Thursday, January 4, 2007

Untuk Segala Keikhlasanmu

: EHdn

Non, terakhir kali aku meninggalkan rumah, yang kuingat pagar besi ada di sebelah kiri, bukan di kanan. Bapak tak pernah bercerita tentang hal-hal kecil seperti itu. Termasuk mengapa "bunga" telor itu sekarang berwarna pink, padahal dulu jelas-jelas berwarna merah dan kuning. Aku masih ingat betul kapan aku membeli beberapa botol pigmen dan mencampurnya dengan cat sisa di belakang rumah. Oia, pagar besi dan bambu masih berwarna sama. Hanya pindah tempat saja.

Kamu pasti ingat, sore itu terakhir kali kita bertemu. Maaf jika membuatmu menunggu terlalu lama. Bisa kau lihat bukan ketergegasan di wajahku? Maklum, kali pertama pergi jauh dalam waktu tak tentu. Setelah kamu minta diri aku kembali menemui kawan-kawan. Saat itu Bapak bertanya, "Sopo?" Kujawab saja Kawan. Iya, aku bilang Kawan. Dengan K besar meski mungkin Bapak tak menyadari karena aku menjawab dengan lisan.

Hmm, beberapa jam ini aku merekonstruksi kejadian-kejadian masa lalu. Perkenalan kita, pertemuan pertama kita lewat pameran lukisan di Gramedia. Sungguh lho non, itu cara yang menarik untuk sebuah pertemuan. Sms "gelap" yang bikin penasaran, telponmu ketika kau melihatku bergegas keluar area Gramedia. Oia, juga keherananmu saat menemukan keanehan pada foto yang terpampang di katalog pameran. Hehe... pantas saja kamu heran, meski sama-sama Nanang MS, tapi saat itu ada dua nama dan dua orang yang berbeda.

Lalu sebuah malam ketika aku mengambil pemberianmu. Ah, aku lupa namanya. Edo? Aldo? Entahlah. Yang pasti malam itu aku keluar rumah, mencari alamat rumah yang kau berikan, lantas mengambil bungkusan itu. Saat pulang, sengaja kuhentikan motor di trotoar Slamet Riyadi. Sambil menikmati teh jahe di pinggiran jalan yang ramai, kubuka bungkusan darimu. Iya non, itu Bible untukku. Pertama-tama aku buka sisipan di bagian belakang. Ah, di dunia ini selalu saja ada orang-orang baik. Terima kasih. Terima kasih. Aku sendiri lumayan sering membacanya, sampai sekarang. Terutama Mazmur. Entah berapa kali tulisan yang tercetak di sana aku baca. Oia, aku mungkin belum cerita soal larisnya Bible itu. Tahun lalu ada mata kuliah Perbandingan Agama, kawan-kawan yang semula merasa ganjil, semacam maido, tanpa ragu menelaah isinya. Memang sih, hanya saat ujian. Meski begitu aku yakin mereka juga berterima kasih kepadamu.

Di TC suasana syahdu sekali ya? Tapi saat itu aku tidak sedang terhanyut. Itu semacam keharusan yang memang harus terjadi harus dilakoni. Aku kok agak nyesel kenapa paginya aku enggan singgah. Terlalu banyak pertimbangan kadang-kadang bikin ruwet juga. Ya sudah. Toh sudah lewat.

Di Purwosari aku malah merasa garing. Itu salah satu yang bisa bikin aku "gelap". Jujur sih, meski aku agak lupa detailnya, tapi yang namanya rasa kan susah hilang. Antara merasa bersalah dan tak nyaman campur aduk jadi satu. Eh, tapi kadang-kadang ada bonus juga saat aku merasa gundah. Seperti saat aku ngebut naik motor Jogja-Solo karena dapat kabar harddisk di rumah rusak. Saking kacaunya pikiran aku sempat nyeruduk motor di Kandang Menjangan. Karena suntuk malah bablas mampir warnet. Ternyata kamu lagi di dekat UMS. Lalu aku ngantar kamu pulang. Waktu itu sempat jajan bakso Kadipolo ya? Hehe... seingatku kamu yang traktir. Meski akhirnya dataku hilang tak bisa diselamatkan, jadi sadar bahwa dalam kondisi sulitpun seringkali ada kompensasi. Hal-hal sepele mungkin, tapi bagi mereka yang mau sedikit nggalih rasa, akan menemukan keindahan di dalamnya.

Pada akhirnya kembali bertanya, "Terbuat dari apakah kenangan?" Aku tak bisa menjawab. Mungkin karena itu penggalan-penggalan masa lalu berkejaran di otakku. Tak utuh memang, namun itu sudah lebih dari cukup untuk mengingat bahwa di dunia ini masih banyak orang baik. Seumpama kamu mengira aku sudah lupa, rasanya itu salah. Mungkin memang aku terlalu gagap untuk bisa membalas Kasih yang kamu beri, karenanya aku mohon maaf.

Non, seandainya aku bisa menginventarisir semuanya; surat, pesan singkat, pertemuan, akan ada banyak hutang yang harus kubayar. Bahkan tanpa itupun, jelas sudah adamu menjadi variabel penting dalam perjalananku. Maaf jika egois, tapi ini cerita kita yang punya, biar saja kita yang menikmatinya diam-diam. Untuk segala keikhlasan yang ada padamu; terima kasih.

p.s: sanakjan saiki aku wis ono sing ngancani, ora banjur aku nglaliake kabeh pambudimu. :)

5 comments:

Anonymous said...

Ini bukanlah kisah tentang manusiamanusia yang berbudi, toh manusiamanusia itu sedang terus belajar untuk bisa mengasihi yang ada di bumi. Tanpa ada sakit atau kesal yang boleh menyelinap, sekalipun itu kadang masih.

Aku hanya meneruskan apa yang Tuhan telah berikan untukku. Meneruskannya pada merekamereka yang di sekelilingku. Membagi berkat yang sebenarnya itu adalah milikNYA. Bukan milikku. Dan itu sudah menjadi hak merekamereka.

Tanpa DIA aku bukanlah siapasiapa.
Karena aku masih sering tergelincir dan membuat murka orang lain.
DIAlah yang sesungguhnya berbudi bukan aku.
Maka berterimakasihlah pada DIA bukan aku.

Memiliki kawan seperti kamu, adalah berkat tersendiri dariNYA.

ps: sakjanen, aku ugo isih eling karo kabeh kahananan sing wis kelakon marang awake dewe. Kalem wae, sisihanmu iku ora perlu kuatir marang aku.

Anonymous said...

akhirnyaa...
dulu, sewaktu kamu ke bandung, Nang. aku berharap kamu menceritakan bagaimana kamu meninggalkan rumah juga kotamu, dan tentu saja, aku ingin mendengar bagaimana kalian berdua saling melepas. tapi sptnya kamu terlalu enggan utk berbagi.

dan sekarang, tanpa perlu menanyakan kepadamu. aku sudah bisa membacanya sendiri ;)

Anonymous said...

:Sireum

Sebenarnya jangan kau percaya 100% tulisan itu, karena ingatannya ternyata memang benarbenar payah! :p. Ok, mungkin di tulisan itu dia sudah mengakui nama seorang kawan yang katanya bernama Edo? Aldo? Padahal namanya adalah Renato. Jauh kan?

Lalu tentang di TC, sebenarnya paginya kami masih sempat bertemu. Sekedar cari sarapan bareng kemudian menepi di sebuah lapangan. Dan memang betul sorenya saat pulang sempat karambol alias nyeruduk dan sempat bertemu lagi di dekat UMS.

Mungkin seminggu setelah itu (entahlah aku lupa), yang jelas aku singgah lagi di TC saat ayah akan penandatangan jual beli di kantor Notaris untuk rumah di TC. Sejak itu sepertinya dia mulai 'banyak pertimbangan'. Dan benar, ketidaknyamanan mulai membayangi. Semua memuncak saat perjumpaan di Purwosari. Tapi Tanggo rasa susu vanilla sengaja kutitipkan supaya dibawanya ke Bandung agar kalian makan bersama, sekedar simbolis meluruhkan semuanya. Bahwa rasa manis dan renyahnya Tanggo adalah yang akan selalu diingat, harapku begitu pula dengan renyahnya tawa dan manis sebuah pertemanan kita yang juga akan diingat. Bukan tentang ketidaknyamanan itu.

Sekalipun yang namanya ketidaknyamanan kadang datang dan pergi.

ps: untuk siempunya blog, maaf kami ngobrol di emperan rumahmu ini.

Anonymous said...

:ehdn

Hmm... Tanggo yang kamu titipkan itu, kami makan di sebuah warung pecel lele samping kampus, tapi tak habis. Sisanya kami makan lagi di pentagon, gedung tua di dalam kampus bersama beberapa orang teman.

Tapi sungguh, berkali-kali aku makan Tanggo, hanya Tanggo yang kamu kirimkan yang punya rasa lain di lidahku. Aku pikir ini semacam ritual sakral yang kelak harus kita ulang bersama. Tapi kamu harus ada juga. Kita bertiga, makan Tanggo rasa susu vanilla.

Ck ck ck ck...
Bagaimana komentarmu, Nang? Ayolah... Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama.

Anonymous said...

:sireum

Tentang mengulang ritual Tanggo. Aku tidak bisa menjanjikan kita bisa menciptakan nuansa yang sama seperti dulu. Karena semua sudah masa lalu. Keadaan kita semua sudah berubah, aku, kamu, dan terutama sekali dia.

Kau lihat sendiri kan? Dia sama sekali tak mau menjamu kita. Padahal jelasjelas kita sudah lama berbicara di teras rumahnya. Ayuk, kita pulang saja.