Tuesday, June 24, 2008

Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun-daun

Sekali waktu seseorang ingin kembali ke masa kanak-kanaknya. Bermain di dalam hujan dan keluar dari kerepotan hidup sehari-hari. Sahabatku, seorang pelukis yang punya wawasan puisi dalam karya-karyanya, berlari-lari sambil menangkapi daun-daun yang gugur. Kemudian menari dan melompat-lompat dengan girang. Lihat, angin melucuti dedaunan, dan awan hitam yang bergerak seperti berderak di atas menara gereja tua itu.

Kehidupan yang polos. Seperti pernah kami lakukan berbaring di rerumputan dikelilingi anak-anak yang barangkali menganggap kami korban kecelakaan. Memandang ke bintang-bintang malam hari di sebuah taman sambil bercakap-cakap tentang soal kesenian. Atau tentang adanya saat yang paling sulit diterima, datangnya saat kematian. Yang dilewati manusia secara bergiliran seperti melewati tiang-tiang kilometer dalam satu perjalanan.

Atau tentang kehidupan di kota-kota besar di mana manusia telah menjadi asing satu sama lain. Hidup menjadi jarak-jarak tak tercapai. Bisa saja seorang tetangga memeriahkan ulang tahun anaknya yang bungsu sedang saat itu di rumah sebelahnya sedang dibaringkan satu tubuh manusia yang dingin dalam balutan kain batik. Karena kematian bukan lagi peristiwa yang menyentuh.

Sambil memegang selembar daun kuning yang berhasil kutangkap, aku bertanya adakah daun yang di tanganku itu masih dapat kusebut daun. Dan lantas bagaimanakah hubungan antara angin yang pernah menafasinya dengan angin yang kemudian merontokkannya. Dan kalau dedaunan adalah manusia, selembar di antaranya bisa saja aku. Dan kalau kemudian giliranku gugur, siapakah angin siapakah aku.

Sulit kumengerti untuk apa manusia lahir di dunia. Apakah benar untuk melanjutkan keturunan keluarga. Adakah itu dapat kupercaya? Barangkali saja seorang ayah hanya ingin mengendorkan ketegangan-ketegangan syarafnya lantas lahirlah manusia sebagai buahnya.

Lalu lahirlah dia ke dunia untuk mewarisi ketidaktentuan hidup dan giliran kematian pada suatu saat.

Telah banyak kusaksikan sahabat-sahabat yang murung. Mengirimkan iklan duka-cita, menulis memori dan mengirimkan karangan-karangan bunga bercat warna perak. Iringan-iringan ratap keluarga seperti mendung sepanjang tahun yang menyertai pemakaman. Telah banyak kudengar penyebab-penyebab kematian. Tersiar wabah, turun lahar dari pucuk-pucuk gunung, putus asa, kecelakaan atau terbakar perang dengan saudara-saudara sekandung sesama manusia.

Yang melegakan hati bahwa di dalam mengisi hidup ini manusia dapat memberi nilai pada dirinya. Barangkali dalam menjalani masa hidup yang penuh rahasia ini manusia dapat bermanfaat bagi manusia lain sedapat ia mampu. Lalu kemudian pada suatu malam di kamarnya dia menyambut seorang tamu. Yang datang tanpa sandal, yang datang tanpa lelah. Kemudian dengan pasrah dia berkata:

”Masuk, seperti kaulihat aku sendiri. Ambil sendiri kursi, sahabat.” (Ya, kusebut kau sahabat sebab bagaimana aku dapat memusuhimu)

Setelah kausinggahi beberapa rumah, aku mengerti giliranku saat ini! – kemudian ia memadamkan cahaya lampunya perlahan-lahan.

Suara guruh menyertai guguran daun-daun. Dan sahabatku masih saja menari-nari dengan girang menangkapi daun-daun bermain dalam hujan.