dari lagu yang cenderung lambat beriring ketukan drum ala marching band? I expect nothing. Namun pikiran itu pupus sebegitu Bellamy menyanyikan bait-bait pertama:

Follow through
Make your dreams come true
Don't give up the fight
You will be all right
Cause there's no one like you
In the universe

Don't be afraid
What your mind conceives
You should make a stand
Stand up for what you believe
And tonight we can truly say
Together we're invincible

And during the struggle
They will pull us down
But please, please let's use this chance to
Turn things around
And tonight we can truly say
Together we're invincible

Invincible. Apaan sih maksudnya? Sementara Bellamy masih bernyanyi, cepat-cepat saya cari kamus di deretan rak buku. Membukanya dengan tergegas seakan sedang dikejar sesuatu.

Do it on your own
Makes no difference to me
What you leave behind
What you choose to be
and whatever they say
Your soul's unbreakable

And during the struggle
They will pull us down
But please, please let's use this chance to
Turn things around
And tonight we can truly say
Together we're invincible
Together we're invincible

Sedikit gugup membuat saya lambat menemukan kata itu. Dan blar! Berbarengan dengan mata saya menyimak arti kata itu di kamus, musik yang mengalun dari headset mendadak berdetak cepat dan aah... ini memang Muse. Kamus lusuh di tangan terkatup perlahan. Resapi saja nang, resapi saja, begitu perasaan saya berbicara.

And during the struggle
They will pull us down
Please, please let's use this chance to
Turn things around
And tonight we can truly say
Together we're invincible

Semenjak itu pelan-pelan saya bangun dari tidur panjang. Mendengarkan Invincible sembari merapal doa dan mencoba percaya; bahwa nanti akan tiba sebuah hari ketika saya menyanyikan lagu ini bersama seseorang di luar sana. Bersama mereka yang juga mengalami keterasingan dan berharap di dunia sana ada orang lain yang bisa menyimak apa yang mereka pikirkan, sudi mempercayai bahwa pikiran-pikiran di kepala tak sepenuhnya kegalauan kosong, dan mau mewujudkan impian-impian itu menjadi sesuatu yang nyata di atas bumi yang kita pijak.

Untuk saya, hari yang saya nanti itu sudah tiba. Dan ini alasan kuat kenapa bait-bait optimistik tadi kerap saya dendangkan. Saya tidak sendirian kawan. Saya tak lagi sendirian.


P.S
1. Video klip resmi-nya ada di sini. Versi live favorit saya, tentu saja, saat mereka tampil di Wembley.

Thursday, November 13, 2008

Melankolia Sebelum Hujan

(1)

Pagi-pagi benar, setelah membaca ulang beberapa cerpen Leo Tolstoy, kurogoh sisa uang di celana jeansku. Empat ribu dua ratus rupiah. Dan sudah dua malam perutku tak kemasukan nasi. Situasi semacam ini membuatku teringat kelakar beberapa kawan yang bilang bahwa aku harus rajin-rajin menulis sebab membaca tak bikin kenyang. Mungkin mereka benar. Tapi berada di ruangan ini benar-benar membuatku nyaman. Kamar yang sedang ditinggalkan sementara karena sang penghuni sedang melakukan penelitian di Singapura. Deretan buku yang tertata rapi di dalam rak memang tak banyak. Sekitar seratusan judul dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Sekitar separuh dari judul itu sudah aku kenali, baik yang sudah aku baca maupun yang sekedar aku tahu karena kerap dikutip dalam berbagai tulisan. Sementara separuh sisanya, meski belum pernah aku jamah, tampaknya cukup menarik minatku dan akan membuatku tertahan satu dua hari lebih lama dari rencana.

Setelah menumpuk buku-buku yang bertebaran, kurapikan lagi sprei di kasur tanpa ranjang. Mengembalikan buku-buku pada tempatnya lalu mengambil satu lagi untuk dibaca. Dari pintu kamar dan jendela yang barusan aku buka, udara segar menelusup masuk. Pagi yang menyenangkan, sepertinya. Beberapa menit aku terdiam. Menikmati aliran udara yang bergerak menggantikan hawa kamar yang terasa pengap oleh aroma rokok dan keringat tubuhku. Merasa cukup, jendela kembali aku tutup. Pintu aku kunci dari luar. Sekarang waktunya melihat dunia; membiarkan kulit legam di tubuh terkena jilatan sinar matahari pagi yang hangat.

Di sana, duduk di pinggiran jalan di kilometer tujuh Jalan Kaliurang, aku merasa tersihir oleh gerak lalu lalang manusia yang terpampang di hadapanku. Begitu menakjubkan. Begitu mengherankan. Bertanya-tanya dalam hati, benarkah aku terlahir di masa yang salah? Di sebuah zaman di mana bekerja dan mencari nafkah dianggap sebagai suatu keharusan bahkan sesuatu yang mulia, sementara merenung dan berpikir jernih harus terpinggirkan ke lorong-lorong paling sepi dalam kehidupan. Di sana, di seberang pasar Kolombo, kusaksikan perilaku orang-orang yang sedang memenuhi tuntutan mode of being mereka; survival. Mereka, aku percaya, adalah orang-orang baik. Mereka, aku menduga, tak semata-mata melakukan itu semua demi diri mereka sendiri; ada sekian nyawa di rumah, berharap ayah-ibu-kakek-nenek-saudara mereka yang bekerja membawa sesuatu saat pulang. Air mulai mengalir perlahan membasahi pipiku; pedih rasanya mendapati uang telah menjadi kode otoritatif dalam kehidupan manusia urban. Dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Uang adalah Tuhan baru yang kepada kita ia berkuasa, menjadi Tuhan baru yang kepadanya kita menyembah. Bahkan juga di pasar; di tempat yang konon pernah dikatakan Nabi sebagai seburuk-buruk tempat. Dan aku, sepertinya tak perlu lagi bertanya hikmah apa di balik sabda itu. Sejarah telah mencatat terlalu banyak. Sejarah sudah terlalu lelah. Aku juga.

***

(2)

Dalam silang-sengkarut semacam ini, ada baiknya jika sejenak kita diam. Tak perlu menambah lagi badai kata-kata, gagasan, dan ambisi yang toh nantinya hanya akan hanyut dan tenggelam di lautan opini. Anggaplah ini semacam pesimisme akut dan ketidakmampuan untuk berpihak saat menghadapi realitas. Padahal segala yang nyata tak perlu lagi dinyata-nyatakan. Kita terlalu kerap melempar opini, gagasan, ide, dan bentuk-bentuk lain yang nyatanya hanya memperderas arus yang dengan deras membanjiri segala ruang hidup kita sehari-hari. Dan semua orang tahu, banjir pasti keruh. Pasti kotor.

Ini bukan sebuah perayaan atas eskapisme. Sama sekali tak bertaut dengan ketakmampuan diri menghadapi realitas lalu mencoba menyingkir darinya. Ketika terjadi banjir dan semua orang hanyut dalam arus, yang lebih bisa diandalkan adalah mereka yang bebas, mereka yang berada di tepian arus dan tak ikut terseret di dalamnya. Aku percaya hanya orang-orang yang pada mulanya menjauhkan diri dari keterlibatan semacam itulah yang nantinya layak diharapkan. Tapi di Indonesia, di negeri berpenduduk lebih dari 220 juta ini, seberapa perlu menegaskan eksistensi individu dan melepaskan diri dari massa, dari kerumunan? Pada titik ini, aku akan berterima kasih jika ada yang sudi menunjukkan bahwa bangsa ini pernah punya proklamasi individu yang menegaskan ke-aku-an. Jika tidak, tak perlu pula menyalahkan mereka yang beranggapan bahwa bangsa ini tak lebih dari kerumunan. Toh nyatanya, jauh lebih menyenangkan bukan melemparkan tanggungjawab kepada sesuatu-yang-berkuasa-lebih (higher power) ketimbang menanggung beban itu di pundak sendiri?

Di bibir pantai ini, lirih aku menirukan Eddie Vedder melantunkan Society. Menenangkan. Menyenangkan. Merasai dingin air dan debur ombak menampar-nampar tubuh. Tiba-tiba kudengar intro lagu Polyester Embassy yang belakangan ini kerap sekali aku putar. "Help me out just get me out of here. Is anybody outside help some stranger here. Pull me up I'm gonna die in here. Can anybody out there want be my square." Di sini, di bibir pantai, samar kusaksikan sesosok lelaki muda berjalan menuju samudra. Begitu tenang ia berjalan sebelum akhirnya ia lenyap menuju kedalaman. Sepertinya aku mengenalnya. Sepertinya.