Thursday, November 13, 2008

Melankolia Sebelum Hujan

(1)

Pagi-pagi benar, setelah membaca ulang beberapa cerpen Leo Tolstoy, kurogoh sisa uang di celana jeansku. Empat ribu dua ratus rupiah. Dan sudah dua malam perutku tak kemasukan nasi. Situasi semacam ini membuatku teringat kelakar beberapa kawan yang bilang bahwa aku harus rajin-rajin menulis sebab membaca tak bikin kenyang. Mungkin mereka benar. Tapi berada di ruangan ini benar-benar membuatku nyaman. Kamar yang sedang ditinggalkan sementara karena sang penghuni sedang melakukan penelitian di Singapura. Deretan buku yang tertata rapi di dalam rak memang tak banyak. Sekitar seratusan judul dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Sekitar separuh dari judul itu sudah aku kenali, baik yang sudah aku baca maupun yang sekedar aku tahu karena kerap dikutip dalam berbagai tulisan. Sementara separuh sisanya, meski belum pernah aku jamah, tampaknya cukup menarik minatku dan akan membuatku tertahan satu dua hari lebih lama dari rencana.

Setelah menumpuk buku-buku yang bertebaran, kurapikan lagi sprei di kasur tanpa ranjang. Mengembalikan buku-buku pada tempatnya lalu mengambil satu lagi untuk dibaca. Dari pintu kamar dan jendela yang barusan aku buka, udara segar menelusup masuk. Pagi yang menyenangkan, sepertinya. Beberapa menit aku terdiam. Menikmati aliran udara yang bergerak menggantikan hawa kamar yang terasa pengap oleh aroma rokok dan keringat tubuhku. Merasa cukup, jendela kembali aku tutup. Pintu aku kunci dari luar. Sekarang waktunya melihat dunia; membiarkan kulit legam di tubuh terkena jilatan sinar matahari pagi yang hangat.

Di sana, duduk di pinggiran jalan di kilometer tujuh Jalan Kaliurang, aku merasa tersihir oleh gerak lalu lalang manusia yang terpampang di hadapanku. Begitu menakjubkan. Begitu mengherankan. Bertanya-tanya dalam hati, benarkah aku terlahir di masa yang salah? Di sebuah zaman di mana bekerja dan mencari nafkah dianggap sebagai suatu keharusan bahkan sesuatu yang mulia, sementara merenung dan berpikir jernih harus terpinggirkan ke lorong-lorong paling sepi dalam kehidupan. Di sana, di seberang pasar Kolombo, kusaksikan perilaku orang-orang yang sedang memenuhi tuntutan mode of being mereka; survival. Mereka, aku percaya, adalah orang-orang baik. Mereka, aku menduga, tak semata-mata melakukan itu semua demi diri mereka sendiri; ada sekian nyawa di rumah, berharap ayah-ibu-kakek-nenek-saudara mereka yang bekerja membawa sesuatu saat pulang. Air mulai mengalir perlahan membasahi pipiku; pedih rasanya mendapati uang telah menjadi kode otoritatif dalam kehidupan manusia urban. Dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Uang adalah Tuhan baru yang kepada kita ia berkuasa, menjadi Tuhan baru yang kepadanya kita menyembah. Bahkan juga di pasar; di tempat yang konon pernah dikatakan Nabi sebagai seburuk-buruk tempat. Dan aku, sepertinya tak perlu lagi bertanya hikmah apa di balik sabda itu. Sejarah telah mencatat terlalu banyak. Sejarah sudah terlalu lelah. Aku juga.

***

(2)

Dalam silang-sengkarut semacam ini, ada baiknya jika sejenak kita diam. Tak perlu menambah lagi badai kata-kata, gagasan, dan ambisi yang toh nantinya hanya akan hanyut dan tenggelam di lautan opini. Anggaplah ini semacam pesimisme akut dan ketidakmampuan untuk berpihak saat menghadapi realitas. Padahal segala yang nyata tak perlu lagi dinyata-nyatakan. Kita terlalu kerap melempar opini, gagasan, ide, dan bentuk-bentuk lain yang nyatanya hanya memperderas arus yang dengan deras membanjiri segala ruang hidup kita sehari-hari. Dan semua orang tahu, banjir pasti keruh. Pasti kotor.

Ini bukan sebuah perayaan atas eskapisme. Sama sekali tak bertaut dengan ketakmampuan diri menghadapi realitas lalu mencoba menyingkir darinya. Ketika terjadi banjir dan semua orang hanyut dalam arus, yang lebih bisa diandalkan adalah mereka yang bebas, mereka yang berada di tepian arus dan tak ikut terseret di dalamnya. Aku percaya hanya orang-orang yang pada mulanya menjauhkan diri dari keterlibatan semacam itulah yang nantinya layak diharapkan. Tapi di Indonesia, di negeri berpenduduk lebih dari 220 juta ini, seberapa perlu menegaskan eksistensi individu dan melepaskan diri dari massa, dari kerumunan? Pada titik ini, aku akan berterima kasih jika ada yang sudi menunjukkan bahwa bangsa ini pernah punya proklamasi individu yang menegaskan ke-aku-an. Jika tidak, tak perlu pula menyalahkan mereka yang beranggapan bahwa bangsa ini tak lebih dari kerumunan. Toh nyatanya, jauh lebih menyenangkan bukan melemparkan tanggungjawab kepada sesuatu-yang-berkuasa-lebih (higher power) ketimbang menanggung beban itu di pundak sendiri?

Di bibir pantai ini, lirih aku menirukan Eddie Vedder melantunkan Society. Menenangkan. Menyenangkan. Merasai dingin air dan debur ombak menampar-nampar tubuh. Tiba-tiba kudengar intro lagu Polyester Embassy yang belakangan ini kerap sekali aku putar. "Help me out just get me out of here. Is anybody outside help some stranger here. Pull me up I'm gonna die in here. Can anybody out there want be my square." Di sini, di bibir pantai, samar kusaksikan sesosok lelaki muda berjalan menuju samudra. Begitu tenang ia berjalan sebelum akhirnya ia lenyap menuju kedalaman. Sepertinya aku mengenalnya. Sepertinya.

No comments: