Wednesday, July 9, 2008

Menuju Bandung

Aku selalu merasa punya hutang untuk datang ke kota itu. Entah kepada siapa. Kota itukah atau beberapa kawan yang berdiam di sana. Pada mulanya keinginan untuk ke sana pun lebih disebabkan oleh rasa ingin tahu. Usia sudah menginjak duapuluhan dan belum sekalipun menginjakkan kaki di sana. Oleh sebuah kebetulan aku bertemu dengan seseorang (mereka menyebutnya perempuan berhati stasiun) di Solo. Karena dia, aku merasa memiliki alasan mengunjungi Bandung.

Maka terjadilah apa yang terjadi. Tiga tahun lalu, untuk pertama kalinya aku singgah, dan kali pertama pula aku bermalam di sana. Benar-benar bermalam karena aku sampai menjelang sore dan esok harinya bergegas kembali ke Jakarta untuk hal yang perlu aku tuntaskan. Singkat memang, namun sambutan hangat dari kawan-kawan membuatku merasa perlu untuk menghadirkan diri dan hati kembali. Tempo hari, beberapa hari setelah aku sampai di Jakarta dari petualangan di Kairo, aku sempat setor muka sebentar. Iya, benar-benar sebentar karena memang hanya beberapa jam saja. Dan aku maklum kenapa ada yang komentar, "Iya nih, ngapain ni anak ke Bandung. Cuma setor muka doang."

Konyol mungkin. Terlebih jika mereka menakarnya dengan timbangan ekonomis. Sungguh tidak efektif dan efisien. Yah, setidaknya aku ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu di Bandung -entah kota itu entah beberapa penghuninya- yang memiliki arti tersendiri bagiku. Sesuatu yang tentu lebih berarti ketimbang ramai kota dan semarak visual di dalamnya.

Dan malam ini, aku merasa sudah waktunya untuk membayar hutang itu.

Perlahan kutarik dompet hitam dari saku celana dan mengintip isinya. Masih ada lembaran kertas bergambar I Gusti Ngurah di dalamnya. Ia tidak tersenyum. Tapi aku tersenyum karena keberadaan lembaran kertas itu memungkinkanku untuk bisa segera menuju stasiun Lempuyangan.

Ralat:
Saya urung ke Bandung. Mendadak kakak saya tiba dari Jakarta. Ada hal besar yang harus kami berdua selesaikan. Untuk kawan-kawan yang sudah menunggu di Bandung, saya mohon maaf.