Sunday, September 21, 2008

Kau Ini Bagaimana?

*
Semula hanyalah celetukan ringan dari kawan-kawan di Ciputat melihat kebiasaan saya saat mula-mula berada di Indonesia. Hampir setiap malam, saat menghabiskan waktu untuk sesi minum kopi berjama’ah, saya membawa buku untuk dibaca. Dan mereka cukup jeli untuk menandai bahwa buku yang saya baca selalu berganti. Maka muncullah pertanyaan-pertanyaan tak penting seperti: “Emang dibaca bener ya?” atau “Jangan terlalu serius, nanti cepat tua.” Kok belajar mulu sih? Ntar jadi pinter lho.” Dan menanggapi itu, jika suasana hati sedang baik cukuplah dengan penjelasan bahwa di Kairo hanya ada buku berbahasa asing. Maka selain membaca tulisan di blog atau media cyber lain, sulitlah menyembuhkan dahaga literasi akan bacaan-bacaan berbahasa Indonesia. Ibarat seorang musafir yang kehausan di tengah padang sahara namun tiba-tiba menemukan sejumlah pedagang asongan menawarkan air mineral dalam kemasan. Karenanya wajar jika cara membaca saya seperti orang lapar mata. Dan jika hal itu dirasa mengganggu, saya toh tak berkeberatan untuk berhenti membaca dan mencoba 'sadar lingkungan'. Ok. Fine. Saya lupa bahwa ini Indonesia, di mana menjadi bagian dari kerumunan dianggap sebagai sesuatu yang mulia dan menyendiri dipandang sebagai cerminan dari ego-sentris yang tak patut. Dan soal patut-tak patut ini, termasuk soal membaca di warung kopi di saat kawan-kawanmu sibuk berdebat soal bokong perempuan yang barusan lewat. Hahaha...

**
Dan kejadian semacam itu berulang setibanya saya di Solo. Saat keluar rumah untuk menemui Dika, saya sengaja duduk-duduk dulu di boulevard UNS sembari membaca buku. Pertama, karena Dika masih ada kegiatan sampai habis maghrib padahal saat itu masih tengah hari. Kedua, karena saya tak membawa motor sementara kos tempat kawan-kawan saya tinggal masih beberapa kilometer jauhnya. Saya tak berani mempertaruhkan keringat dengan nekat berjalan kaki untuk kemudian mendapati bahwa tak ada seorangpun di kos (saat itu saya dalam kondisi habis pulsa terbitlah geram).

Saya tak terlalu terganggu dengan tatapan mata dari mereka yang berada di sekeliling saya. Toh saya sendiri tak merasa mengganggu sekaligus tak terganggu oleh eksistensi mereka. Sejenak saya putar pandangan dari tempatku duduk. Ternyata dalam radius 20an meter hanya saya satu-satunya orang yang duduk sendirian. Sebagian besar berkerumun dan sisanya berpasang-pasangan. Bahkan Ibu penjual minuman yang duduk menunggui gerobaknya pun tak sendirian. Agak jauh tepat di sisi gapura seorang lelaki tertidur lelap, belakangan saya tahu bahwa itu suami si Ibu.

Anggap saya eksentrik atau nganeh-anehi. Atau bahkan malah pengidap sindrom kesendirian ala Paz yang bilang bahwa kesendirian seumpama pedang bermata dua: di satu pihak perasaan itu adalah kesadaran-diri; dan di lain pihak perasaan itu adalah suatu dambaan untuk melarikan diri dari diri kita sendiri. Realitanya saya merasa nyaman di sini. Maka silahkan saja mereka pacaran, diskusi, main gitar, melamun atau aktifitas apapunlah; ini ruang publik dan membaca buku adalah kegiatan yang menurut saya bukan sesuatu yang meresahkan dan layak disingkirkan dari ruang semacam boulevard kampus.

Malam hari, ketika akhirnya bertemu dengan Dika di warung angkringan dekat Prau ISI Surakarta, saya sedikit terkejut melihat reaksinya saat saya menceritakan kejadian di boulevard. Terkejut karena secara sepintas ia menganggap apa yang saya lakukan sebagai sesuatu yang aneh.

"Di boulevard sendiri? Baca buku?"
"Hah? Terus kenapa?"
"Ya ga sih. Aneh aja. Di sini kan bla bla bla..."

***
Sesi diskusi selepas pemutaran film Opera Jawa hampir usai saat perempuan berkacamata yang duduk di belakangku menyapa, “Mas.. mas,”

Butuh beberapa detik untuk sadar bahwa panggilan itu tertuju padaku. Kutolehkan pandangan ke belakang sembari bertanya, “Ya mbak?”

“Masnya ngerjain tugas ya?”
“Engga kok.”
“Wartawan?”
“Engga juga.”
“Lha trus ngapain?”
“Ya biasa aja. Lha wong mung numpang lewat kok.”
“Ngapusi!”

Dan saya hanya tertawa geli mendengar reaksi perempuan tadi. Sebenarnya saya maklum karena mungkin ia sudah mengamati gerak-gerik saya sejak awal. Begitu sesi diskusi oleh Rahayu Supanggah, Garin Nugroho, dan Slamet Gundono mulai, saya sudah sibuk sendiri dengan buku kecil dan pena. Mencatat ini itu, menghubung-hubungkan serpihan-serpihan informasi satu sama lain. Untuk apa? Bersenang-senang. Ini seperti bocah kecil yang begitu antusias bermain puzzle. Bedanya, saya harus mencari terlebih dulu kepingan-kepingan yang hendak saya susun. Saya percaya bahwa kelak, susunan yang (mungkin) tak utuh itu membantu saya untuk melihat dunia sebagaimana seharusnya ia tampak. Dan apa yang saya lakukan itu, sangatlah wajar menurut saya. Betapa tidak, saya tahu soal Opera Jawa justru setelah film itu tampil di ulasan film New York Times. Dan di Kairo, saya tak punya akses untuk mendapatkan film itu. Dan ini, selain kesempatan untuk menyaksikan pemutaran film, masih berbonus diskusi bersama orang-orang yang terlibat dalam pembuatan Opera Jawa. Wajar kan kalo saya antusias?

***

Fragmen-fragmen kecil pada bulan-bulan awal saya pulang itu sering membuat saya geli. Memplesetkan sajak Gus Mus, saya jadi bertanya-tanya, "Kau ini bagaimana? Kau suruh aku belajar, aku belajar kau bilang aku nggaya."

1 comment:

Anonymous said...

hahahaa.....

aku suka bagian ini :
"kau ini bagaimana? kau suruh aku belajar, aku belajar kau bilang aku nggaya."

nice post! :)

btw, opera jawa, benar bagus ?