Friday, March 28, 2008

Melankolia Jakarta

Sekali lagi aku mendongakkan kepala ke langit: mencari bulan. Kupikir aku bukanlah satu-satunya orang di kota ini yang menandai bahwa tiga hari terakhir ia jarang kelihatan. Sayang sekali terangnya jadi redup tersaput awan-awan hitam. Itu mengingatkan aku akan pemandangan dari jendela pesawat (aku lebih memilih window saat terbang) beberapa menit menjelang mendarat di Sukarno-Hatta. Galau sekali rasanya. Tampak sekali olehku betapa hitamnya warna laut. Di bawah sana, titik-titik kecil tampak begitu kontras. Tak butuh waktu lama untuk menyimpulkan: itu kapal. Bukan nelayan. Oh, ia sedang menarik kontainer.

"Itu banjir ya mas?"

Suara Rina, buruh migran di Saudi teman seperjalananku, membuyarkan pikiran-pikiran dalam otak. Aku menoleh sebentar lalu kembali lagi menengok ke jendela.

"Bukan tambak ya?" jawabku sekenanya. (Dalam hati aku berpikir, betapa jengkelnya Rina mendapat teman seperjalanan sepertiku. Yang lebih memilih mendengarkan album Hope and Fear-nya Keane atau membaca Blancot nyaris selama tujuh jam penerbangan ketimbang ngobrol sekedarnya)

Mataku menerawang melihat langit Jakarta. Aku tak tahu itu mendung atau kabut pekat polusi. Dan keraguanku itu membuat perasaanku semakin muram saja. Aku khawatir menjadi Mumu. Saat tiba di Jogja, setelah tiga tahun meninggalkan kota itu, ia mengirim sandek tentang kota yang berubah, tentang perasaan asing, tentang kecemasan-kecemasan. Bagiku itu tak terlalu penting. Perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Aku ingin semuanya berjalan seperti biasa, seperti lazimnya. Tak perlu itu kegalauan dan perasaan terasing. Dengan kondisiku sekarang, hal-hal semacam itu hanya akan membuatku mandeg dan enggan bergerak.

"Wah, hujan ya mas."

Lagi-lagi Rina. Saat aku menatapnya dengan pandangan serius, tampak olehku wajah yang kulihat beberapa jam yang lalu. Mimik bersalah, saat aku membangunkannya karena ia tertidur dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Lebih-lebih saat aku merasa perlu menjelaskan bahwa jika bahu lelaki diciptakan untuk bersandar, aku tahu ada seseorang yang lebih berhak untuk bersandar di sana ketimbang seorang teman seperjalanan yang bahkan baru aku tahu namanya setelah membantu mengisi kolom-kolom dalam lembar kedatangan.

"Hati-hati ya Rin. Selamat sampai Cianjur. Bisa ketemu sama keluarga di sana." kalimat itu yang keluar dari mulutku saat roda pesawat menyentuh aspal. Jendela basah. Sepertinya deras di luar sana.

Dan waktu terasa begitu lambat. Antrian di imigrasi dan wajah lesu petugasnya. Menunggu tas dan koper keluar dari bagasi. Perlakuan konyol petugas bandara karena mengira aku buruh migran (Ok, dia memang minta maaf setelahnya, tapi aku masih tak habis pikir kenapa dia mendadak sopan setelah tahu aku mahasiswa dan bukan pekerja? Sungguh perilaku yang aneh). Sopir taksi yang memanggilku bos dan menawarkan kartu telpon seharga 50 ribu (hebatnya, aku pun membelinya). Orang-orang di KFC. Keluarga gaul yang ketawa-tawa melihat video sadis (Psycho! batinku). Petugas kebersihan yang mengumpulkan puntung rokok. (Ha! ini betul-betul Indonesia. Berbuatlah semaumu. Buanglah sampah sesukamu. Tak ada tempat sampah dalam radius 200 meter. Dan ia memang digaji untuk bersih-bersih bukan?) Nian yang tampak kurus dan Ali yang begitu kusut. Obrolan tentang perkembangan pemikiran Islam kontemporer (bersyukur aku pernah terlibat di majalah Afkar). Ayat-ayat Cinta.

Dan waktu berjalan seperti biasa saat nomor tak dikenal muncul di layarku. Landline. Kode area mana ya? Butuh beberapa menit untuk sadar itu Mumu, karibku di Kairo yang lagi "liburan" di kampung halaman. Yang bermula dari mana ia tahu nomorku, padahal baru empat jam aku menginjakkan kaki di sini, sampai percakapan-percakapan sederhana tapi menjadi begitu penting. Dan aku yakin Mumu sadar, butuh banyak hal untuk mengubah basis aksioma yang sudah terlalu kokoh bercokol dalam diriku. Aku mungkin kesepian, namun aku terlalu muda untuk merasa cemas.

Di atas bus yang melaju kencang menuju Lebak Bulus, mataku menoleh ke arah kanan. Cantik betul pemandangan itu, batinku. Ganjil juga melihat matahari di ufuk barat dari jendela setengah basah sisa hujan.

"Udah. Jangan noleh ke Barat. Ntar pingin balik lagi ke Mesir." sergah Nian. Dan aku tak perlu bilang bahwa yang ada di kepalaku adalah pertemuan dengan seseorang dan melanjutkan pekerjaan-pekerjaan yang urung rampung.

Maka terjadilah apa yang terjadi. Sekian hari di Jakarta, mau tak mau muncul juga perasaan melankoli. Selalu saja ada yang berubah, pikirku. Meski aku merasa kesepian, aku terlalu muda untuk merasa cemas.

Life is so real. Don't treat it unreally. Tulisan tangan di atas whiteboard itu masih membekas jelas dalam ingatanku.

Thursday, March 13, 2008

Kisah Seuntai Awan Kecil

Alkisah, hiduplah sebuah awan yang sangat kecil dan sangat kesepian dan biasa berkeliaran jauh-jauh dari awan-awan besar. Ia sangat kecil, nyaris tak sampai seuntai. Dan manakala awan-awan besar menjadikan diri mereka hujan untuk mengecat hijau pegunungan, si awan kecil akan terbang mendekat untuk menawarkan jasanya. Tapi mereka mengoloknya karena ia begitu kecil.

"Kau tak punya apa-apa buat diberikan," awan-awan besar biasa memberitahunya. "Alangkah kecil dirimu."

Mereka mengoloknya menjadi-jadi. Lantas dengan sangat sedih si awan kecil mencoba menyingkir ke tempat lain untuk menjadikan dirinya hujan, tapi kemanapun ia pergi, awan-awan besar mendesaknya minggir. Maka si awan kecil pergi lebih jauh lagi sampai ia tiba di tempat yang sangat kering kerontang, saking keringnya sampai tak satu dahan pun tumbuh, dan si awan kecil berkata pada cerminnya (aku lupa memberitahumu bahwa si awan kecil ini membawa-bawa cermin agar ia bisa bicara dengan dirinya sendiri saat sedang sendirian):

"Ini lokasi sempurna untuk menjadikan diriku hujan karena tak seorang pun pernah datang kemari."

Si awan kecil mengerahkan banyak upaya untuk menjadikan dirinya hujan, dan akhirnya menelurkan satu tetes kecil. Begitulah, si awan kecil lenyap dan mengubah dirinya jadi setetes hujan kecil. Sedikit demi sedikit, si awan kecil, yang kini tetes hujan kecil, jatuh meluncur. Dalam segenap kesepiannya, ia jatuh dan jatuh, tapi tak ada yang menantikannya di bawah sana. Akhirnya, tetes hujan kecil itu menciprat sendirian. Karena padang pasir itu begitu lengang, si tetes hujan kecil menimbulkan kebisingan hebat waktu menciprat tepat di atas batu. Ia membangunkan Bumi yang bertanya:

"Ribut-ribut apa itu?"
"Tetes hujan jatuh," jawab batu.
"Tetes hujan? Artinya hujan bakal turun! Lekas! Bangun! Hujan akan turun!" ia mengingatkan tetumbuhan yang sembunyi di bawah tanah dari terik mentari.

Maka tumbuh-tumbuhan pun bangun dan mengintip, dan untuk sesaat seisi padang pasir tersaput warna hijau, dan awan-awan besar pun melihat hijau itu dari kejauhan dan berkata:

"Lihat, ada banyak hijau di sana. Ayo bikin hujan di tempat itu. Kita tidak tahu di sana begitu hijau."

Maka pergilah mereka menjadikan dirinya hujan di tempat yang dulunya padang pasir. Mereka curahkan hujan dan tanaman pun tumbuh dan segala sesuatu berubah hijau sekaligus.

"Mujur nian kita ada di sekitar sini, " ucap awan-awan besar. "Tanpa kita, tak bakal ada hijau."

Dan waktu itu, tak seorang pun teringat akan seuntai awan kecil yang mengucurkan setetes hujan kecil yang cipratannya membangunkan mereka yang tertidur.

Tak seorang pun ingat, tapi si batu menyimpan rahasia awan kecil itu. Waktu berlalu, dan awan-awan besar pertama itu lenyap dan tanaman-tanaman pertama itu pun mati. Dan batu, yang tak pernah mati, memberitahu tanaman-tanaman baru yang terlahir dan awan-awan baru yang tiba kisah mengenai seuntai awan kecil yang mengucurkan setetes hujan kecil.

Dikutip dengan setia dari Kata Adalah Senjata oleh Subcomandante Marcos