Monday, May 1, 2006

Pram, Selamat Jalan

Catatan duka mengenang Pramoedya Ananta Toer

Aku bukan seorang Pramis. Meski sudah beberapa tahun kenal lewat karyanya yang dipajang di toko buku. Itupun tak semuanya terbaca. Hanya beberapa judul yang sempat kulahap. Setelah bergaul dengan manusia melek sastra aku baru sadar bahwa Pram adalah orang besar. Puluhan buku yang dihasilkan serta beberapa kali masuk nominasi penghargaan Nobel sastra adalah bukti eksistensi Pram sebagai manusia sebenar, bukan sekedar.

Pram bagiku adalah potret nyata sebuah dedikasi. Upaya-upaya yang ia lakukan untuk mencatat hidup merupakan bukti kesadaran diri. Pram bukan orang yang setengah jadi. Ia mempertaruhkan hidupnya demi sebuah prinsip yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Untuk hal satu ini kita berhutang kepadanya.

Aku bukan seorang Pramis. Meski begitu banyak yang aku ambil darinya. Tentang Jawanisme misalnya. Jawanisme bukan sekedar Jawa-sentris, yang mana menjadikan Jawa seagai pusat dan barometer kekuasaan. Jawanisme yang ditentang Pram adalah sikap taat dan setia pada atasan. Sikap inilah yang akan berujung kepada fasisme Jawa, sebuah sistem yang tumbuh dan berkembang pesat dalam masa Soeharto.

Jawanisme-lah yang bertanggung jawab atas jatuhnya Jawa di tangan penjajah. Ketika golongan priyayi menjadi alat pemerintah dan sawah milik desa disulap menjadi perkebunan. Sementara para petani hanya menjadi kuli diatas tanah mereka sendiri. Kondisi ini berlangsung terus-menerus. Rakyat yang miskin dan terbelakang tak tahu harus berbuat apa. Satu dua orang yang berani berbicara dihantam dan disingkirkan. Sisanya memilih diam tanpa perlawanan hanya karena satu hal: menghormati atasan. Hasilnya adalah generasi yang tak mampu (atau tak mau?) bertanya dan berargumen. Dan kita tahu, mental kuli itu masih dipelihara hingga kini. Terbukti, sampai sekarang Indonesia baru bisa menjadi negara pengekspor kuli terbesar di dunia.

Menurut Pram, dalam kehidupan keluarga Indonesia sekarang ini tidak diajarkan untuk berproduksi, melainkan hanya mengkonsumsi. Hasilnya adalah rakyat tidak tahu lagi bagaimana cara berproduksi, hanya jadi kuli, hanya jadi suruhan saja sepanjang hidupnya. Dan ketika mereka tak mampu berproduksi, mereka berusaha dengan korupsi: membuat orang lain korupsi atau dirinya sendiri korupsi.

Pram memang dilahirkan untuk melawan mitos. Ia berteriak agar bangsa Indonesia mau berpikir rasional dan menghancurkan mental pengemis. Kritikan ini tidak hanya ditujukan kepada kaum aristokrat saja, namun juga kaum agamis. Ia menganggap orang yang berdoa sama saja dengan pengemis. Pram terlalu percaya bahwa apa yang ada di dunia hanya bisa diubah dengan usaha manusia belaka, tanpa boleh mengidap ketergantungan kepada yang diatas. Boleh jadi Pram tidak sedang menyerang agama. Yang ia serang adalah sikap terlalu bergantung kepada unsur transendental dan enggan percaya kepada kemampuan sendiri. Maka ketika masyarakat berada dalam ketidakberdayaan akut untuk melawan mitos, gagasan Pram layak dielaborasi sebagai solusi alternatif memecahkan kebuntuan.

Indonesia adalah negeri yang dilahirkan dengan multi-kulturalisme kental. Ribuan pulau, puluhan bahasa, etnis, dan berbagai paham dan ideologi menjadi "kekayaan" bangsa ini. Namun dalam masa Orde Baru terjadi penyeragaman (homogenisasi) kultur secara masif. Upaya homogenisasi yang menuntut adanya doktrin atau ideologi tunggal pada akhirnya menciptakan masyarakat dengan budaya tertutup. Masyarakat tak mampu lagi berdialog dengan kebudayaan lain. Unsur-unsur baru yang masuk dicurigai dan dijauhi. Tak ada interaksi dan dialog satu sama lain.

Pram merasakan betul hal itu. Ketika kekerasan menjadi solusi bagi penguasa, ia adalah satu dari sekian banyak korban yang harus berada di penjara. Belum lagi penjarahan dan pembakaran kertas dan naskah ditambah pelarangan buku-bukunya. Tapi Pram tetaplah Pram. Penindasan yang dilakukan terhadapnya dibalas dengan karya-karya "berkelas Nobel". Dari sini nampak bagaimana semangat juang akan menjadi nyala bagi seseorang. Pram selalu ditekan, ia memilih untuk melawan. Karenanya Pram dan karya-karyanya akan selalu ada dalam sejarah.

Aku bukan seorang Pramis. Kurang bijak menempatkan Pram di altar agung tanpa cela. Sebagaimana yang ia yakini, dalam hidup kita harus bisa ber-dialektika. Tidak selamanya harus menganut logika oposisi biner: menyalakan satu saklar sembari mematikan yang lain. Ada yang bisa diambil, ada yang bisa ditinggalkan. Meski begitu, ada baiknya untuk bertanya: masih adakah orang-orang dengan visi keindonesiaan, memiliki –yang kata Bung Karno- visi nation and character building di sekitar kita?

Pram telah pergi. Dan kita merasa kehilangan. Konsep dan gagasan yang ia tinggalkan menjadi PR bagi kita: generasi muda Indonesia. Masih banyak yang harus dikerjakan untuk membangun jati diri dan karakter sejati. Pram mungkin kesepian, tapi kita tahu: ia tak benar-benar sendirian. Masih ada segelintir manusia yang memiliki kesadaran dan mulai menapaki jalan yang ia pilih. Jalan panjang yang menuntut dedikasi tinggi untuk menjadi seorang Indonesia sejati. Akhirnya, sepenggal kalimat dalam Bumi Manusia harus selalu diingat: "Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap, kalau tidak dia takkan jadi apa-apa."

Selamat jalan Pram, baik-baik disana. Kau tak perlu lagi berteriak menyuarakan ketidakadilan. Aku masih percaya kok, Tuhan itu Maha Adil.

1 comment:

Anonymous said...

turut berduka cita, Indonesia telah kehilangan orang yang mau menyuarakan kebenaran.