Monday, January 28, 2008

Mesir: Berkaca Pada Cermin Retak

Ada perasaan haru saat pertama kali memasuki masjid al-Azhar. Komposisi polifonik antara sedih dan bahagia. Sedih, kala menghayati perjalanan panjang yang dilalui al-Azhar, sejak "hanya" menjadi masjid hingga berproses sebagai sebuah institusi seperti sekarang. Juga menyadari betapa sedikitnya usaha saya untuk menggali kekayaan itu. Di sisi lain, ada rasa bahagia karena bisa menghadirkan hati dan diri, menyaksikan monumen sejarah seagung al-Azhar. Membayangkan bagaimana dahulu masjid berdiri, lalu berubah sebagai lembaga pendidikan, juga antusiasme para penuntut ilmu; semuanya membuat saya sedikit berbangga –dengan status sebagai siswa al-Azhar - bisa menjadi bagian dari tradisi panjang tersebut.

Sayangnya rasa haru tadi begitu saja lenyap, sesaat setelah memasuki pelataran kampus. Menyaksikan antrian panjang mahasiswa di loket su`un jadi cermin sederhana soal buruknya sistem administrasi. Juga tentang bangunan fisik kampus yang kotor dan terkesan kumuh; sampah berserakan, dinding-dinding bau pesing, anjing-anjing bebas berlarian ke sana kemari.

Kondisi semacam itu tak ayal membuat saya lari. Dalam pengertian lain, saya merasa sulit untuk bisa bersahabat dengan institusi pendidikan semacam itu. Kampus tak mewajibkan mahasiswa untuk hadir ke kuliah, ujian lebih mengandalkan aksentuasi hafalan ketimbang analisa. Akumulasi dari itu semua membuat saya, pada saat itu, mencari pelampiasan ke tempat lain. Rasanya, jauh lebih menyenangkan berdiam saja di kamar, membaca buku atau sekedar tidur-tiduran ketimbang berangkat untuk menghadiri kuliah.

Namun pada akhirnya stagnasi akut itu berhenti. Bukankah Mesir bukan hanya sekedar al-Azhar? Yang terbetik di kepala saat itu adalah keinginan untuk mengeksplorasi lebih mendalam kekayaan Mesir. Pada mulanya dimulai dari membaca literatur, baik yang terkait dengan mata kuliah sampai yang jauh dari itu. Ujungnya saya merasa bodoh dan semakin ingin tahu lebih banyak.

Pencarian itu berlanjut. Belakangan saat mulai menelusuri jejak-jejak fisik peninggalan Islam di Kairo. Dari yang semula bentuk kegeraman akan ketak-kondusifan tempat belajar, menjadi kehausan untuk menekuni sesuatu yang lain.

Di fase ini, pertanyaan saya semakin bertambah. Sebab bukan hanya masjid al-Azhar saja –yang memiliki kedekatan emosional- yang menimbulkan rasa haru. Memasuki masjid Ibnu Touloun yang dibangun pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah, memandang Kairo dari menara Madrasah dan Khanqah Sultan al-Zahir Barquq di utara Khan Khalily, mengamati hiasan-hiasan arabesque di masjid Rifa’I; selalu membuat saya diliputi sensasi serupa, saat pertama kali memasuki masjid al-Azhar.

Di Sultan Hassan, kekaguman muncul bukan semata-mata karena bangunan fisik namun juga oleh kemajemukan yang tercermin dari madrasah empat madzhab. Juga di madrasah Qalawun tempat Ibnu Khaldun mengajar saat menetap di Mesir. Tepat di belakangnya ada rumah sakit Qalawun, salah satu rumah sakit paling awal yang ada di Kairo, di mana para dokter dan ilmuwan menghabiskan waktu demi pengembangan ilmu kedokteran.

Pada akhirnya saya menemukan jawaban atas semua pertanyaan tadi. Di Mesir, siapapun yang sudi akan menemukan pencerahan. Saat masih di Indonesia, penghayatan akan Islam yang semula hanya karena Firman dan Sabda, meningkat menjadi kesadaran akan Sejarah. Kesadaran bahwa Islam bukan sekedar ajaran, tak pelak lagi akan mengubah religiusitas. Sebagai sebuah ajaran, penghayatan hanya akan sampai pada titik di mana Firman sekedar titah Tuhan. Untuk itu kita mengharuskan diri untuk menjalankan itu.

Dengan membaca Islam sebagai sejarah, akan ada banyak hal yang semula tak terduga, bisa tiba-tiba muncul. Dari peninggalan berbagai Dinasti penguasa Mesir, tersirat jelas bahwa Islam yang agung, bisa juga tampak nista. Kekerasan dan nafsu atas kekuasaan, menunjukkan bahwa dunia juga bisa memunculkan sesuatu yang mengerikan, yang menyedihkan, bahkan menjijikkan. Padahal mereka semua –para penguasa itu- merupakan orang yang berasal dari satu Firman, satu Sabda, juga satu ajaran.

Dari sejarah pula, terbaca bagaimana nafas kebajikan Islam bisa muncul dalam banyak ragam. Bangunan sabil-kuttab yang berdiri di banyak tempat -tempat mengambil air di lantai bawah dan tempat mengaji di lantai atas- mengajari saya tentang manifestasi Islam yang tak melulu mengurusi akhirat namun juga kebutuhan duniawi. Betapa mereka pada masa itu sadar akan kebutuhan pokok: air bagi yang haus ragawi dan ajaran agama bagi mereka yang haus ruhani.

Dalam bentuk lain, nafas kebajikan itu tercermin dari pusat perdagangan (wikalah) yang masih berdiri kukuh hingga kini. Bahwa mencari penghidupan, dengan jalan yang halal tentunya, merupakan sebuah keharusan. Dan tembok-tembok tinggi di sekeliling kota Kairo lama menunjukkan upaya memberi perlindungan bagi mereka yang berada di dalamnya. Nyatanya, selepas Baghdad runtuh oleh serangan Tartar, Mesir menjadi tempat eksodus bagi para ilmuwan dan ulama sehingga kekayaan khazanah Islam tak lenyap dari muka Bumi. Bahkan dalam perang Salib, pasukan Salib dari Eropa harus menelan kekalahan sebelum memasuki Bab Futuh, gerbang kota Kairo lama.

Proses tadi terus berlangsung dalam batin saya. Penghayatan bahwa kesempatan untuk berdiam di Mesir bukan semata-mata sebagai mahasiswa al-Azhar, namun juga sebagai saksi untuk membaca jejak perjalanan Islam. Pencerahan itulah yang kemudian mengubah cara pandang saya kepada al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan. Meski tak mudah untuk menghapus sikap apriori, setidaknya bisa berkompromi terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. Jika ajaran Islam yang agung –yang dalam tataran tertentu terbaca sebagai sesuatu yang buruk- bisa tetap saya imani hingga sekarang, mengapa pula saya ogah untuk memperlakukan al-Azhar seperti perlakuan terhadap ajaran Islam yang saya anut?

Sejak itu, mudah rasanya tersenyum melihat kesemrawutan di kuliah. Bahkan jika itu sulit, saya bisa cepat-cepat menghapuskan kejengkelan saya dengan duduk-duduk di masjid al-Azhar. Jika belum cukup, hanya dengan berjalan beberapa ratus meter menelusuri jalan Mu’izzuddinillah, rasa haru meluap-luap dalam hati dengan seketika.

Saya tahu, kekecewaan itu tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang sudah saya dapat di sini, di Mesir: Negeri Seribu Menara yang saya cintai.

1 comment:

Anonymous said...

pengembaraan diri menelusuri lorong-lorong sejarah di padang pasir, jauh dari angin-angin musim kemarau dan hujan di tempat ibu melahirkan.
dulu.