Sunday, November 30, 2008

Kutipan Hari Ini

"The only person who can dream is the person who can stand with both feet firmly on the earth. That is why the Irish policeman is the best policeman in the world. He never sleeps on duty. He dreams wide awake. And the gangster has little chance. "

(Richard Boleslavsky on Acting: The First Six Lessons, page 34)

Thursday, November 20, 2008

Together We're Invincible

Saya patut merasa bersyukur. Di tengah-tengah kebangkrutan semangat yang mengkikis nyaris habis impian-impian, orang-orang lawas dalam jejaring sosial saya berdatangan dan menawarkan sesuatu. Mereka membawakan cerita, ringkasan pengalaman dari perjalanan yang mereka tempuh dari banyak tempat. Mereka menguatkan tekad saya untuk kembali mengemasi barang-barang dan memulai perjalanan menuju titik yang hendak saya tuju, sejak bertahun-tahun lampau. Dan dalam suasana seperti, tak heran jika beberapa orang bertanya mengapa Invincible, salah satu lagu Muse dalam album Black Holes And Revelations berulangkali masuk dalam playlist saya.

Well, bahkan jika kesepian batin adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan manusia, saya tak cukup yakin jika mereka pernah merasakan kesendirian seperti yang saya rasakan. Kira-kira setahun lampau, saat semangat enggan bersahabat, menumbuh-suburkan rasa apatis akan masa depan. Lalu mengisolir diri menjadi pilihan terbaik setelah usaha untuk bunuh diri beberapa kali gagal. Di sana, di sebuah flat sewaan di sebuah distrik kumuh pinggiran kota Kairo yang kerap disebut 'perbatasan Israel' karena jauhnya dari pusat kegiatan mahasiswa Indonesia, saya menghabiskan hari dengan mendekam di kamar. Maka selain menulis catatan-catatan muram dan berbincang dengan Suci (ya, saat itu dia satu-satunya orang yang kepadanya saya sudi bercerita) waktu saya habis untuk mendengarkan lagu.

Dan terpujilah Matt Bellamy terlahir di dunia ini. Invincible memang terbilang nyeleneh jika melihat lirik-lirik mereka yang cenderung muram dan butuh perenungan. Invincible, saya akui, terbilang cemen. Apa sih yang istimewa dari lagu yang cenderung lambat beriring ketukan drum ala marching band? I expect nothing. Namun pikiran itu pupus sebegitu Bellamy menyanyikan bait-bait pertama:

Follow through
Make your dreams come true
Don't give up the fight
You will be all right
Cause there's no one like you
In the universe

Don't be afraid
What your mind conceives
You should make a stand
Stand up for what you believe
And tonight we can truly say
Together we're invincible

And during the struggle
They will pull us down
But please, please let's use this chance to
Turn things around
And tonight we can truly say
Together we're invincible

Invincible. Apaan sih maksudnya? Sementara Bellamy masih bernyanyi, cepat-cepat saya cari kamus di deretan rak buku. Membukanya dengan tergegas seakan sedang dikejar sesuatu.

Do it on your own
Makes no difference to me
What you leave behind
What you choose to be
and whatever they say
Your soul's unbreakable

And during the struggle
They will pull us down
But please, please let's use this chance to
Turn things around
And tonight we can truly say
Together we're invincible
Together we're invincible

Sedikit gugup membuat saya lambat menemukan kata itu. Dan blar! Berbarengan dengan mata saya menyimak arti kata itu di kamus, musik yang mengalun dari headset mendadak berdetak cepat dan aah... ini memang Muse. Kamus lusuh di tangan terkatup perlahan. Resapi saja nang, resapi saja, begitu perasaan saya berbicara.

And during the struggle
They will pull us down
Please, please let's use this chance to
Turn things around
And tonight we can truly say
Together we're invincible

Semenjak itu pelan-pelan saya bangun dari tidur panjang. Mendengarkan Invincible sembari merapal doa dan mencoba percaya; bahwa nanti akan tiba sebuah hari ketika saya menyanyikan lagu ini bersama seseorang di luar sana. Bersama mereka yang juga mengalami keterasingan dan berharap di dunia sana ada orang lain yang bisa menyimak apa yang mereka pikirkan, sudi mempercayai bahwa pikiran-pikiran di kepala tak sepenuhnya kegalauan kosong, dan mau mewujudkan impian-impian itu menjadi sesuatu yang nyata di atas bumi yang kita pijak.

Untuk saya, hari yang saya nanti itu sudah tiba. Dan ini alasan kuat kenapa bait-bait optimistik tadi kerap saya dendangkan. Saya tidak sendirian kawan. Saya tak lagi sendirian.


P.S
1. Video klip resmi-nya ada di sini. Versi live favorit saya, tentu saja, saat mereka tampil di Wembley.

Thursday, November 13, 2008

Melankolia Sebelum Hujan

(1)

Pagi-pagi benar, setelah membaca ulang beberapa cerpen Leo Tolstoy, kurogoh sisa uang di celana jeansku. Empat ribu dua ratus rupiah. Dan sudah dua malam perutku tak kemasukan nasi. Situasi semacam ini membuatku teringat kelakar beberapa kawan yang bilang bahwa aku harus rajin-rajin menulis sebab membaca tak bikin kenyang. Mungkin mereka benar. Tapi berada di ruangan ini benar-benar membuatku nyaman. Kamar yang sedang ditinggalkan sementara karena sang penghuni sedang melakukan penelitian di Singapura. Deretan buku yang tertata rapi di dalam rak memang tak banyak. Sekitar seratusan judul dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Sekitar separuh dari judul itu sudah aku kenali, baik yang sudah aku baca maupun yang sekedar aku tahu karena kerap dikutip dalam berbagai tulisan. Sementara separuh sisanya, meski belum pernah aku jamah, tampaknya cukup menarik minatku dan akan membuatku tertahan satu dua hari lebih lama dari rencana.

Setelah menumpuk buku-buku yang bertebaran, kurapikan lagi sprei di kasur tanpa ranjang. Mengembalikan buku-buku pada tempatnya lalu mengambil satu lagi untuk dibaca. Dari pintu kamar dan jendela yang barusan aku buka, udara segar menelusup masuk. Pagi yang menyenangkan, sepertinya. Beberapa menit aku terdiam. Menikmati aliran udara yang bergerak menggantikan hawa kamar yang terasa pengap oleh aroma rokok dan keringat tubuhku. Merasa cukup, jendela kembali aku tutup. Pintu aku kunci dari luar. Sekarang waktunya melihat dunia; membiarkan kulit legam di tubuh terkena jilatan sinar matahari pagi yang hangat.

Di sana, duduk di pinggiran jalan di kilometer tujuh Jalan Kaliurang, aku merasa tersihir oleh gerak lalu lalang manusia yang terpampang di hadapanku. Begitu menakjubkan. Begitu mengherankan. Bertanya-tanya dalam hati, benarkah aku terlahir di masa yang salah? Di sebuah zaman di mana bekerja dan mencari nafkah dianggap sebagai suatu keharusan bahkan sesuatu yang mulia, sementara merenung dan berpikir jernih harus terpinggirkan ke lorong-lorong paling sepi dalam kehidupan. Di sana, di seberang pasar Kolombo, kusaksikan perilaku orang-orang yang sedang memenuhi tuntutan mode of being mereka; survival. Mereka, aku percaya, adalah orang-orang baik. Mereka, aku menduga, tak semata-mata melakukan itu semua demi diri mereka sendiri; ada sekian nyawa di rumah, berharap ayah-ibu-kakek-nenek-saudara mereka yang bekerja membawa sesuatu saat pulang. Air mulai mengalir perlahan membasahi pipiku; pedih rasanya mendapati uang telah menjadi kode otoritatif dalam kehidupan manusia urban. Dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Uang adalah Tuhan baru yang kepada kita ia berkuasa, menjadi Tuhan baru yang kepadanya kita menyembah. Bahkan juga di pasar; di tempat yang konon pernah dikatakan Nabi sebagai seburuk-buruk tempat. Dan aku, sepertinya tak perlu lagi bertanya hikmah apa di balik sabda itu. Sejarah telah mencatat terlalu banyak. Sejarah sudah terlalu lelah. Aku juga.

***

(2)

Dalam silang-sengkarut semacam ini, ada baiknya jika sejenak kita diam. Tak perlu menambah lagi badai kata-kata, gagasan, dan ambisi yang toh nantinya hanya akan hanyut dan tenggelam di lautan opini. Anggaplah ini semacam pesimisme akut dan ketidakmampuan untuk berpihak saat menghadapi realitas. Padahal segala yang nyata tak perlu lagi dinyata-nyatakan. Kita terlalu kerap melempar opini, gagasan, ide, dan bentuk-bentuk lain yang nyatanya hanya memperderas arus yang dengan deras membanjiri segala ruang hidup kita sehari-hari. Dan semua orang tahu, banjir pasti keruh. Pasti kotor.

Ini bukan sebuah perayaan atas eskapisme. Sama sekali tak bertaut dengan ketakmampuan diri menghadapi realitas lalu mencoba menyingkir darinya. Ketika terjadi banjir dan semua orang hanyut dalam arus, yang lebih bisa diandalkan adalah mereka yang bebas, mereka yang berada di tepian arus dan tak ikut terseret di dalamnya. Aku percaya hanya orang-orang yang pada mulanya menjauhkan diri dari keterlibatan semacam itulah yang nantinya layak diharapkan. Tapi di Indonesia, di negeri berpenduduk lebih dari 220 juta ini, seberapa perlu menegaskan eksistensi individu dan melepaskan diri dari massa, dari kerumunan? Pada titik ini, aku akan berterima kasih jika ada yang sudi menunjukkan bahwa bangsa ini pernah punya proklamasi individu yang menegaskan ke-aku-an. Jika tidak, tak perlu pula menyalahkan mereka yang beranggapan bahwa bangsa ini tak lebih dari kerumunan. Toh nyatanya, jauh lebih menyenangkan bukan melemparkan tanggungjawab kepada sesuatu-yang-berkuasa-lebih (higher power) ketimbang menanggung beban itu di pundak sendiri?

Di bibir pantai ini, lirih aku menirukan Eddie Vedder melantunkan Society. Menenangkan. Menyenangkan. Merasai dingin air dan debur ombak menampar-nampar tubuh. Tiba-tiba kudengar intro lagu Polyester Embassy yang belakangan ini kerap sekali aku putar. "Help me out just get me out of here. Is anybody outside help some stranger here. Pull me up I'm gonna die in here. Can anybody out there want be my square." Di sini, di bibir pantai, samar kusaksikan sesosok lelaki muda berjalan menuju samudra. Begitu tenang ia berjalan sebelum akhirnya ia lenyap menuju kedalaman. Sepertinya aku mengenalnya. Sepertinya.

Saturday, October 18, 2008

Kutipan Hari Ini

"It's impossible to equate these two attitudes: when you sense that you are alone, it does not mean that you feel inferior, but rather that you feel you are different. Also, a sense of inferiority may sometimes be an illusion, but solitude is a hard fact. We are truly different. And we are truly alone."

(Octavio Paz on The Pachuco and Other Extremes)

Saturday, October 11, 2008

Kata Mereka

"Aku seneng kamu masih seneng flirting. Kupikir kamu udah jadi sufi sekarang. Seperti yang kamu tulis di puisimu dulu. Aku lebih seneng kamu jadi manusia, bukan malaikat." (W, Malaysia)

"Kamu tuh abnormal." (D, Solo)

"Tuh kan, mesti aja kudu aku yang ambil inisiatif. Bener kamu cakepan dikit ketimbang dulu pas di Jogja, tapi soal siapa yang harus nyapa duluan, kamu tetep aja sama." (F, Jogja)

"Panjenengan saestu mboten saged gemujeng nggih?" (P, kenalan baru)

"Nanang tuh emang gitu. Tampangnya sok serius. Ketawa aja serius. Makanya ga usah ikut-ikutan belajar filsafat." (W, saudara sepupu)

"Bener kamu dulu ga punya apa-apa, tapi kamu punya semangat. Punya keinginan. Itu yang bikin aku tertarik." (F, mantan kekasih)

"Nanang tuh hobinya ngilang." (W, somewhere only we know)

"Udah kerja?" (N, calonnya W, teman sekelasnya P yang mantanku)

"Kamu kiri." (H, rekan kerja di Kairo dulu)

"Pasti pikiranmu juga rada nyleneh ya?" (E, admin di tempat kerja sekarang)

"Mas Nanang tu kerjanya 24 jam ya? Kok ga pernah pulang?" (R, sepupu, 7 tahun)

"Dengerin The Panas Dalam juga ya?" (I, seleb blog)

"Bersama Nanang, saya kerap merasa bukan laki-laki." (I, orang susah lagi jomblo)

"Dia tuh onta, ga pernah makan tapi kalo minum air bisa habis segalon." (H, juragan saya)

"It seems like you know everything." (Y, teman minum kopi)

"Saiki kok rada ireng ngunu. Tapi resik kok. Eh, saiki kok tambah bunder. Mbok sit-up lho." (F, satu-satunya perempuan bukan muhrin yang nggelitikin saya)

"Masnya wartawan ya?" (Perempuan aneh, tahu-tahu nepuk saya dari belakang dan bilang gitu)

"Kamu kenapa sih mas? Kok sering senyum-senyum sendiri?" (F, istrinya juragan)

"Tambah ngganteng ae kon!" (M, partner in crime di Kairo)

"Nanang itu kesalahan sejarah." (B, tutor bahasa 'Amiyah, kakak tingkat di asrama dan al-Azhar)

"So far, kamu menarik banget lah." (M, fashionista dan pecinta rambut)

"Lama ga ketemu. Tambah gemuk ya?" (T, calon partner ngajar di UPT, sayang, batal)

Note:
Iseng-iseng saya kumpulkan komentar tentang saya sejak saya pulang ke Indonesia. Beberapa memang muncul atas permintaan saya. Sementara sebagian besar muncul dengan sendirinya. Untuk yang merasa tercantum namanya dan merasa ada distorsi kata-kata, silahkan protes. Daftar ini akan terus diperbaharui sampai saya males.

Update terakhir tanggal 201o2oo8

Sunday, September 21, 2008

Kau Ini Bagaimana?

*
Semula hanyalah celetukan ringan dari kawan-kawan di Ciputat melihat kebiasaan saya saat mula-mula berada di Indonesia. Hampir setiap malam, saat menghabiskan waktu untuk sesi minum kopi berjama’ah, saya membawa buku untuk dibaca. Dan mereka cukup jeli untuk menandai bahwa buku yang saya baca selalu berganti. Maka muncullah pertanyaan-pertanyaan tak penting seperti: “Emang dibaca bener ya?” atau “Jangan terlalu serius, nanti cepat tua.” Kok belajar mulu sih? Ntar jadi pinter lho.” Dan menanggapi itu, jika suasana hati sedang baik cukuplah dengan penjelasan bahwa di Kairo hanya ada buku berbahasa asing. Maka selain membaca tulisan di blog atau media cyber lain, sulitlah menyembuhkan dahaga literasi akan bacaan-bacaan berbahasa Indonesia. Ibarat seorang musafir yang kehausan di tengah padang sahara namun tiba-tiba menemukan sejumlah pedagang asongan menawarkan air mineral dalam kemasan. Karenanya wajar jika cara membaca saya seperti orang lapar mata. Dan jika hal itu dirasa mengganggu, saya toh tak berkeberatan untuk berhenti membaca dan mencoba 'sadar lingkungan'. Ok. Fine. Saya lupa bahwa ini Indonesia, di mana menjadi bagian dari kerumunan dianggap sebagai sesuatu yang mulia dan menyendiri dipandang sebagai cerminan dari ego-sentris yang tak patut. Dan soal patut-tak patut ini, termasuk soal membaca di warung kopi di saat kawan-kawanmu sibuk berdebat soal bokong perempuan yang barusan lewat. Hahaha...

**
Dan kejadian semacam itu berulang setibanya saya di Solo. Saat keluar rumah untuk menemui Dika, saya sengaja duduk-duduk dulu di boulevard UNS sembari membaca buku. Pertama, karena Dika masih ada kegiatan sampai habis maghrib padahal saat itu masih tengah hari. Kedua, karena saya tak membawa motor sementara kos tempat kawan-kawan saya tinggal masih beberapa kilometer jauhnya. Saya tak berani mempertaruhkan keringat dengan nekat berjalan kaki untuk kemudian mendapati bahwa tak ada seorangpun di kos (saat itu saya dalam kondisi habis pulsa terbitlah geram).

Saya tak terlalu terganggu dengan tatapan mata dari mereka yang berada di sekeliling saya. Toh saya sendiri tak merasa mengganggu sekaligus tak terganggu oleh eksistensi mereka. Sejenak saya putar pandangan dari tempatku duduk. Ternyata dalam radius 20an meter hanya saya satu-satunya orang yang duduk sendirian. Sebagian besar berkerumun dan sisanya berpasang-pasangan. Bahkan Ibu penjual minuman yang duduk menunggui gerobaknya pun tak sendirian. Agak jauh tepat di sisi gapura seorang lelaki tertidur lelap, belakangan saya tahu bahwa itu suami si Ibu.

Anggap saya eksentrik atau nganeh-anehi. Atau bahkan malah pengidap sindrom kesendirian ala Paz yang bilang bahwa kesendirian seumpama pedang bermata dua: di satu pihak perasaan itu adalah kesadaran-diri; dan di lain pihak perasaan itu adalah suatu dambaan untuk melarikan diri dari diri kita sendiri. Realitanya saya merasa nyaman di sini. Maka silahkan saja mereka pacaran, diskusi, main gitar, melamun atau aktifitas apapunlah; ini ruang publik dan membaca buku adalah kegiatan yang menurut saya bukan sesuatu yang meresahkan dan layak disingkirkan dari ruang semacam boulevard kampus.

Malam hari, ketika akhirnya bertemu dengan Dika di warung angkringan dekat Prau ISI Surakarta, saya sedikit terkejut melihat reaksinya saat saya menceritakan kejadian di boulevard. Terkejut karena secara sepintas ia menganggap apa yang saya lakukan sebagai sesuatu yang aneh.

"Di boulevard sendiri? Baca buku?"
"Hah? Terus kenapa?"
"Ya ga sih. Aneh aja. Di sini kan bla bla bla..."

***
Sesi diskusi selepas pemutaran film Opera Jawa hampir usai saat perempuan berkacamata yang duduk di belakangku menyapa, “Mas.. mas,”

Butuh beberapa detik untuk sadar bahwa panggilan itu tertuju padaku. Kutolehkan pandangan ke belakang sembari bertanya, “Ya mbak?”

“Masnya ngerjain tugas ya?”
“Engga kok.”
“Wartawan?”
“Engga juga.”
“Lha trus ngapain?”
“Ya biasa aja. Lha wong mung numpang lewat kok.”
“Ngapusi!”

Dan saya hanya tertawa geli mendengar reaksi perempuan tadi. Sebenarnya saya maklum karena mungkin ia sudah mengamati gerak-gerik saya sejak awal. Begitu sesi diskusi oleh Rahayu Supanggah, Garin Nugroho, dan Slamet Gundono mulai, saya sudah sibuk sendiri dengan buku kecil dan pena. Mencatat ini itu, menghubung-hubungkan serpihan-serpihan informasi satu sama lain. Untuk apa? Bersenang-senang. Ini seperti bocah kecil yang begitu antusias bermain puzzle. Bedanya, saya harus mencari terlebih dulu kepingan-kepingan yang hendak saya susun. Saya percaya bahwa kelak, susunan yang (mungkin) tak utuh itu membantu saya untuk melihat dunia sebagaimana seharusnya ia tampak. Dan apa yang saya lakukan itu, sangatlah wajar menurut saya. Betapa tidak, saya tahu soal Opera Jawa justru setelah film itu tampil di ulasan film New York Times. Dan di Kairo, saya tak punya akses untuk mendapatkan film itu. Dan ini, selain kesempatan untuk menyaksikan pemutaran film, masih berbonus diskusi bersama orang-orang yang terlibat dalam pembuatan Opera Jawa. Wajar kan kalo saya antusias?

***

Fragmen-fragmen kecil pada bulan-bulan awal saya pulang itu sering membuat saya geli. Memplesetkan sajak Gus Mus, saya jadi bertanya-tanya, "Kau ini bagaimana? Kau suruh aku belajar, aku belajar kau bilang aku nggaya."

Duh!

Saya tahu betul apa yang saya perlukan untuk melanjutkan mimpi saya; menyambung titik pada peta dengan garis, sebelum akhirnya sampai di sebuah kota di Barat sana. Dan saya belum mau menyerah meski belakangan ini keadaan memaksa saya untuk berdamai dengan banyak hal yang selama ini saya tentang keras: mengejar materi, bersikap abstain saat harus berpihak, menjadi benalu.

Kepada Suci saya bercerita bahwa di balik apa yang dilihat beberapa orang sebagai kemajuan (beberapa orang itu di antaranya saya dan keluarga) ternyata termuat juga banyak kemunduran. Jadwal kerja yang terpatok sekian jam dalam sehari dalam beberapa pekan mau tak mau membuat produktivitas dalam menulis turun drastis. Bahkan soal membaca, tak lebih dari lima judul baru yang saya baca, itu pun masih berkutat pada disiplin ilmu yang sudah saya akrabi. Keinginan untuk mempelajari disiplin baru hanya jadi angan kosong saja. Alih-alih bertambah wacana di Jogja, saya kok malah merasa semakin tumpul saja.

Masalahnya adalah, saya tak lagi punya kemampuan untuk menyalahkan sesuatu di luar diri saya. Termasuk beberapa malapetaka kecil yang beruntun menyambangi dalam bulan ini. Semenjak Jlitheng (nama mocin yang saya kendarai dua bulan terakhir) terjatuh dan cidera dalam sebuah kecelakaan ringan, rasanya ia semakin ringkih saja. Spekulasi bahwa kondisinya tak akan terlalu buruk jika perbaikan harus ditunda ternyata luput. Miris rasanya mendengar suara gemerisik setiap kali ia saya pacu. Duh! Yang saya bisa cuma bergumam dalam hati dan berharap Jlitheng paham bahwa kondisi si empunya memang lagi mepet, belum bisa mengantarnya ke dokter.

Kejadian berikutnya saat TravelMate kesayangan saya mendadak tewas. Berhari-hari ia tergeletak di sudut kamar sebelum semalam saya memberanikan diri untuk membawanya ke seorang kawan untuk diperiksa apa yang bikin laptop itu mati. Dari analisa ringan, diperkirakan kerusakannya tak terlalu parah. Tapi tetap saja bikin gelisah. Betapa tidak, jika benar analisa awal kawan saya tadi, gaji sebulan bisa menguap dalam sekali transaksi. Huh!

Inginnya sih tenang-tenang saja, setenang saya menjawab pertanyaan-pertanyaan filsafati yang ditanyakan Imam ke saya beberapa hari terakhir. Nyatanya, kita; manusia-manusia modern yang sudah terlanjur nyaman hidup di tengah pusaran arus konsumerisme ini, cenderung gelisah saat mulai memikirkan rekening dan segala kebutuhan yang harus digenapi. Dan itu pula yang saya rasakan belakangan ini. Duh!

Semoga saya masih hidup sampai Lebaran nanti, bisa berkumpul bersama keluarga di Solo. Semoga pula momentum itu bisa mengisi ulang semangat hidup yang belakangan ini semakin bangkrut saja. Sebab saya percaya masih banyak yang harus saya selesaikan agar titik-titik kecil di peta itu bisa terhubung satu sama lain sebelum saya sampai di sana, di kota dengan inisial P itu.

p.s

Saya mau terima kasih untuk mereka yang mewarnai kehidupan saya di kota ini. Kepada Bulik Ipung sekeluarga yang bermurah hati memberi tempat bernaung, kepada keluarga Miva (khususnya mas Heri dan mbak Feppy, serta Irus) yang membuat aktifitas rutin menjadi hal yang menyenangkan bagi saya, kepada penghuni Ningratri; untuk kopi yang nikmat dan obrolan malam yang hangat. Untuk Imam, yang sering menemani saya menangis dan tertawa dalam banyak kesempatan. Juga kamu P, untuk kesediaanmu menjadi penunjuk arah saat aku mulai tersesat, menjadi pengingat saat aku mulai lupa pada peta.

Monday, September 1, 2008

Repacking

Kemarin aku menerima surat dari seorang kawan yang kebetulan seorang jurnalis. "Hidup itu seperti ransel bagi seorang backpacker. Kamu harus selalu membawanya kemana pun kamu pergi." Demikian tulisnya. Dan aku tahu itu, seperti halnya aku tahu bahwa dalam menata bekal, barang-barang yang kiranya tak kita butuhkan diletakkan paling bawah sementara yang bakal kita perlukan ditempatkan di atas atau di kantong depan.

Dan aku juga tahu, di tengah perjalanan seorang pejalan perlu berhenti sejenak untuk menata ulang dan melihat isi ranselnya. Barangkali yang tersimpan di bagian dalam perlu dipindahkan ke bagian atas atau sebaliknya. Barangkali masih ada barang-barang yang terbawa tapi sebenarnya tak lagi ia butuhkan. Lalu terkadang pula ia harus meninggalkan sesuatu untuk memudahkan perjalanan.

Begitu pula hidup manusia. Beban-beban yang membuat langkah menjadi berat selayaknya kita tinggalkan. Yang terbawa kemudian hanyalah apa yang membuahkan kemajuan.

Maka kawan, maafkanlah jika beberapa pekan terakhir aku menghilang sejenak dari ruang ini. Banyaknya beban yang aku tanggung membuat langkahku semakin berat saja. Sebab itu aku merasa perlu menata ulang ransel hidupku. Menimbang ulang apa yang hendak aku bawa mana yang hendak aku tinggalkan. Dan proses itu masih berjalan, sampai detik ini. Tak pasti kapan selesai; entah sehari, seminggu, sebulan, atau bahkan berbilang tahun.

Maka maafkan, jika nanti tak terlalu banyak yang bisa aku ceritakan di ruang ini. Semoga kalian masih sudi mengirimkan doa untukku meski aku hanya sesekali meluangkan waktu untuk menyebut nama kalian dalam doaku.

Sunday, August 31, 2008

Kutipan Hari Ini

"Imagine yourself exhausted in the middle of a desert... Sitting down will take away your pain, but it will kill you. The walk for water will hurt, but it may save your life."

(Daniel Gildenlöw)

Wednesday, July 9, 2008

Menuju Bandung

Aku selalu merasa punya hutang untuk datang ke kota itu. Entah kepada siapa. Kota itukah atau beberapa kawan yang berdiam di sana. Pada mulanya keinginan untuk ke sana pun lebih disebabkan oleh rasa ingin tahu. Usia sudah menginjak duapuluhan dan belum sekalipun menginjakkan kaki di sana. Oleh sebuah kebetulan aku bertemu dengan seseorang (mereka menyebutnya perempuan berhati stasiun) di Solo. Karena dia, aku merasa memiliki alasan mengunjungi Bandung.

Maka terjadilah apa yang terjadi. Tiga tahun lalu, untuk pertama kalinya aku singgah, dan kali pertama pula aku bermalam di sana. Benar-benar bermalam karena aku sampai menjelang sore dan esok harinya bergegas kembali ke Jakarta untuk hal yang perlu aku tuntaskan. Singkat memang, namun sambutan hangat dari kawan-kawan membuatku merasa perlu untuk menghadirkan diri dan hati kembali. Tempo hari, beberapa hari setelah aku sampai di Jakarta dari petualangan di Kairo, aku sempat setor muka sebentar. Iya, benar-benar sebentar karena memang hanya beberapa jam saja. Dan aku maklum kenapa ada yang komentar, "Iya nih, ngapain ni anak ke Bandung. Cuma setor muka doang."

Konyol mungkin. Terlebih jika mereka menakarnya dengan timbangan ekonomis. Sungguh tidak efektif dan efisien. Yah, setidaknya aku ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu di Bandung -entah kota itu entah beberapa penghuninya- yang memiliki arti tersendiri bagiku. Sesuatu yang tentu lebih berarti ketimbang ramai kota dan semarak visual di dalamnya.

Dan malam ini, aku merasa sudah waktunya untuk membayar hutang itu.

Perlahan kutarik dompet hitam dari saku celana dan mengintip isinya. Masih ada lembaran kertas bergambar I Gusti Ngurah di dalamnya. Ia tidak tersenyum. Tapi aku tersenyum karena keberadaan lembaran kertas itu memungkinkanku untuk bisa segera menuju stasiun Lempuyangan.

Ralat:
Saya urung ke Bandung. Mendadak kakak saya tiba dari Jakarta. Ada hal besar yang harus kami berdua selesaikan. Untuk kawan-kawan yang sudah menunggu di Bandung, saya mohon maaf.

Tuesday, June 24, 2008

Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun-daun

Sekali waktu seseorang ingin kembali ke masa kanak-kanaknya. Bermain di dalam hujan dan keluar dari kerepotan hidup sehari-hari. Sahabatku, seorang pelukis yang punya wawasan puisi dalam karya-karyanya, berlari-lari sambil menangkapi daun-daun yang gugur. Kemudian menari dan melompat-lompat dengan girang. Lihat, angin melucuti dedaunan, dan awan hitam yang bergerak seperti berderak di atas menara gereja tua itu.

Kehidupan yang polos. Seperti pernah kami lakukan berbaring di rerumputan dikelilingi anak-anak yang barangkali menganggap kami korban kecelakaan. Memandang ke bintang-bintang malam hari di sebuah taman sambil bercakap-cakap tentang soal kesenian. Atau tentang adanya saat yang paling sulit diterima, datangnya saat kematian. Yang dilewati manusia secara bergiliran seperti melewati tiang-tiang kilometer dalam satu perjalanan.

Atau tentang kehidupan di kota-kota besar di mana manusia telah menjadi asing satu sama lain. Hidup menjadi jarak-jarak tak tercapai. Bisa saja seorang tetangga memeriahkan ulang tahun anaknya yang bungsu sedang saat itu di rumah sebelahnya sedang dibaringkan satu tubuh manusia yang dingin dalam balutan kain batik. Karena kematian bukan lagi peristiwa yang menyentuh.

Sambil memegang selembar daun kuning yang berhasil kutangkap, aku bertanya adakah daun yang di tanganku itu masih dapat kusebut daun. Dan lantas bagaimanakah hubungan antara angin yang pernah menafasinya dengan angin yang kemudian merontokkannya. Dan kalau dedaunan adalah manusia, selembar di antaranya bisa saja aku. Dan kalau kemudian giliranku gugur, siapakah angin siapakah aku.

Sulit kumengerti untuk apa manusia lahir di dunia. Apakah benar untuk melanjutkan keturunan keluarga. Adakah itu dapat kupercaya? Barangkali saja seorang ayah hanya ingin mengendorkan ketegangan-ketegangan syarafnya lantas lahirlah manusia sebagai buahnya.

Lalu lahirlah dia ke dunia untuk mewarisi ketidaktentuan hidup dan giliran kematian pada suatu saat.

Telah banyak kusaksikan sahabat-sahabat yang murung. Mengirimkan iklan duka-cita, menulis memori dan mengirimkan karangan-karangan bunga bercat warna perak. Iringan-iringan ratap keluarga seperti mendung sepanjang tahun yang menyertai pemakaman. Telah banyak kudengar penyebab-penyebab kematian. Tersiar wabah, turun lahar dari pucuk-pucuk gunung, putus asa, kecelakaan atau terbakar perang dengan saudara-saudara sekandung sesama manusia.

Yang melegakan hati bahwa di dalam mengisi hidup ini manusia dapat memberi nilai pada dirinya. Barangkali dalam menjalani masa hidup yang penuh rahasia ini manusia dapat bermanfaat bagi manusia lain sedapat ia mampu. Lalu kemudian pada suatu malam di kamarnya dia menyambut seorang tamu. Yang datang tanpa sandal, yang datang tanpa lelah. Kemudian dengan pasrah dia berkata:

”Masuk, seperti kaulihat aku sendiri. Ambil sendiri kursi, sahabat.” (Ya, kusebut kau sahabat sebab bagaimana aku dapat memusuhimu)

Setelah kausinggahi beberapa rumah, aku mengerti giliranku saat ini! – kemudian ia memadamkan cahaya lampunya perlahan-lahan.

Suara guruh menyertai guguran daun-daun. Dan sahabatku masih saja menari-nari dengan girang menangkapi daun-daun bermain dalam hujan.

Friday, May 30, 2008

Tentang Ingatan dan Keterlupaan[1]

Sebagian kenangan ada baiknya terlupakan begitu saja. Seperti nomor telepon mantan pacar atau alasan mengapa engkau dahulu berkencan dengannya. Dan jika melupakan bisa menjadi sebuah anugrah, mengapa pula kita lebih kerap menganggapnya sebagai bencana?

Kebanyakan dari kita cenderung terpaku pada apa yang lowong (absent)[2] dalam hidup ketimbang apa yang saat ini kita genggam. Kita bisa mengingat jelas kapan kekasih/anak/teman kos kita lupa membersihkan sampah ketimbang ribuan kali mereka selalu mencuci piring seusai makan. Batin kita tersiksa saat berpikir tentang tagihan yang lupa terbayar ketimbang bersyukur atas kewajiban-kewajiban yang berhasil ditunaikan. Dan nyatanya terlalu banyak orang yang berharap memiliki daya ingat lebih baik, meski memang ada satu dua orang yang saya kenal berkeinginan agar memorinya lebih buruk.

Alasan mengapa satu dua orang tadi ingin dihinggapi lupa hanyalah karena, terkadang, lupa itu membebaskan. Saat ia berupaya memanggil ulang ingatan tentang momen buruk dan ternyata yang muncul hanyalah lembar kosong, saat itulah ia merasakan manisnya keterlupaan. Maka berterima kasihlah kepada lupa: ia menghapuskan sampah memori yang mungkin akan meracuni pikiran dan memungkinkan seseorang untuk tetap fokus pada masa kini dan masa depan. Benar bahwa apa yang kita lakukan saat ini suatu hari kelak pun akan terlupakan. Lantas apakah itu membuat sesuatu yang terlupakan menjadi sia-sia? Kebanyakan orang yang saya temui bilang begitu. Apa yang terlupakan hanya berbeda tipis dengan apa yang tak terjadi. Namun toh saya cenderung melihat sisi baiknya: melupakan adalah bentuk pembebasan diri dari masa lalu.

Mungkin kebebasan semacam ini yang kerapkali ditakutkan kebanyakan orang. Mereka mungkin akan memaksa saya untuk menghabiskan waktu bersama para penderita amnesia atau bahkan pengidap Alzheimer[3] sekedar untuk mengingatkan bahwa kehilangan ingatan sama dengan kehilangan identitas. Berbarengan dengan hilangnya ingatan, hilang pula kemampuan untuk menapaki masa depan demi mewujudkan tujuan hidup. Untuk alasan ini, tampaknya kita lebih senang untuk terus-menerus bersandar pada ingatan, menikmati apa yang terekam di sana, dan terkadang gagal menghargai, bahwa bagi beberapa orang, keterlupaan adalah sebuah anugrah.

***

[1] Untuk Mac, maju saja terus dan jangan terlalu kerap menoleh ke belakang. Untuk Jelek,
sometime forgetting can be a blessing. Trust me. Dan kamu Zee, semua akan baik-baik saja.

[2] Menurut saya ada perbedaan antara kosong dan lowong. Yang pertama menandakan sebuah kehampaan. Seumpama ruang, ia memang tak berisi apapun, benar-benar tak ada sesuatu di sana. Sementara lowong mengindikasikan bahwa pernah ada sesuatu di sana namun sesuatu itu tak lagi hadir
(absent). Sejak menyadari soal ini, saya kerap tersenyum geli membaca rubrik lowongan di koran-koran. Menurut Anda, kegelian saya cukup beralasan bukan?

[3] Alzheimer adalah nama keren dari kepikunan. Silahkan baca di Wiki soal penyakit tak menular itu.

Friday, March 28, 2008

Melankolia Jakarta

Sekali lagi aku mendongakkan kepala ke langit: mencari bulan. Kupikir aku bukanlah satu-satunya orang di kota ini yang menandai bahwa tiga hari terakhir ia jarang kelihatan. Sayang sekali terangnya jadi redup tersaput awan-awan hitam. Itu mengingatkan aku akan pemandangan dari jendela pesawat (aku lebih memilih window saat terbang) beberapa menit menjelang mendarat di Sukarno-Hatta. Galau sekali rasanya. Tampak sekali olehku betapa hitamnya warna laut. Di bawah sana, titik-titik kecil tampak begitu kontras. Tak butuh waktu lama untuk menyimpulkan: itu kapal. Bukan nelayan. Oh, ia sedang menarik kontainer.

"Itu banjir ya mas?"

Suara Rina, buruh migran di Saudi teman seperjalananku, membuyarkan pikiran-pikiran dalam otak. Aku menoleh sebentar lalu kembali lagi menengok ke jendela.

"Bukan tambak ya?" jawabku sekenanya. (Dalam hati aku berpikir, betapa jengkelnya Rina mendapat teman seperjalanan sepertiku. Yang lebih memilih mendengarkan album Hope and Fear-nya Keane atau membaca Blancot nyaris selama tujuh jam penerbangan ketimbang ngobrol sekedarnya)

Mataku menerawang melihat langit Jakarta. Aku tak tahu itu mendung atau kabut pekat polusi. Dan keraguanku itu membuat perasaanku semakin muram saja. Aku khawatir menjadi Mumu. Saat tiba di Jogja, setelah tiga tahun meninggalkan kota itu, ia mengirim sandek tentang kota yang berubah, tentang perasaan asing, tentang kecemasan-kecemasan. Bagiku itu tak terlalu penting. Perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Aku ingin semuanya berjalan seperti biasa, seperti lazimnya. Tak perlu itu kegalauan dan perasaan terasing. Dengan kondisiku sekarang, hal-hal semacam itu hanya akan membuatku mandeg dan enggan bergerak.

"Wah, hujan ya mas."

Lagi-lagi Rina. Saat aku menatapnya dengan pandangan serius, tampak olehku wajah yang kulihat beberapa jam yang lalu. Mimik bersalah, saat aku membangunkannya karena ia tertidur dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Lebih-lebih saat aku merasa perlu menjelaskan bahwa jika bahu lelaki diciptakan untuk bersandar, aku tahu ada seseorang yang lebih berhak untuk bersandar di sana ketimbang seorang teman seperjalanan yang bahkan baru aku tahu namanya setelah membantu mengisi kolom-kolom dalam lembar kedatangan.

"Hati-hati ya Rin. Selamat sampai Cianjur. Bisa ketemu sama keluarga di sana." kalimat itu yang keluar dari mulutku saat roda pesawat menyentuh aspal. Jendela basah. Sepertinya deras di luar sana.

Dan waktu terasa begitu lambat. Antrian di imigrasi dan wajah lesu petugasnya. Menunggu tas dan koper keluar dari bagasi. Perlakuan konyol petugas bandara karena mengira aku buruh migran (Ok, dia memang minta maaf setelahnya, tapi aku masih tak habis pikir kenapa dia mendadak sopan setelah tahu aku mahasiswa dan bukan pekerja? Sungguh perilaku yang aneh). Sopir taksi yang memanggilku bos dan menawarkan kartu telpon seharga 50 ribu (hebatnya, aku pun membelinya). Orang-orang di KFC. Keluarga gaul yang ketawa-tawa melihat video sadis (Psycho! batinku). Petugas kebersihan yang mengumpulkan puntung rokok. (Ha! ini betul-betul Indonesia. Berbuatlah semaumu. Buanglah sampah sesukamu. Tak ada tempat sampah dalam radius 200 meter. Dan ia memang digaji untuk bersih-bersih bukan?) Nian yang tampak kurus dan Ali yang begitu kusut. Obrolan tentang perkembangan pemikiran Islam kontemporer (bersyukur aku pernah terlibat di majalah Afkar). Ayat-ayat Cinta.

Dan waktu berjalan seperti biasa saat nomor tak dikenal muncul di layarku. Landline. Kode area mana ya? Butuh beberapa menit untuk sadar itu Mumu, karibku di Kairo yang lagi "liburan" di kampung halaman. Yang bermula dari mana ia tahu nomorku, padahal baru empat jam aku menginjakkan kaki di sini, sampai percakapan-percakapan sederhana tapi menjadi begitu penting. Dan aku yakin Mumu sadar, butuh banyak hal untuk mengubah basis aksioma yang sudah terlalu kokoh bercokol dalam diriku. Aku mungkin kesepian, namun aku terlalu muda untuk merasa cemas.

Di atas bus yang melaju kencang menuju Lebak Bulus, mataku menoleh ke arah kanan. Cantik betul pemandangan itu, batinku. Ganjil juga melihat matahari di ufuk barat dari jendela setengah basah sisa hujan.

"Udah. Jangan noleh ke Barat. Ntar pingin balik lagi ke Mesir." sergah Nian. Dan aku tak perlu bilang bahwa yang ada di kepalaku adalah pertemuan dengan seseorang dan melanjutkan pekerjaan-pekerjaan yang urung rampung.

Maka terjadilah apa yang terjadi. Sekian hari di Jakarta, mau tak mau muncul juga perasaan melankoli. Selalu saja ada yang berubah, pikirku. Meski aku merasa kesepian, aku terlalu muda untuk merasa cemas.

Life is so real. Don't treat it unreally. Tulisan tangan di atas whiteboard itu masih membekas jelas dalam ingatanku.

Thursday, March 13, 2008

Kisah Seuntai Awan Kecil

Alkisah, hiduplah sebuah awan yang sangat kecil dan sangat kesepian dan biasa berkeliaran jauh-jauh dari awan-awan besar. Ia sangat kecil, nyaris tak sampai seuntai. Dan manakala awan-awan besar menjadikan diri mereka hujan untuk mengecat hijau pegunungan, si awan kecil akan terbang mendekat untuk menawarkan jasanya. Tapi mereka mengoloknya karena ia begitu kecil.

"Kau tak punya apa-apa buat diberikan," awan-awan besar biasa memberitahunya. "Alangkah kecil dirimu."

Mereka mengoloknya menjadi-jadi. Lantas dengan sangat sedih si awan kecil mencoba menyingkir ke tempat lain untuk menjadikan dirinya hujan, tapi kemanapun ia pergi, awan-awan besar mendesaknya minggir. Maka si awan kecil pergi lebih jauh lagi sampai ia tiba di tempat yang sangat kering kerontang, saking keringnya sampai tak satu dahan pun tumbuh, dan si awan kecil berkata pada cerminnya (aku lupa memberitahumu bahwa si awan kecil ini membawa-bawa cermin agar ia bisa bicara dengan dirinya sendiri saat sedang sendirian):

"Ini lokasi sempurna untuk menjadikan diriku hujan karena tak seorang pun pernah datang kemari."

Si awan kecil mengerahkan banyak upaya untuk menjadikan dirinya hujan, dan akhirnya menelurkan satu tetes kecil. Begitulah, si awan kecil lenyap dan mengubah dirinya jadi setetes hujan kecil. Sedikit demi sedikit, si awan kecil, yang kini tetes hujan kecil, jatuh meluncur. Dalam segenap kesepiannya, ia jatuh dan jatuh, tapi tak ada yang menantikannya di bawah sana. Akhirnya, tetes hujan kecil itu menciprat sendirian. Karena padang pasir itu begitu lengang, si tetes hujan kecil menimbulkan kebisingan hebat waktu menciprat tepat di atas batu. Ia membangunkan Bumi yang bertanya:

"Ribut-ribut apa itu?"
"Tetes hujan jatuh," jawab batu.
"Tetes hujan? Artinya hujan bakal turun! Lekas! Bangun! Hujan akan turun!" ia mengingatkan tetumbuhan yang sembunyi di bawah tanah dari terik mentari.

Maka tumbuh-tumbuhan pun bangun dan mengintip, dan untuk sesaat seisi padang pasir tersaput warna hijau, dan awan-awan besar pun melihat hijau itu dari kejauhan dan berkata:

"Lihat, ada banyak hijau di sana. Ayo bikin hujan di tempat itu. Kita tidak tahu di sana begitu hijau."

Maka pergilah mereka menjadikan dirinya hujan di tempat yang dulunya padang pasir. Mereka curahkan hujan dan tanaman pun tumbuh dan segala sesuatu berubah hijau sekaligus.

"Mujur nian kita ada di sekitar sini, " ucap awan-awan besar. "Tanpa kita, tak bakal ada hijau."

Dan waktu itu, tak seorang pun teringat akan seuntai awan kecil yang mengucurkan setetes hujan kecil yang cipratannya membangunkan mereka yang tertidur.

Tak seorang pun ingat, tapi si batu menyimpan rahasia awan kecil itu. Waktu berlalu, dan awan-awan besar pertama itu lenyap dan tanaman-tanaman pertama itu pun mati. Dan batu, yang tak pernah mati, memberitahu tanaman-tanaman baru yang terlahir dan awan-awan baru yang tiba kisah mengenai seuntai awan kecil yang mengucurkan setetes hujan kecil.

Dikutip dengan setia dari Kata Adalah Senjata oleh Subcomandante Marcos

Monday, January 28, 2008

Mesir: Berkaca Pada Cermin Retak

Ada perasaan haru saat pertama kali memasuki masjid al-Azhar. Komposisi polifonik antara sedih dan bahagia. Sedih, kala menghayati perjalanan panjang yang dilalui al-Azhar, sejak "hanya" menjadi masjid hingga berproses sebagai sebuah institusi seperti sekarang. Juga menyadari betapa sedikitnya usaha saya untuk menggali kekayaan itu. Di sisi lain, ada rasa bahagia karena bisa menghadirkan hati dan diri, menyaksikan monumen sejarah seagung al-Azhar. Membayangkan bagaimana dahulu masjid berdiri, lalu berubah sebagai lembaga pendidikan, juga antusiasme para penuntut ilmu; semuanya membuat saya sedikit berbangga –dengan status sebagai siswa al-Azhar - bisa menjadi bagian dari tradisi panjang tersebut.

Sayangnya rasa haru tadi begitu saja lenyap, sesaat setelah memasuki pelataran kampus. Menyaksikan antrian panjang mahasiswa di loket su`un jadi cermin sederhana soal buruknya sistem administrasi. Juga tentang bangunan fisik kampus yang kotor dan terkesan kumuh; sampah berserakan, dinding-dinding bau pesing, anjing-anjing bebas berlarian ke sana kemari.

Kondisi semacam itu tak ayal membuat saya lari. Dalam pengertian lain, saya merasa sulit untuk bisa bersahabat dengan institusi pendidikan semacam itu. Kampus tak mewajibkan mahasiswa untuk hadir ke kuliah, ujian lebih mengandalkan aksentuasi hafalan ketimbang analisa. Akumulasi dari itu semua membuat saya, pada saat itu, mencari pelampiasan ke tempat lain. Rasanya, jauh lebih menyenangkan berdiam saja di kamar, membaca buku atau sekedar tidur-tiduran ketimbang berangkat untuk menghadiri kuliah.

Namun pada akhirnya stagnasi akut itu berhenti. Bukankah Mesir bukan hanya sekedar al-Azhar? Yang terbetik di kepala saat itu adalah keinginan untuk mengeksplorasi lebih mendalam kekayaan Mesir. Pada mulanya dimulai dari membaca literatur, baik yang terkait dengan mata kuliah sampai yang jauh dari itu. Ujungnya saya merasa bodoh dan semakin ingin tahu lebih banyak.

Pencarian itu berlanjut. Belakangan saat mulai menelusuri jejak-jejak fisik peninggalan Islam di Kairo. Dari yang semula bentuk kegeraman akan ketak-kondusifan tempat belajar, menjadi kehausan untuk menekuni sesuatu yang lain.

Di fase ini, pertanyaan saya semakin bertambah. Sebab bukan hanya masjid al-Azhar saja –yang memiliki kedekatan emosional- yang menimbulkan rasa haru. Memasuki masjid Ibnu Touloun yang dibangun pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah, memandang Kairo dari menara Madrasah dan Khanqah Sultan al-Zahir Barquq di utara Khan Khalily, mengamati hiasan-hiasan arabesque di masjid Rifa’I; selalu membuat saya diliputi sensasi serupa, saat pertama kali memasuki masjid al-Azhar.

Di Sultan Hassan, kekaguman muncul bukan semata-mata karena bangunan fisik namun juga oleh kemajemukan yang tercermin dari madrasah empat madzhab. Juga di madrasah Qalawun tempat Ibnu Khaldun mengajar saat menetap di Mesir. Tepat di belakangnya ada rumah sakit Qalawun, salah satu rumah sakit paling awal yang ada di Kairo, di mana para dokter dan ilmuwan menghabiskan waktu demi pengembangan ilmu kedokteran.

Pada akhirnya saya menemukan jawaban atas semua pertanyaan tadi. Di Mesir, siapapun yang sudi akan menemukan pencerahan. Saat masih di Indonesia, penghayatan akan Islam yang semula hanya karena Firman dan Sabda, meningkat menjadi kesadaran akan Sejarah. Kesadaran bahwa Islam bukan sekedar ajaran, tak pelak lagi akan mengubah religiusitas. Sebagai sebuah ajaran, penghayatan hanya akan sampai pada titik di mana Firman sekedar titah Tuhan. Untuk itu kita mengharuskan diri untuk menjalankan itu.

Dengan membaca Islam sebagai sejarah, akan ada banyak hal yang semula tak terduga, bisa tiba-tiba muncul. Dari peninggalan berbagai Dinasti penguasa Mesir, tersirat jelas bahwa Islam yang agung, bisa juga tampak nista. Kekerasan dan nafsu atas kekuasaan, menunjukkan bahwa dunia juga bisa memunculkan sesuatu yang mengerikan, yang menyedihkan, bahkan menjijikkan. Padahal mereka semua –para penguasa itu- merupakan orang yang berasal dari satu Firman, satu Sabda, juga satu ajaran.

Dari sejarah pula, terbaca bagaimana nafas kebajikan Islam bisa muncul dalam banyak ragam. Bangunan sabil-kuttab yang berdiri di banyak tempat -tempat mengambil air di lantai bawah dan tempat mengaji di lantai atas- mengajari saya tentang manifestasi Islam yang tak melulu mengurusi akhirat namun juga kebutuhan duniawi. Betapa mereka pada masa itu sadar akan kebutuhan pokok: air bagi yang haus ragawi dan ajaran agama bagi mereka yang haus ruhani.

Dalam bentuk lain, nafas kebajikan itu tercermin dari pusat perdagangan (wikalah) yang masih berdiri kukuh hingga kini. Bahwa mencari penghidupan, dengan jalan yang halal tentunya, merupakan sebuah keharusan. Dan tembok-tembok tinggi di sekeliling kota Kairo lama menunjukkan upaya memberi perlindungan bagi mereka yang berada di dalamnya. Nyatanya, selepas Baghdad runtuh oleh serangan Tartar, Mesir menjadi tempat eksodus bagi para ilmuwan dan ulama sehingga kekayaan khazanah Islam tak lenyap dari muka Bumi. Bahkan dalam perang Salib, pasukan Salib dari Eropa harus menelan kekalahan sebelum memasuki Bab Futuh, gerbang kota Kairo lama.

Proses tadi terus berlangsung dalam batin saya. Penghayatan bahwa kesempatan untuk berdiam di Mesir bukan semata-mata sebagai mahasiswa al-Azhar, namun juga sebagai saksi untuk membaca jejak perjalanan Islam. Pencerahan itulah yang kemudian mengubah cara pandang saya kepada al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan. Meski tak mudah untuk menghapus sikap apriori, setidaknya bisa berkompromi terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. Jika ajaran Islam yang agung –yang dalam tataran tertentu terbaca sebagai sesuatu yang buruk- bisa tetap saya imani hingga sekarang, mengapa pula saya ogah untuk memperlakukan al-Azhar seperti perlakuan terhadap ajaran Islam yang saya anut?

Sejak itu, mudah rasanya tersenyum melihat kesemrawutan di kuliah. Bahkan jika itu sulit, saya bisa cepat-cepat menghapuskan kejengkelan saya dengan duduk-duduk di masjid al-Azhar. Jika belum cukup, hanya dengan berjalan beberapa ratus meter menelusuri jalan Mu’izzuddinillah, rasa haru meluap-luap dalam hati dengan seketika.

Saya tahu, kekecewaan itu tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang sudah saya dapat di sini, di Mesir: Negeri Seribu Menara yang saya cintai.

Wednesday, January 23, 2008

Dhani Selalu Benar

Rasanya menyenangkan ya kalau kita selalu benar?

Seperti Dhani yang selalu benar. Setidaknya, dia berfikir begitu. Entah saat tebak-tebakan atau urutan memasukkan bumbu saat memasak, Dhani pasti tahu. Saat teman-teman menantangnya untuk memecahkan suatu masalah, semua masalah, ia pasti mempunyai tawaran solusi. Jika ada yang punya alternatif lain, ia akan bertanya kenapa yang bersangkutan tak menyetujui solusi yang ia tawarkan. Dia berargumen, panjang, hingga orang lain terjebak dalam inkonsistensi. Pertanyaan susulannya serupa yang digunakan Jaksa Penuntut Umum kepada tersangka, agar si tersangka tersudut dan mengakui kesalahan.

Dan Dhani hampir selalu menang. Ia hampir selalu berhasil membuat lawan bicaranya merasa kalah dan terpojok. Problemnya, lawan bicara Dhani bukan tersangka di pengadilan namun kawan atau orang-orang terkasihnya yang berlainan pendapat. Akhirnya, sebagian kawan menganggap berbeda pendapat dengan Dhani tak ada gunanya. Sebagian malah lebih parah lagi, merasa percuma bicara dengan Dhani karena tak pernah bisa menebak kapan suatu tema bisa menyulut kontroversi.

Dhani memenangkan semua pertempuran (battle) kecil. Namun menurutku ia kalah dalam perang (war). Mungkin ia tak menyadari itu, sebelum semua orang-orang terdekatnya memilih pergi. Dan kemungkinan juga ia tak peduli jika itu benar-benar terjadi. Toh ia selalu benar bukan?

Omong-omong, jangan bilang-bilang Dhani ya kalau saya menulis ini?

Tuesday, January 22, 2008

Selepas Hujan

Banyak yang saya temukan selepas hujan deras di Kairo hari ini. Sesuatu yang tentu jauh lebih berarti ketimbang dingin udara atau jalanan becek yang bikin sepatu saya tampak sangat kotor.

Pertama, saya teringat akan seseorang yang sangat saya sayangi meskipun kami sama sekali tak memiliki hubungan darah. Bukan pula karena kesamaan-kesamaan tertentu sebab nyatanya ia lebih suka Andrea Hirata sementara saya lebih memilih Iwan Simatupang. Jika ia menyukai senja, maka saya lebih memilih pagi. Dan sepertinya ia akan memilih gunung ketimbang pantai sementara saya sebaliknya.

Dan perbedaan-perbedaan itu terasa tak begitu penting. Setidaknya setelah kami sudah saling membaca sedemikian lama. Memang sih, intensitas tak musti berbanding lurus dengan kualitas. Terbukti ketika tahun lalu acapkali muncul gesekan yang memaksa saya untuk menarik nafas dalam-dalam sembari beristighfar, hanya untuk meredam kemarahan yang lagi memuncak. Dan luka-luka itu menjadi tak berarti. Sederhana saja sebabnya: kalau mau hujan ya jangan protes karena melihat petir dan mendengar guntur. Kalau di Solo istilahnya begini, gelem nangkane yo kudu gelem pulute.

Dalam hubungan selalu ada perselisihan. Betapapun besarnya rasa cinta setiap anggota pasangan. Selama masih ada keinginan untuk terus melanjutkan relasi, selebihnya hanya soal komunikasi. Tak mudah memang mengatasi perbedaan cara pandang atau alur berfikir. Bukan sekali dua kami bersepakat atas sesuatu hanya di tataran kesimpulan. Jalannya? Masih berlainan. Dan saya tersenyum saja, mungkin lelaki memang datang dari Mars dan perempuan dari Venus. Dan saya tersenyum saja, sebab kami masih berada di Bumi, rumah kami; tempat berteduh setelah kami bergandengan tangan di bawah hujan, kelak.

Kedua, perbincangan beberapa bulan lampau. Pemicunya pertanyaan Falah kepada saya, Faizin, dan Tob soal apakah hujan kali itu akan dimuat di Ahram, salah satu koran dengan oplah terbesar di Mesir. Pertanyaan itu menarik karena hujan baru benar-benar deras pada pukul tiga dini hari. Jika memang berita itu turun, besar kemungkinan distribusi koran akan tersendat karena urung naik cetak. Padahal, menurut Falah, Ahram adalah koran Mesir dengan distribusi paling canggih dan dibaca di berbagai negara. Tentu saja konsekuensi telat naik cetak bukan hal enteng bagi Ahram. Menurut saya, hal itu lazim saja. Koran harian kan bermain dalam hitungan menit, beda dengan mingguan yang punya lebih banyak waktu untuk menentukan materi. Dan justru, kemampuan untuk menangani berita-berita dadakan semacam itulah yang bikin sebuah media dibaca. Umumnya pembaca menuntut aktualitas bukan?

Tapi obrolan di atas jadi ga penting banget. Sebab keesokan harinya, tak seorangpun dari kami yang membeli koran untuk memeriksa soal hujan. Padahal, jarak antara flat kami dan kios koran cuma sepelemparan granat. Dan sungguh, sampai detik ini saya masih menyesal, sekaligus geli, kenapa kami harus membuang waktu untuk membahas soal Ahram dan hujan di Kairo. Hahaha.

Saturday, January 19, 2008

Merayakan Kediktatoran

Mubarak dan penasehatnya ada dalam pesawat di atas kota Kairo. Membawa duit $ 1,000 dia bertanya bagaimana cara memanfaatkan uang itu agar penduduk Mesir bahagia. Penasehat pertama usul agar Mubarak melemparkan uang itu lewat jendela agar satu keluarga Mesir bahagia. Penasehat kedua menyarankan agar bundelan uang dibagi dua sebelum dilempar agar ada dua keluarga berbahagia. "Tapi saya pingin semua warga senang? Gimana dong?" tanya Mubarak lagi. "Gampang saja Pak," jawab penasehat ketiga. "Kantongi saja duitnya, lalu sampeyan lompat dari pesawat. Pasti semua warga Mesir bahagia."

Pernah dengar guyonan tadi? Begitulah cara orang Mesir mengungkapkan kejengkelan atas pemerintah. Terkesan garing? Mungkin. Tapi di negeri dengan pengekangan mengeluarkan pendapat, humor jadi cara efektif untuk meluapkan kemarahan. Ok, ada banyak cara sebenarnya. Bisa lewat kotak suara, itupun kalau tak ada manipulasi dalam proses penghitungan. Mungkin juga lewat tulisan, baik di koran atau blog, asal siap jika nanti ada polisi yang tiba-tiba datang mendobrak pintu dan mengajakmu "jalan-jalan". Ikut demonstrasi juga boleh, dengan konsekuensi harus nginap di penjara, atau minimal jadi korban penyiksaan sebelum kemudian dibuang ke padang pasir seperti kasus Dr. Abdul Wahab el-Messiry beberapa hari lalu.

Begitulah. Seperti halnya para pengkritik gerakan Kifaya, kebanyakan warga Mesir lebih memilih jalur yang relatif lebih aman. Mungkin tak seberani Abdullah al-Nadim, penggerak Revolusi 1919, yang menyampaikan kritik lewat majalah humor al-Tabkit wa al-Tankit, tapi setidaknya ada nuansa perlawanan terhadap pemerintahan otoritarian.

Tema yang berkembang beragam, dari rakusnya pemerintah sampai soal loyonya pemegang otoritas keagamaan di Mesir. Tentang isu pewarisan kekuasaan kepada Gamal misalnya, disebutkan bahwa Mubarak memanggil syeikh Azhar (yang banyak disorot karena terlalu loyal kepada rezim) untuk mengeluarkan fatwa agar Gamal bisa menjadi presiden selanjutnya. Dan terkejutlah Mubarak karena sang mufti menolak sebab hal itu bertentangan dengan ayat tentang larangan menikahi ibu (penggambaran atas apa yang dilakukan Mubarak terhadap Mesir selama beberapa dekade). Dan pesan bersayapnya juga ada: Bahwa Mubarak sebagai pemimpin sekular yang keras terhadap oposisi Muslim, kerapkali bergandengan tangan dengan figur ulama atau institusi keagamaan demi legitimasi kekuasaan.

Soal monopoli bisnis oleh keluarga dan kroninya tergambar dari lelucon soal sekaratnya Mubarak. "Apa jadinya bangsa Mesir tanpa saya?", tanya sang presiden menjelang ajal. Si penasehat, untuk menenangkan sang presiden, bilang bahwa bangsa Mesir akan baik-baik saja, toh selama ini mereka biasa hidup susah dan bisa "makan batu". Mendengar itu, cepat-cepat ia mengeluarkan dekrit presiden tentang monopoli perdagangan batu untuk Ala, putra tertuanya yang usahawan itu.

Jika hidup hanya melulu berisi kegetiran, maka kemampuan untuk menertawakan diri sendiri (baca: pemerintah) bisa jadi penawar ampuh. Rakyat kecil yang berada di luar kekuasaan dan tampak diam, pada akhirnya mengembangkan pola komunikasi tersendiri untuk melawan rezim. Dan bukan mustahil jika kelak mayoritas yang terbungkam tadi tak bisa lagi menahan diri dan memilih cara lain untuk berbicara. Sepanjang 2006, ada 220 aksi protes di penjuru Mesir. Bandingkan dengan laporan Land Centre for Human Rights yang menyatakan bahwa setidaknya ada 283 aksi massa pada paruh pertama 2007. Well, quite huge number isn't it?

Mungkin masih jauh panggang dari api jika membayangkan Revolusi Roti (Intifadzat al-Hubz) tahun 1977 terulang lagi. Toh menurut LCHR, mayoritas aksi protes di tahun 2007 menyoal kenaikan gaji buruh. Belum menyentuh isu-isu "kolektif" seperti pencabutan subsidi bahan pokok atau lengsernya sang Fir'aun. Sementara penduduk Mesir sedang berproses untuk sadar, memunguti joke-joke politik bisa menjadi alternatif membunuh bosan kan? Seperti Fastball yang bilang, "there is always more than one way to say exactly what you mean to say", biarlah lelucon-lelucon itu jadi cara merayakan kediktatoran.

Friday, January 11, 2008

Pertanyaan Tentang Hijrah

Siang. Beberapa menit selepas adzan berkumandang. Terik matahari tak cukup menghangatkan badanku. Kencang hembusan angin menjilati tubuh setengah basah oleh sisa air wudlu membuatku kian menggigil saja. Duduk di bagian belakang jama'ah beralas sajadah terlipat setengah, kudengarkan khatib dengan seksama. Agak janggal memang, saat ingin menghadirkan diri secara penuh menyimak khutbah, justru aku tak bisa menangkap secara utuh apa yang ia sampaikan. Heran, padahal dengan bahasa fusha, bahasa Arab baku, yang sudah pasti lebih mudah kucerna ketimbang bahasa Arab 'ammiyah. Tak apa, pikirku. Toh nanti ada juga yang nyangkut di kepala.

Dan ya. Seperti yang aku terka, sang khatib berbicara tentang hijrah. Cukup panjang ia bertutur tentang pindahnya Nabi Muhammad dari Makkah menuju Madinah. Apesnya, hanya sedikit yang aku tangkap. Salah satunya tentang kecemasan Abu Bakr al-Shidq saat menemani Nabi menempuh perjalanan. Pertama kali aku mendengar cerita ini dari Ibu. Beliau membacakan kepada kami, putra-putranya, salah satu buku dari seri sejarah Islam untuk anak. Konspirasi membunuh Nabi, keberanian Ali menggantikan Nabi di tempat tidur, kegalauan Abu Bakr saat bersembunyi di gua.

Ingatan tentang Ibu seketika lenyap mendengar khatib berucap, "La tahzan. Inna Allaha ma'ana." Oia, kalimat tadi yang terucap dari mulut Nabi untuk menenangkan kamerad-nya Abu Bakr. Saat itu kan Abu Bakr sampai menangis. Kalau tak salah bapaknya 'Aisyah itu digigit ular, berjaga-jaga agar tak ada ular yang keluar dan menggigit Nabi. Dan ting-tong, tanda tanya besar muncul di pikiranku, "Dulu, saat hijrah, lagi musim apa ya? Kalo misalnya lagi musim dingin ya pasti bener-bener ga enaklah. Lha wong aku aja siang-siang begini udah ampun-ampun. Kalau malam gek kaya apa..."

Aku senyum-senyum sendiri. Kok bisa pertanyaan "sepenting" itu baru muncul sekarang, setelah usiaku hampir seperempat abad. Untung (atau buntung? Entahlah) dahulu, saat mengabdi di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) tak ada murid yang bertanya soal itu. Coba kalau saat itu ada yang tanya, samber ganteng aku pasti kelimpungan. Memang sih, kecil kemungkinan untuk muncul pertanyaan itu. Indonesia hanya punya dua musim bukan? Nyatanya, aku sendiri bertanya soal itu juga baru sekarang, setelah mencicipi musim dingin di Mesir. Lagian kan tak ada riwayat tentang kehujanan saat hijrah, ya wajar kalau tak ada yang nanya.

Hmm, jadi ingat adik-adik TPA deh. Lebih-lebih yang hiperaktif (baca: bandel). Masak jadwal masuk TPA kudu ngalah kalau lagi ada pertandingan bola di Stadion Manahan? Yang putra (termasuk aku juga :P) sih ok-ok saja. Lha mbak-mbaknya pada mencak-mencaklah menyaksikan aksi bolos berjama'ah.

Lalu hening. Baru sadar ini sudah jeda antara dua khutbah. Gila, batinku. Khutbah sepanjang itu, hanya kalimat la tahzan saja yang terekam di kepalaku?

Dan khutbah berlanjut. Ringkasan tentang hikmah di balik hijrah Nabi. Boleh juga pikirku. Ketimbang mengulang-ulang soal arti hijrah dan segala derivasinya, Khatib lebih menekankan tentang keberanian dan ketabahan kamerad-kamerad pendukung dakwah Nabi. Singkat saja sebelum kemudian berdoa bersama.

Lantas sholat. Di raka'at kedua konsentrasiku pecah. Tanda tanya soal musim kembali terlintas dalam pikiran. Oalah, susah memang kalau iman masih kelas kancut. Baru dua raka'at saja sudah lari kemana-mana.

Seusai salam, berjalan bareng Masao dan Abahe Rofiq. Bertanyalah aku, "Oed, pas hijrah dulu musim apa ya? Kalau musim dingin mesti kasian banget. Kita aja baru di kamar tanpa selimut udah mati-mati."

"Wah. Embuh kiy. " jawab Masao.

"Aku kok penasaran ya? Kira-kira musim apa gitu."

"Indonesia kan ga ada musim dingin. Ya ga mikir sampe segitunyalah."

Dan kucing tetanggapun tahu, aku sudah memikirkan pernyataan itu sejak khatib menyampaikan khutbah awal. Ah, nanti kubaca lagi sirah Nabawiyah.

Catatan:
1. Di sesela menulis postingan ini, jawaban sudah aku temukan. Di musim gugur ternyata, peralihan antara musim dingin menuju musim panas. Hoho, aku bisa tidur dengan tenang malam ini.

2. Aku teringat perempuan itu. Ia yang kerapkali bertanya, "Tadi khutbahnya apa?"