Monday, September 17, 2007

Mereka Berbahagia, Sebenarnya

"Saya pengen tinggal di kampung Om. Mungkin, di pedalaman sekalian. Jauh dari hiruk pikuk peradaban yang riuh. Yang dalam kata sampeyan cuma berisi iklan, baliho, konsumerisme akut yang cuma bikin pengen muntah..."

"Bangun di pagi hari dan menghirup harum sirih. Mandi di sungai lalu berangkat; mengajar anak-anak mengeja a, b, c, d. Hmm, cita-cita petualang."

"No no. Ga seagung itu. Justru saya lelah. Ingin bersembunyi saja. Menjauh dari sesuatu yang mereka bilang agung dan sakral."

"Sayangnya, orang-orang seperti kita tak akan sampai hati berdiam diri. Berlagak pilon, pura-pura tak sadar ada arus besar yang menggerus sisi kemanusiaan kita. "

"Haha. Mungkin begitu. Pasti kita terpanggil."

"Atau dipanggil?"

"Apapunlah."

"Ya apapunlah. Sampai kita kelelahan. Tak sempat lagi membaca buku-buku di rak berdebu karena semakin jarang disentuh, tak sempat lagi bersantai di tepian Nil, tak sempat lagi mengisi kekosongan batin."

"Tak ada waktu lagi untuk mencari rekaman-rekaman baru, film-film bermutu."

"Perpustakaan. Antum kapan terakhir ke sana?"

"Iya. Hahaha."

"Dan kita merasa lelah. Sangat lelah."

"Hmm, tapi... sebenarnya kita bahagia kan?"

"Mungkin. Kita bahagia sebenarnya, menelusuri jalan sepi pelancong ini sendirian, penuh kesakitan."

Dan kamar kembali senyap. Dua lelaki muda haus identitas haus orisinalitas yang bernasib sama denganku: terdampar di kota tua; tempat sejarah ditorehkan sejak ribuan tahun lalu.

Aku --yang pura-pura tidur--bangun. Memeriksa jam lewat ponsel. Minum air dari botol plastik yang tinggal separuh. Cuci muka di kamar mandi. Pipis. Ke kamar lagi. Minta pamit kepada salah satu dari mereka --yang lain sudah rebah dengan mata terpejam-- lalu segera beranjak pergi.

Di luar, langit semakin hitam. Sangat. Sangat gelap.