Sepanjang hari aku tak keluar rumah. Tadi pagi bangun terlambat. Keluar dari kamar mandi ternyata sudah iqamat. Masuk kamar untuk sholat Subuh. Jelas-jelas sudah telat sih, tapi bagaimana lagi? Toh sudah sejak kemarin lampu di kamar byar-pet, makanya kumatikan saja. Korelasinya dengan telat sholat subuh? Ya jelas lah. Kamarnya kan masih gelap. Hehe.
Sembari menunggu air panas untuk menyeduh kopi, kunyalakan komputer. Saddam Hussein dieksekusi hari ini. Aku tak bisa menggambarkan perasaanku setelah membaca berita itu. Ya, aku memang berada dalam wilayah abu-abu. Otakku terlalu pas-pasan untuk bisa mencerna ada apa di balik berita tentang Irak. Yang aku tahu Saddam dieksekusi, penduduk Syi'ah bernyanyi menari, lalu beberapa saat kemudian ada bom menyalak menghantarkan puluhan nyawa menyusul Saddam. Tragis.
Konflik. Pelik. Dan selama manusia masih menggunakan kosakata lama; balas dendam, maka akan selalu ada darah tumpah. Lagi dan lagi.
Sementara di perairan Masalembo, Senopati tenggelam. Ratusan penumpang belum diketahui nasibnya. Beberapa selamat memang. Hanya beberapa. Di sini aku jelas tak bisa melakukan apa-apa. Jangankan melakukan sesuatu, menangispun aku tak. Yang pasti, beberapa tahun sebelum aku lahir, di perairan yang sama Tampomas tenggelam. Aku memang belum lahir ketika berita itu ada. Tapi aku pernah mendengar Iwan Fals bernyanyi untuk Tampomas, dan aku belum lupa syair lagunya.
Mungkin nanti akan ada lagu baru lagi, judulnya Senopati.
Berikutnya kabar dari Saudi. Jama'ah haji Indonesia kelaparan karena katering gagal. 24 jam mereka tak menerima ransum. Banyak yang pingsan. Ada pula yang dikabarkan meninggal karena penyakit jantung. Katanya, karena telat obat. Padahal obatnya baru bisa diminum setelah makan. Tak ada ransum tak ada obat. Tragis.
Dan seperti biasa, aku tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk menyalahkan pihak tertentu pun tak. Biarlah jama'ah haji yang bisa menerima "ujian" semacam ini mendapatkan pahala. Biarlah mereka yang "menguji" para jama'ah terbuka hatinya.
Hari ini Idul Adha. Di mana-mana orang berbicara tentang semangat berkorban. Di mana-mana orang bertutur ulang kisah Ibrahim dan Ismail. Di mana-mana orang menyambut hari raya. Dan di sini, aku tak melakukan apa-apa. Di rumah saja. Membaca berita. Mendengar mp3 mengalun dari speaker. Menghirup kopi. Membakar tembakau. Menghajar jantung dan paru-paru. Beberapa jam ini dadaku terasa sesak. Mungkin karena kebanyakan merokok. Bukan karena muak melihat dunia yang semakin bobrok.
nb.
Judul di atas terinspirasi dari ucapan seorang kawan. Dia bilang, "... a word human needs another exact meaning, rather then what it looks today: self-vacant..."
Oia, ada yang hafal Blowing In The Wind-nya Bob Dylan? Nyanyi sama-sama yuk?
Sunday, December 31, 2006
Monday, December 25, 2006
Ujian dan Tergadainya Religiusitas
Selepas Maghrib, aku jalan kaki dari sekretariat menuju mahattah Bawwabah III. Saat itu, aku melihat banyak kawan-kawan mahasiswa Indonesia keluar dari masjid Sahabah. Ini bukan bulan Ramadlan. Tak biasanya kawan-kawan sholat berjama'ah di masjid. Hmm, aku masih ingat jelas: saat ini ujian.
Entah mengapa kecenderungan meningkatnya spirit religiusitas selalu tampak pada masa-masa seperti ini. Ketika ujian, mereka yang sebelumnya biasa-biasa saja dalam menjalankan ibadah formal, seketika berubah. Melakukan sholat sunnah, puasa Senin-Kamis, rutin bertahajud, tilawah Al Qur'an, bahkan ziarah makam, menjadi semacam kewajiban dalam hari-hari menjelang ujian.
Tentu fenomena ini layak diberi apresiasi. Dengan ukuran tertentu, peningkatan kuantitas ibadah bisa dijadikan indikator religiusitas seseorang. Yang dipertanyakan adalah niat: semata-mata untukNya atau sebatas untuk kelulusan saja? Silahkan menjawab, aku cuma ingin bertanya.
Kemarin ada kawan yang mengajakku untuk ziarah ke makam Imam Syafi'i di kawasan Sayyidah 'Aisyah. Karena aku masih harus menyelesaikan beberapa materi, kubilang saja aku enggan.
"Lha wong belajar aja juga belum. Kamu berangkat aja sendiri." ujarku.
"Lho? Justru karena belum belajar malah harus banyak-banyak berdoa. Selama ini aku belajarnya juga pas-pasan, tapi kok bisa najah terus? Kayaknya karena sering ziarah deh."
"Iya. Tapi kalo ntar malah dikartu kuning gara-gara cuma nengok pas butuh, gimana?"
Taufik. Istilah ini akrab sekali di telinga kawan-kawan Indonesia di Kairo. Ujian di Al Azhar tak cukup dengan belajar, harus diimbangi dengan doa, biar dapat taufik, begitu katanya. Realitanya tak jauh berbeda. Selalu saja ada kejutan ketika hasil ujian diumumkan. Si A yang belajar pas-pasan bisa naik. Padahal si B yang sudah ngos-ngosan malah gagal. Secara guyon aku bilang, bahwa di Al Azhar, bukan dosen yang mengoreksi, tapi malaikat. Meski banyak yang tertawa, sepertinya --kawan-kawan di sini-- banyak yang sepakat. Ada hal-hal tak terduga --untuk tidak mengatakan irasional-- terjadi.
Tahun lalu, ketika melihat fenomena peningkatan kuantitas ibadah menjelang ujian, aku yang masih biasa-biasa saja dalam beribadah bilang: "Tuhan bukan pedagang. Kalaupun menghendaki sesuatu, tanpa memintapun akan diberi. Memangnya manusia? Yang harus disogok dulu biar urusan lancar?"
Dan ketika hasil ujian diumumkan, batinku betul-betul remuk. Bayangkan saja, sembilan mata kuliah dinyatakan gagal. Unbelieveable. Untuk mata kuliah tertentu memang aku belum menguasai, tapi bilangan sembilan jelas sukar dipercaya. Seharusnya tak sebanyak itu. Dalam kasus semacam ini aku mencoba melakukan rasionalisasi; mungkin memang aku belum bisa mengerjakan soal dengan baik, barangkali tulisanku tak terbaca oleh dosen, barangkali ada kesalahan teknis, barangkali...
Ya. Banyak cara untuk merasionalkan sesuatu yang ganjil. Sebagaimana pula banyak cara untuk membuatnya irasional; toh jawabanku persis dengan buku, toh si A yang tak lebih menguasai materi ketimbang aku bisa lulus, toh tulisan tanganku lumayan bagus, toh...
Tahun ini, aku tak akan berani lagi mengulangi ucapan tentang Tuhan yang bukan pedagang.
(Tiba-tiba ada dialog di kepala)
"Lho Nang? Kok kamu jadi goyah begitu? Itu hal yang prinsipil, aku tahu kamu enggan berkompromi untuk hal-hal prinsip."
"Bukan goyah. Tapi siapa sih yang melarang kita untuk mengubah cara pandang akan sesuatu? Ga usah munafik, siapa sih yang ga pengen naik tingkat?"
"Dengan menggadaikan keimanan untuk hal-hal remeh seperti ujian?"
"Bullshit! Siapa bilang naik tingkat itu hal remeh? Siapa bilang memelas-melas kepada Tuhan untuk diluluskan adalah penggadaian iman?"
"Bukannya kamu?"
"Dulu. Sekarang engga."
"Ayolah Nang, aku tahu itu bukan kamu."
"Ssst! Sudah! Cukup!"
(Dialog selesai)
Dua hari lagi ujian mata kuliah Tarikh Sunnah. Ini termasuk mata kuliah bonus. Kebijakan Fakultas Ushuluddin tahun ini menyatakan bahwa mahasiswa yang tidak naik di tingkat I wajib mengikuti dua mata kuliah tambahan tahun ajaran 2006/2007. Total kopral, aku kena sembilan plus bonus dua: sebelas. Hmm, rasanya ingin misuh-misuh. Tapi nurani mengatakan itu tak baik. Permisi, hendak belajar lagi.
Oia, barang yang sudah tergadai bisa ditebus lagi bukan?
nb.
gadai (n) barang yang diserahkan sebagai tanggungan hutang.
menggadai (vt) menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.
tergadai (vi) sudah digadai.
Entah mengapa kecenderungan meningkatnya spirit religiusitas selalu tampak pada masa-masa seperti ini. Ketika ujian, mereka yang sebelumnya biasa-biasa saja dalam menjalankan ibadah formal, seketika berubah. Melakukan sholat sunnah, puasa Senin-Kamis, rutin bertahajud, tilawah Al Qur'an, bahkan ziarah makam, menjadi semacam kewajiban dalam hari-hari menjelang ujian.
Tentu fenomena ini layak diberi apresiasi. Dengan ukuran tertentu, peningkatan kuantitas ibadah bisa dijadikan indikator religiusitas seseorang. Yang dipertanyakan adalah niat: semata-mata untukNya atau sebatas untuk kelulusan saja? Silahkan menjawab, aku cuma ingin bertanya.
Kemarin ada kawan yang mengajakku untuk ziarah ke makam Imam Syafi'i di kawasan Sayyidah 'Aisyah. Karena aku masih harus menyelesaikan beberapa materi, kubilang saja aku enggan.
"Lha wong belajar aja juga belum. Kamu berangkat aja sendiri." ujarku.
"Lho? Justru karena belum belajar malah harus banyak-banyak berdoa. Selama ini aku belajarnya juga pas-pasan, tapi kok bisa najah terus? Kayaknya karena sering ziarah deh."
"Iya. Tapi kalo ntar malah dikartu kuning gara-gara cuma nengok pas butuh, gimana?"
Taufik. Istilah ini akrab sekali di telinga kawan-kawan Indonesia di Kairo. Ujian di Al Azhar tak cukup dengan belajar, harus diimbangi dengan doa, biar dapat taufik, begitu katanya. Realitanya tak jauh berbeda. Selalu saja ada kejutan ketika hasil ujian diumumkan. Si A yang belajar pas-pasan bisa naik. Padahal si B yang sudah ngos-ngosan malah gagal. Secara guyon aku bilang, bahwa di Al Azhar, bukan dosen yang mengoreksi, tapi malaikat. Meski banyak yang tertawa, sepertinya --kawan-kawan di sini-- banyak yang sepakat. Ada hal-hal tak terduga --untuk tidak mengatakan irasional-- terjadi.
Tahun lalu, ketika melihat fenomena peningkatan kuantitas ibadah menjelang ujian, aku yang masih biasa-biasa saja dalam beribadah bilang: "Tuhan bukan pedagang. Kalaupun menghendaki sesuatu, tanpa memintapun akan diberi. Memangnya manusia? Yang harus disogok dulu biar urusan lancar?"
Dan ketika hasil ujian diumumkan, batinku betul-betul remuk. Bayangkan saja, sembilan mata kuliah dinyatakan gagal. Unbelieveable. Untuk mata kuliah tertentu memang aku belum menguasai, tapi bilangan sembilan jelas sukar dipercaya. Seharusnya tak sebanyak itu. Dalam kasus semacam ini aku mencoba melakukan rasionalisasi; mungkin memang aku belum bisa mengerjakan soal dengan baik, barangkali tulisanku tak terbaca oleh dosen, barangkali ada kesalahan teknis, barangkali...
Ya. Banyak cara untuk merasionalkan sesuatu yang ganjil. Sebagaimana pula banyak cara untuk membuatnya irasional; toh jawabanku persis dengan buku, toh si A yang tak lebih menguasai materi ketimbang aku bisa lulus, toh tulisan tanganku lumayan bagus, toh...
Tahun ini, aku tak akan berani lagi mengulangi ucapan tentang Tuhan yang bukan pedagang.
(Tiba-tiba ada dialog di kepala)
"Lho Nang? Kok kamu jadi goyah begitu? Itu hal yang prinsipil, aku tahu kamu enggan berkompromi untuk hal-hal prinsip."
"Bukan goyah. Tapi siapa sih yang melarang kita untuk mengubah cara pandang akan sesuatu? Ga usah munafik, siapa sih yang ga pengen naik tingkat?"
"Dengan menggadaikan keimanan untuk hal-hal remeh seperti ujian?"
"Bullshit! Siapa bilang naik tingkat itu hal remeh? Siapa bilang memelas-melas kepada Tuhan untuk diluluskan adalah penggadaian iman?"
"Bukannya kamu?"
"Dulu. Sekarang engga."
"Ayolah Nang, aku tahu itu bukan kamu."
"Ssst! Sudah! Cukup!"
(Dialog selesai)
Dua hari lagi ujian mata kuliah Tarikh Sunnah. Ini termasuk mata kuliah bonus. Kebijakan Fakultas Ushuluddin tahun ini menyatakan bahwa mahasiswa yang tidak naik di tingkat I wajib mengikuti dua mata kuliah tambahan tahun ajaran 2006/2007. Total kopral, aku kena sembilan plus bonus dua: sebelas. Hmm, rasanya ingin misuh-misuh. Tapi nurani mengatakan itu tak baik. Permisi, hendak belajar lagi.
Oia, barang yang sudah tergadai bisa ditebus lagi bukan?
nb.
gadai (n) barang yang diserahkan sebagai tanggungan hutang.
menggadai (vt) menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.
tergadai (vi) sudah digadai.
Sunday, December 24, 2006
Rendezvous (1)
Lebih dari dua minggu aku tinggal di Qatamea. Selama itu pula aku tak menyempatkan diri untuk mampir ke Nasr City, kawasan di mana mahasiswa Indonesia terkonsentrasi. Sebenarnya sudah kuniatkan beberapa hari yang lalu, tapi selalu saja ada hal-hal kecil yang akhirnya membuat rencanaku tertunda. Berhubung cuaca lagi bersahabat dan kondisi fisikku sudah lumayan, maka segera kumulai jalan-jalan ke Nasr City.
Seperti biasanya, aku naik tramco dari mahattah terdekat dari flat yang kutempati. Dari sana turun di Malaf lantas jalan kaki beberapa ratus meter sampai Syabab. Dari Syabab aku langsung nyetop tramco jurusan H 10. Aku tadi berangkat selepas Maghrib. Meskipun udara terasa lebih dingin, tapi aku lebih senang melakukan perjalanan H 10-Qatamea pada sore atau malam hari. Untukku, melihat lampu-lampu jalan dan padang pasir tak berpenghuni pada malam hari jauh lebih menarik. Semacam eksotis.
Sampai di Zahra, tinggal tersisa lima orang dalam kendaraan termasuk sopir dan kumsari. Sebenarnya aku juga bisa turun di sini, tapi malam-malam begini terminal Zahra terlalu sepi. Males. Akhirnya turun di akhir mahattah H 10 dekat Madrasah yang lebih ramai. Oia, rencana aku hendak ketemu Nadhief di Wisma Nusantara. Ada bus 939 jurusan Rab'ah yang datang, tapi aku malah duduk-duduk dulu di bangku halte. Semacam hobi.
Ada alasan kenapa aku senang berlama-lama di halte. Di tempat seperti ini aku bisa melihat lalu-lalang orang-orang. Selalu saja ada kejadian yang menurutku menarik. Seandainya aku memegang kamera, halte adalah salah satu tempat di mana banyak momen human interest. Orang-orang yang berlari mengejar kendaraan, orang-orang yang bertengkar entah karena apa, polisi yang jengkel karena pak sopir nekat ngetem di tempat yang salah. Banyak sekali. Termasuk yang kulihat tadi: ekspresi terkejut gadis cantik berkerudung biru berwajah Melayu karena tramco yang disandarinya melaju. Apalagi melihat gadis itu malu-malu anjing saat tahu aku mengamati tingkahnya. Ha...ha...ha... *aku ga ketawa siy, cuman senyum simpul kok*
Lalu ada bus 65 datang. Yup, saatnya berangkat ke Rab'ah. Dan, puji Tuhan, gadis itu juga naik bus yang sama. Bus yang kami, eh, maksudku kutumpangi, masih kosong. Aku yang naik belakangan (lady's first selalu berlaku untukku) bisa melihat gadis itu duduk di tengah. Puji Tuhan, ia memilih bangku kosong, aku bisa duduk di sampingnya dong!
Tiba-tiba aku teringat screen saver di komputer Masari. Di sana terpampang wajah perempuan cantik berzodiak Gemini. Aku yang masang. Hu...hu... jadi ingat di seberang sana ada seseorang yang menungguku pulang.
Akhirnya aku duduk di bagian depan. Dekat pintu depan. Artinya jelas: aku urung melakukan hal-hal yang diinginkan. (Buat Nad; jangan munafik. Kamu pasti juga menginginkan hal yang sama jika berada dalam kondisi semacam itu)
Kira-kira seperempat jam kemudian kulihat gadis berkerudung biru turun. Lho? Kok bisa-bisanya dia melirikku dan melempar senyum? Itupun saat bus mulai melaju. Lalu aku berucap dalam hati, Memangnya senyumanmu cukup untuk membuatku meminta sopir menghentikan bus tiba-tiba hah? Dan kalaupun itu terjadi, kau pikir aku akan menyusulmu untuk bertanya apakah kamu punya obeng? Itukah yang terbersit dalam pikiranmu? Maaf nona manis, simpan senyummu untuk orang lain. Duh Gusti, selamatkanlah Nanang Musha dari godaan makhluk cute.
Di mahattah berikutnya aku turun. Bergegas ke Wisma. Begitu masuk gerbang segera mencari poster Arus Kampus edisi ujian. Sip. Sudah terpasang rupanya. Dari tanda kecil bertuliskan 'tdk distempel' aku yakin pasti dia pelakunya. (Buat rekan-rekan AK; kok kecil gitu siy? Kalo dibikin A3 kan lebih sip? Eh, engga jadi ding. Udah bagus kok segitu :P)
Habis itu ke warnet. Jemput Nadhief. Wow! Sungguh ajaib menemukan Nadhief Shidqi membaca diktat. Diktat lho! Kalau cuma membaca buku sih biasa. Tapi itu diktat, fotokopian pula. Ha...ha...
Kemudian aku dan Nadhief jalan kaki ke NSGB. Rupanya benar, Tuhan akan menguji hamba-hambaNya yang baik. Sebab itu Nadhief, seorang hamba Tuhan yang baik, hanya tersenyum penuh syukur meski mendapati rekeningnya masih kosong. Bagaimana denganku? Tebak saja deh, kira-kira apa yang terjadi dengan hambaNya yang kurang baik sepertiku.
Setelah itu kami menuju kedai tho'miyah. Dua burger dan dua tho'miyah untuk dua orang. Di sesela makan malam ngobrol tentang banyak hal. Banyak sih; proyek pribadi masing-masing, rencana untuk ambil kursus sebagai antisipasi jika studi tahun ajaran ini jeblok, biaya kuliah di Indonesia, persiapan menjelang ujian, strategi untuk bisa lolos (iya, lolos, bukan lulus) ujian, dsb.
-belumTAMAT-
Sekretariat PCI-NU, 3rd Gate, menjelang subuh.
nb. Tidur siang terlalu panjang dapat menyebabkan susah tidur. Efek samping: terjaga sendirian, feeling lonely, menghajar paru-paru dengan berbatang-batang rokok, menuliskan hal-hal remeh untuk diposting di blog.
Seperti biasanya, aku naik tramco dari mahattah terdekat dari flat yang kutempati. Dari sana turun di Malaf lantas jalan kaki beberapa ratus meter sampai Syabab. Dari Syabab aku langsung nyetop tramco jurusan H 10. Aku tadi berangkat selepas Maghrib. Meskipun udara terasa lebih dingin, tapi aku lebih senang melakukan perjalanan H 10-Qatamea pada sore atau malam hari. Untukku, melihat lampu-lampu jalan dan padang pasir tak berpenghuni pada malam hari jauh lebih menarik. Semacam eksotis.
Sampai di Zahra, tinggal tersisa lima orang dalam kendaraan termasuk sopir dan kumsari. Sebenarnya aku juga bisa turun di sini, tapi malam-malam begini terminal Zahra terlalu sepi. Males. Akhirnya turun di akhir mahattah H 10 dekat Madrasah yang lebih ramai. Oia, rencana aku hendak ketemu Nadhief di Wisma Nusantara. Ada bus 939 jurusan Rab'ah yang datang, tapi aku malah duduk-duduk dulu di bangku halte. Semacam hobi.
Ada alasan kenapa aku senang berlama-lama di halte. Di tempat seperti ini aku bisa melihat lalu-lalang orang-orang. Selalu saja ada kejadian yang menurutku menarik. Seandainya aku memegang kamera, halte adalah salah satu tempat di mana banyak momen human interest. Orang-orang yang berlari mengejar kendaraan, orang-orang yang bertengkar entah karena apa, polisi yang jengkel karena pak sopir nekat ngetem di tempat yang salah. Banyak sekali. Termasuk yang kulihat tadi: ekspresi terkejut gadis cantik berkerudung biru berwajah Melayu karena tramco yang disandarinya melaju. Apalagi melihat gadis itu malu-malu anjing saat tahu aku mengamati tingkahnya. Ha...ha...ha... *aku ga ketawa siy, cuman senyum simpul kok*
Lalu ada bus 65 datang. Yup, saatnya berangkat ke Rab'ah. Dan, puji Tuhan, gadis itu juga naik bus yang sama. Bus yang kami, eh, maksudku kutumpangi, masih kosong. Aku yang naik belakangan (lady's first selalu berlaku untukku) bisa melihat gadis itu duduk di tengah. Puji Tuhan, ia memilih bangku kosong, aku bisa duduk di sampingnya dong!
Tiba-tiba aku teringat screen saver di komputer Masari. Di sana terpampang wajah perempuan cantik berzodiak Gemini. Aku yang masang. Hu...hu... jadi ingat di seberang sana ada seseorang yang menungguku pulang.
Akhirnya aku duduk di bagian depan. Dekat pintu depan. Artinya jelas: aku urung melakukan hal-hal yang diinginkan. (Buat Nad; jangan munafik. Kamu pasti juga menginginkan hal yang sama jika berada dalam kondisi semacam itu)
Kira-kira seperempat jam kemudian kulihat gadis berkerudung biru turun. Lho? Kok bisa-bisanya dia melirikku dan melempar senyum? Itupun saat bus mulai melaju. Lalu aku berucap dalam hati, Memangnya senyumanmu cukup untuk membuatku meminta sopir menghentikan bus tiba-tiba hah? Dan kalaupun itu terjadi, kau pikir aku akan menyusulmu untuk bertanya apakah kamu punya obeng? Itukah yang terbersit dalam pikiranmu? Maaf nona manis, simpan senyummu untuk orang lain. Duh Gusti, selamatkanlah Nanang Musha dari godaan makhluk cute.
Di mahattah berikutnya aku turun. Bergegas ke Wisma. Begitu masuk gerbang segera mencari poster Arus Kampus edisi ujian. Sip. Sudah terpasang rupanya. Dari tanda kecil bertuliskan 'tdk distempel' aku yakin pasti dia pelakunya. (Buat rekan-rekan AK; kok kecil gitu siy? Kalo dibikin A3 kan lebih sip? Eh, engga jadi ding. Udah bagus kok segitu :P)
Habis itu ke warnet. Jemput Nadhief. Wow! Sungguh ajaib menemukan Nadhief Shidqi membaca diktat. Diktat lho! Kalau cuma membaca buku sih biasa. Tapi itu diktat, fotokopian pula. Ha...ha...
Kemudian aku dan Nadhief jalan kaki ke NSGB. Rupanya benar, Tuhan akan menguji hamba-hambaNya yang baik. Sebab itu Nadhief, seorang hamba Tuhan yang baik, hanya tersenyum penuh syukur meski mendapati rekeningnya masih kosong. Bagaimana denganku? Tebak saja deh, kira-kira apa yang terjadi dengan hambaNya yang kurang baik sepertiku.
Setelah itu kami menuju kedai tho'miyah. Dua burger dan dua tho'miyah untuk dua orang. Di sesela makan malam ngobrol tentang banyak hal. Banyak sih; proyek pribadi masing-masing, rencana untuk ambil kursus sebagai antisipasi jika studi tahun ajaran ini jeblok, biaya kuliah di Indonesia, persiapan menjelang ujian, strategi untuk bisa lolos (iya, lolos, bukan lulus) ujian, dsb.
-belumTAMAT-
Sekretariat PCI-NU, 3rd Gate, menjelang subuh.
nb. Tidur siang terlalu panjang dapat menyebabkan susah tidur. Efek samping: terjaga sendirian, feeling lonely, menghajar paru-paru dengan berbatang-batang rokok, menuliskan hal-hal remeh untuk diposting di blog.
Friday, December 22, 2006
Hari Ini *
Ada yang berbeda dalam musim dingin tahun ini. Tak sama dengan tahun sebelumnya. Suhu udaranya, aku rasakan, lebih dingin, dan, karenanya lebih menyiksa.
Ya, orang boleh menganggapku wagu. Tapi, memang begitu kenyataannya. Di Qatamea hampir tak pernah aku merasa nyaman menikmati cuaca.
Maka aku nikmati saja.
Ada satu pertanyaan yang membikinku tertegun: "Dalam semua buku yang memuat kritik Islam yang ditulis oleh seorang muslim sendiri, mereka setuju mengakui bahwa kebudayaan Islam hari ini amat terbelakang dalam segala bidang. Mengapa tak ada perubahan?"
Aku membayangkan jika pertanyaan ini dilontarkan di sebuah kamar di Kampung Sembilan, akan ada diskusi panjang.
(Kuberitahu, aku membayangkan dua sosok lelaki: seorang narsis arogan bertampang culun dan seorang pendengar setia yang hanya ngomong pada akhir kesempatan)
"Ukurannya begini; kita bandingkan apa yang telah dicapai oleh kita pada abad ini, dengan apa yang dicapai oleh yang lain. Jika tidak lebih baik, berarti asumsi adanya keterbelakangan memang benar." ucap pendengar setia yang hanya ngomong pada akhir kesempatan.
(Obrolan masih berlangsung. Lumayan seru)
"Kalau kita tak boleh melukai keyakinan orang lain, mengapa cara penyampaian orang yang mengatakan hal itu justru dengan melukai keyakinan orang Islam?" tanya lelaki narsis arogan bertampang culun.
"Nyatanya dengan kuantitas yang ada, toh juga ga ada perubahan apa-apa. Kalo udah ga punya daya kreasi berarti punah dong? Apa Inggris-e? Extinct?" balas pendengar setia.
"Soal penyampaian tadi lho maksudku. Piye sih?"
"Iya. Kalo disindir engga ngerasa ujung-ujungnya dikirimi offline kan? Langsung kartu merah. Gitu kok bingung lho."
(Dan mereka tertawa)
Kesimpulan sementara hari ini; masih tentang mind-set dan tolak ukur atas sesuatu. Sementara lho. Baru sementara.
Dan saat ketemu Nadhief, aku bercerita, bahwa akhir-akhir ini aku sering nongkrong di belakang kampus, nonton buku.
Namun hari ini aku terlelap, tak jadi ke kampus, bangun dan menemukan kawan lama menyapa. Tak jadi nonton buku (lagi).
Dan kalian tak perlu bertanya kenapa aku tak berangkat ke kampus. Sebab menemukan buku bagus sementara tak punya cukup uang untuk menebus sangatlah menyakitkan. Untukku lho. Untukku.
*) Judul singkat untuk Nonton Buku dan Pertanyaan Hari Ini edisi remix. Versi aslinya di sini
Ya, orang boleh menganggapku wagu. Tapi, memang begitu kenyataannya. Di Qatamea hampir tak pernah aku merasa nyaman menikmati cuaca.
Maka aku nikmati saja.
Ada satu pertanyaan yang membikinku tertegun: "Dalam semua buku yang memuat kritik Islam yang ditulis oleh seorang muslim sendiri, mereka setuju mengakui bahwa kebudayaan Islam hari ini amat terbelakang dalam segala bidang. Mengapa tak ada perubahan?"
Aku membayangkan jika pertanyaan ini dilontarkan di sebuah kamar di Kampung Sembilan, akan ada diskusi panjang.
(Kuberitahu, aku membayangkan dua sosok lelaki: seorang narsis arogan bertampang culun dan seorang pendengar setia yang hanya ngomong pada akhir kesempatan)
"Ukurannya begini; kita bandingkan apa yang telah dicapai oleh kita pada abad ini, dengan apa yang dicapai oleh yang lain. Jika tidak lebih baik, berarti asumsi adanya keterbelakangan memang benar." ucap pendengar setia yang hanya ngomong pada akhir kesempatan.
(Obrolan masih berlangsung. Lumayan seru)
"Kalau kita tak boleh melukai keyakinan orang lain, mengapa cara penyampaian orang yang mengatakan hal itu justru dengan melukai keyakinan orang Islam?" tanya lelaki narsis arogan bertampang culun.
"Nyatanya dengan kuantitas yang ada, toh juga ga ada perubahan apa-apa. Kalo udah ga punya daya kreasi berarti punah dong? Apa Inggris-e? Extinct?" balas pendengar setia.
"Soal penyampaian tadi lho maksudku. Piye sih?"
"Iya. Kalo disindir engga ngerasa ujung-ujungnya dikirimi offline kan? Langsung kartu merah. Gitu kok bingung lho."
(Dan mereka tertawa)
Kesimpulan sementara hari ini; masih tentang mind-set dan tolak ukur atas sesuatu. Sementara lho. Baru sementara.
Dan saat ketemu Nadhief, aku bercerita, bahwa akhir-akhir ini aku sering nongkrong di belakang kampus, nonton buku.
Namun hari ini aku terlelap, tak jadi ke kampus, bangun dan menemukan kawan lama menyapa. Tak jadi nonton buku (lagi).
Dan kalian tak perlu bertanya kenapa aku tak berangkat ke kampus. Sebab menemukan buku bagus sementara tak punya cukup uang untuk menebus sangatlah menyakitkan. Untukku lho. Untukku.
*) Judul singkat untuk Nonton Buku dan Pertanyaan Hari Ini edisi remix. Versi aslinya di sini
Tuesday, December 19, 2006
Doa
Gusti, jika nanti saya pulang, jangan bikin dia ga mau ketemu saya ya?
p.s: Saat ini banyak mahasiswa Kairo yang berdoa buat dilulusin ujian. Bukannya saya ga pengen. Tapi saya nyadar 'pulsa' saya tinggal dikit. Jadi kalo masih ada sisa, tolong buat nebus yang di atas saja.
p.s: Saat ini banyak mahasiswa Kairo yang berdoa buat dilulusin ujian. Bukannya saya ga pengen. Tapi saya nyadar 'pulsa' saya tinggal dikit. Jadi kalo masih ada sisa, tolong buat nebus yang di atas saja.
Monday, December 18, 2006
Tentang Baygon Cair
Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak akan pernah
Selesai mendoakan keselamatanmu.
(Dalam Doaku, Sapardi Djoko Damono)
Salam,
Itu sajak Sapardi punya. Aku meminjamnya untuk kalian baca. Sebentar, jangan potong dulu. Kita tidak sedang berdebat tentang doa siapa yang paling manjur di antara kita bertiga. Sebentar, tunggu aku selesai bercerita.
Begini, kalian perlu tahu bahwa sejak aku mengikrarkan diri untuk sebuah proyek 'kecil' bernama Baygon Cair, aku benar-benar gelisah. Olla tak salah, untungnya aku mengucapkannya diam-diam. Tapi bahkan denting paling sunyi sekalipun akan terdengar oleh mereka yang peka.
Aku akan mulai dari kamu; Nad.
Barangkali sore itu jadi hari paling indah buat kita ya? Untung saja aku bukan gay, sehingga ucapanku selepas kita keluar dari taman kota tak perlu kau rekam dalam-dalam. Iya, aku tahu senja itu tersenyum untuk kita. Tapi kita tak boleh tertawa lama-lama. Bukan. Bukan karena aku 'sibuk sekarang, mencoba sebisa mungkin memahami teks-teks dengan huruf tak jelas' seperti yang engkau duga. Saat ini aku sedang sibuk mengumpulkan bahan agar tahun depan aku tak harus menelan Baygon cair. Ketakutan bahwa engkau tak menulis jika tak ada yang ngoyak-ngoyak jelas tak terbukti. Setidaknya kamu selalu berkabar tentang apa yang kamu kerjakan sekarang. Anggaplah itu pemanasan untuk tahun depan.
Kuberi bocoran ya Nad, sejak kita berpisah kemarin, aku sudah menemukan jurus-jurus milik Hemingway dalam In Our Time juga punya Orwell dalam Animal Farm. Mungkin memang daya serapku pas-pasan. Aku tak bisa menemukan apa yang Olla bilang tentang jarak-ruang dalam cerita. Yang kudapat dari Hemingway hanyalah cara menulis dialog. Untuk orang yang 'belum siap menulis novel' -seperti kata mas Allen- sepertiku, itu akan membantu.
Dari Animal Farm, yang menarik adalah bagaimana seorang penulis menyerap pelajaran dari alam sekitar. Kamu sudah pernah membacanya bukan? Nah, betapa cerdasnya Orwell membagi peran. Coba bayangkan kalau Napoleon itu kucing? Atau mengapa pula Boxer seekor kuda dan bukan yang lain? Cermati itu Nad.
Pertanyaanmu sore itu terjawab; aku mungkin sedang sibuk, tapi sibuk untuk sebisa mungkin memahami teks-teks di layar monitor sebagai pemanasan untuk bekerja tahun depan.
Oia, jangan main NFS terus. Setelah monumenmu jadi baru boleh berbuat apa saja.
Untuk Olla,
Bung, saya minta maaf untuk inkonsistensi selama ini. Setelah rencana enam bulan kemarin gagal, terbukti bahwa saya yang paling tidak melakukan apa-apa. Dan saya ingin menebus kesalahan itu. Sudah terlalu lama kita berbual tentang idealisme dan segala hal yang hanya semakin membuat kita kesakitan. Persoalannya jelas, bahwa saya belum memulai. Karenanya saya berharap tiga bulan ke depan cukup untuk menebus hutang-hutang sosial, agar nanti bisa berkonsentrasi menggarap proyek pribadi.
Sungguh, saya berterimakasih telah diberikan rumah untuk belajar. Dari sana kita bisa memompa semangat untuk tetap bergerak dan bergerak. Oia, saya belum sempat ngomong tempo hari; jika nanti anda menemukan 'anak' saya jauh dari apa yang pernah kita diskusikan, semoga anda memaafkan. Entah kenapa saya memilih untuk membuang standar kelayakan yang sudah terpatri selama ini. Maka maaf, jika pengkhianatan kreatif yang saya lakukan nanti membuat anda kehilangan jejak. Barangkali, hanya dengan dekonstruksi paling ekstrim saya bisa terlahir kembali.
Oh, salam hangat saya untuk Budi. Bilang untuk jangan terlalu sering 'menangis' di depan umum.
Demikian kawan. Semoga yang kutulis cukup pantas untuk memberi alasan mengapa aku harus mengutip sajak Sapardi di awal tulisan ini. Tentu, selain sama-sama dikutuk untuk mencintai kata-kata, kita sama-sama dibayang-bayangi oleh dua kata; mati muda. Sebelum itu terjadi kawan, segera bekerja sebelum kamu merasa lelah dan menyerah.
Salam,
Nanang Musha
Selesai mendoakan keselamatanmu.
(Dalam Doaku, Sapardi Djoko Damono)
Salam,
Itu sajak Sapardi punya. Aku meminjamnya untuk kalian baca. Sebentar, jangan potong dulu. Kita tidak sedang berdebat tentang doa siapa yang paling manjur di antara kita bertiga. Sebentar, tunggu aku selesai bercerita.
Begini, kalian perlu tahu bahwa sejak aku mengikrarkan diri untuk sebuah proyek 'kecil' bernama Baygon Cair, aku benar-benar gelisah. Olla tak salah, untungnya aku mengucapkannya diam-diam. Tapi bahkan denting paling sunyi sekalipun akan terdengar oleh mereka yang peka.
Aku akan mulai dari kamu; Nad.
Barangkali sore itu jadi hari paling indah buat kita ya? Untung saja aku bukan gay, sehingga ucapanku selepas kita keluar dari taman kota tak perlu kau rekam dalam-dalam. Iya, aku tahu senja itu tersenyum untuk kita. Tapi kita tak boleh tertawa lama-lama. Bukan. Bukan karena aku 'sibuk sekarang, mencoba sebisa mungkin memahami teks-teks dengan huruf tak jelas' seperti yang engkau duga. Saat ini aku sedang sibuk mengumpulkan bahan agar tahun depan aku tak harus menelan Baygon cair. Ketakutan bahwa engkau tak menulis jika tak ada yang ngoyak-ngoyak jelas tak terbukti. Setidaknya kamu selalu berkabar tentang apa yang kamu kerjakan sekarang. Anggaplah itu pemanasan untuk tahun depan.
Kuberi bocoran ya Nad, sejak kita berpisah kemarin, aku sudah menemukan jurus-jurus milik Hemingway dalam In Our Time juga punya Orwell dalam Animal Farm. Mungkin memang daya serapku pas-pasan. Aku tak bisa menemukan apa yang Olla bilang tentang jarak-ruang dalam cerita. Yang kudapat dari Hemingway hanyalah cara menulis dialog. Untuk orang yang 'belum siap menulis novel' -seperti kata mas Allen- sepertiku, itu akan membantu.
Dari Animal Farm, yang menarik adalah bagaimana seorang penulis menyerap pelajaran dari alam sekitar. Kamu sudah pernah membacanya bukan? Nah, betapa cerdasnya Orwell membagi peran. Coba bayangkan kalau Napoleon itu kucing? Atau mengapa pula Boxer seekor kuda dan bukan yang lain? Cermati itu Nad.
Pertanyaanmu sore itu terjawab; aku mungkin sedang sibuk, tapi sibuk untuk sebisa mungkin memahami teks-teks di layar monitor sebagai pemanasan untuk bekerja tahun depan.
Oia, jangan main NFS terus. Setelah monumenmu jadi baru boleh berbuat apa saja.
Untuk Olla,
Bung, saya minta maaf untuk inkonsistensi selama ini. Setelah rencana enam bulan kemarin gagal, terbukti bahwa saya yang paling tidak melakukan apa-apa. Dan saya ingin menebus kesalahan itu. Sudah terlalu lama kita berbual tentang idealisme dan segala hal yang hanya semakin membuat kita kesakitan. Persoalannya jelas, bahwa saya belum memulai. Karenanya saya berharap tiga bulan ke depan cukup untuk menebus hutang-hutang sosial, agar nanti bisa berkonsentrasi menggarap proyek pribadi.
Sungguh, saya berterimakasih telah diberikan rumah untuk belajar. Dari sana kita bisa memompa semangat untuk tetap bergerak dan bergerak. Oia, saya belum sempat ngomong tempo hari; jika nanti anda menemukan 'anak' saya jauh dari apa yang pernah kita diskusikan, semoga anda memaafkan. Entah kenapa saya memilih untuk membuang standar kelayakan yang sudah terpatri selama ini. Maka maaf, jika pengkhianatan kreatif yang saya lakukan nanti membuat anda kehilangan jejak. Barangkali, hanya dengan dekonstruksi paling ekstrim saya bisa terlahir kembali.
Oh, salam hangat saya untuk Budi. Bilang untuk jangan terlalu sering 'menangis' di depan umum.
Demikian kawan. Semoga yang kutulis cukup pantas untuk memberi alasan mengapa aku harus mengutip sajak Sapardi di awal tulisan ini. Tentu, selain sama-sama dikutuk untuk mencintai kata-kata, kita sama-sama dibayang-bayangi oleh dua kata; mati muda. Sebelum itu terjadi kawan, segera bekerja sebelum kamu merasa lelah dan menyerah.
Salam,
Nanang Musha
Saturday, December 16, 2006
Kancilen (1)
Betapa menjengkelkannya terbangun pada dini hari karena suara pintu diketuk keras. Aku beranjak dari kamar menuju pintu depan. Sial! Ternyata apartemen depan. Seharusnya aku mengingat dengan baik bahwa mengetuk pintu keras-keras pada dini hari hanya lazim dilakukan oleh orang Mesir. Dengan cara inilah kami bisa membedakan siapa yang berada di muka rumah kita; orang Mesirkah atau sesama Indonesia?
Baiklah. Aku tidak sedang ingin bercerita tentang cara mengetuk pintu yang baik dan benar. Yang jelas aku terbangun pada jam dua dini hari dan harus melakukan sesuatu untuk dikerjakan. Oh, kenapa tak tidur lagi katamu? Aku nokturnal pengidap insomnia dosis rendah. Merebahkan diri hanya akan membuatku setengah tidur dan gelisah.
Aku belum makan. Segera ke dapur dan menemukan masih ada sayur untuk disantap. Aku tahu Husnul yang masak. Karena tadi lagi nonton Alexander karya Oliver Stone di Star Movie, aku enggan mengambil jatah. Iya, sebab di Star Movie tak ada iklan di sela-sela film diputar. Rasanya malas melewatkan beberapa menit meski film itu tak terlalu menarik.
Lalu aku makan. Sayur dan telor goreng menemani semangkuk nasi porsi besar. Sembari makan menyalakan komputer di kamar Masari. Ugh! Seandainya ini bukan hari Sabtu, besar kemungkinan aku bisa menyapa dia sekarang. Makan selesai. Apalagi yang bisa dikerjakan? Oia, aku tadi mulai membuka The Sufi Path of Knowledge-nya William C. Chittick. Versi Indonesia sih, tapi rasanya lumayan enak dibaca. Buku itu membahas tentang hermenuetika Al-Quran menurut Ibn Al-'Araby. Yang bikin buku ini asyik karena Chittick banyak mengulas ajaran Ibn Al-'Araby yang termaktub dalam Futuhat Al-Makkiyah. Bagi mereka yang memiliki kemampuan bahasa Arab pas-pasan [kayak saya :D] karya Chittick lumayan membantu sebagai 'pengantar' sebelum menikmati teks aslinya. Dulu aku langsung klenger ketika melihat dengan mata kepala sendiri (sebelumnya cuma nguping) edisi cetak Futuhat yang puluhan jilid. Isinya sekitar 560 bab dengan pembahasan yang pelik dan bahasa yang njlimet. Wah, bisa-bisa sampai habis usia cuma habis untuk mengkhatamkan Futuhat dong? :P
(Di luar suara anjing-anjing menggonggong. Di sini aku masih belum ngantuk. Dia belum nongol juga. Apa langsung berangkat ke kampus ya?)
Catatan:
1. Kancilen (Jawa) berasal dari kata kancil. Istilah kancilen digunakan untuk menunjukkan sebuah kondisi di mana seseorang terbangun dan susah untuk tidur lagi. Istilah ini saya dapatkan dari seorang kawan sangat baik (jadi maksudmu ada kawan yang sangat tidak baik gitu??)
2. Jo, aku kangen.
Baiklah. Aku tidak sedang ingin bercerita tentang cara mengetuk pintu yang baik dan benar. Yang jelas aku terbangun pada jam dua dini hari dan harus melakukan sesuatu untuk dikerjakan. Oh, kenapa tak tidur lagi katamu? Aku nokturnal pengidap insomnia dosis rendah. Merebahkan diri hanya akan membuatku setengah tidur dan gelisah.
Aku belum makan. Segera ke dapur dan menemukan masih ada sayur untuk disantap. Aku tahu Husnul yang masak. Karena tadi lagi nonton Alexander karya Oliver Stone di Star Movie, aku enggan mengambil jatah. Iya, sebab di Star Movie tak ada iklan di sela-sela film diputar. Rasanya malas melewatkan beberapa menit meski film itu tak terlalu menarik.
Lalu aku makan. Sayur dan telor goreng menemani semangkuk nasi porsi besar. Sembari makan menyalakan komputer di kamar Masari. Ugh! Seandainya ini bukan hari Sabtu, besar kemungkinan aku bisa menyapa dia sekarang. Makan selesai. Apalagi yang bisa dikerjakan? Oia, aku tadi mulai membuka The Sufi Path of Knowledge-nya William C. Chittick. Versi Indonesia sih, tapi rasanya lumayan enak dibaca. Buku itu membahas tentang hermenuetika Al-Quran menurut Ibn Al-'Araby. Yang bikin buku ini asyik karena Chittick banyak mengulas ajaran Ibn Al-'Araby yang termaktub dalam Futuhat Al-Makkiyah. Bagi mereka yang memiliki kemampuan bahasa Arab pas-pasan [kayak saya :D] karya Chittick lumayan membantu sebagai 'pengantar' sebelum menikmati teks aslinya. Dulu aku langsung klenger ketika melihat dengan mata kepala sendiri (sebelumnya cuma nguping) edisi cetak Futuhat yang puluhan jilid. Isinya sekitar 560 bab dengan pembahasan yang pelik dan bahasa yang njlimet. Wah, bisa-bisa sampai habis usia cuma habis untuk mengkhatamkan Futuhat dong? :P
(Di luar suara anjing-anjing menggonggong. Di sini aku masih belum ngantuk. Dia belum nongol juga. Apa langsung berangkat ke kampus ya?)
Catatan:
1. Kancilen (Jawa) berasal dari kata kancil. Istilah kancilen digunakan untuk menunjukkan sebuah kondisi di mana seseorang terbangun dan susah untuk tidur lagi. Istilah ini saya dapatkan dari seorang kawan sangat baik (jadi maksudmu ada kawan yang sangat tidak baik gitu??)
2. Jo, aku kangen.
Thursday, December 14, 2006
Lelah
When you try your best but you don't succeed
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can't sleep
Stuck in reverse
Fix You (Coldplay)
Sudah lama tak menyimak musik. Tahu kan beda antara mendengar dan menyimak? Ok. Tak perlu didiskusikan lebih lanjut.
Sudah lama tahu kalau Coldplay meliris album X&Y. Baru beberapa hari terakhir berhasil mengumpulkan seluruh lagu di album itu dalam satu folder. Oia, lagu Fix You tadi belum selesai.
And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?
Lalu aku benar-benar merasa lelah sekarang. Sakauta menyebut kondisiku dengan akumulasi jengah. Well, seseorang bisa cukup kuat untuk menghadapi satu dua masalah. Tapi bagaimana jika sesuatu yang tak nyaman menyerbumu berbarengan. He..he.. aku jadi ingat kawan baik yang aku berkunjung ke rumahnya tempo hari. Dalam perjalanan pulang -aku hendak pulang dan ia menjemput seseorang- dia bilang bahwa perempuan tak pernah percaya bahwa lelaki punya air mata. Menurutnya, itu karena mata perempuan telah lamur oleh air mata mereka sendiri. Aku tak berkomentar. Tak membantah dan tak juga sepakat.
Hmm, jadi teringat seorang kawan (oh, semoga ia sudi menggunakan kata sakral itu untuk aku) yang lain. Ia kirim offline untuk berkabar bahwa ia sedang 'sakit' sekarang. Duh Gusti, andai ia tahu bahwa aku juga sedang sakit. Aku sadar fakta itu tak terlalu penting untuknya. Biar. Toh aku cenderung untuk merumuskan diri sendiri ketimbang membiarkan variabel di luar aku untuk mengambil keputusan. Aku memang sedang lelah. Sebab itu aku enggan untuk turut mencicipi lukamu saat ini. Maaf.
Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you
High up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you'll never try, you'll never know
Just what you're worth
Seharusnya aku merasa lebih baik. Ada beberapa kemajuan setelah lama bersembunyi. Ya ya, langit masih biru seperti kemarin. Aku ingin menikmatinya. Bersamanya atau sendirian saja? Itu soal lain. Pertanyaannya jelas sekali; mengapa Tuan Jones yang pemabuk itu enggan melepaskan Manor Farm? Rasanya aku tak salah; sebab petani (atau tuan tanah?) tak seperti lazimnya pekerja bisnis sekarang. Tanah bukan koper yang bisa diajak berpindah-pindah. Itu saja.
Ah, sepertinya aku akan merampungkan Animal Farm-nya Orwell malam ini.
Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can't sleep
Stuck in reverse
Fix You (Coldplay)
Sudah lama tak menyimak musik. Tahu kan beda antara mendengar dan menyimak? Ok. Tak perlu didiskusikan lebih lanjut.
Sudah lama tahu kalau Coldplay meliris album X&Y. Baru beberapa hari terakhir berhasil mengumpulkan seluruh lagu di album itu dalam satu folder. Oia, lagu Fix You tadi belum selesai.
And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?
Lalu aku benar-benar merasa lelah sekarang. Sakauta menyebut kondisiku dengan akumulasi jengah. Well, seseorang bisa cukup kuat untuk menghadapi satu dua masalah. Tapi bagaimana jika sesuatu yang tak nyaman menyerbumu berbarengan. He..he.. aku jadi ingat kawan baik yang aku berkunjung ke rumahnya tempo hari. Dalam perjalanan pulang -aku hendak pulang dan ia menjemput seseorang- dia bilang bahwa perempuan tak pernah percaya bahwa lelaki punya air mata. Menurutnya, itu karena mata perempuan telah lamur oleh air mata mereka sendiri. Aku tak berkomentar. Tak membantah dan tak juga sepakat.
Hmm, jadi teringat seorang kawan (oh, semoga ia sudi menggunakan kata sakral itu untuk aku) yang lain. Ia kirim offline untuk berkabar bahwa ia sedang 'sakit' sekarang. Duh Gusti, andai ia tahu bahwa aku juga sedang sakit. Aku sadar fakta itu tak terlalu penting untuknya. Biar. Toh aku cenderung untuk merumuskan diri sendiri ketimbang membiarkan variabel di luar aku untuk mengambil keputusan. Aku memang sedang lelah. Sebab itu aku enggan untuk turut mencicipi lukamu saat ini. Maaf.
Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you
High up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you'll never try, you'll never know
Just what you're worth
Seharusnya aku merasa lebih baik. Ada beberapa kemajuan setelah lama bersembunyi. Ya ya, langit masih biru seperti kemarin. Aku ingin menikmatinya. Bersamanya atau sendirian saja? Itu soal lain. Pertanyaannya jelas sekali; mengapa Tuan Jones yang pemabuk itu enggan melepaskan Manor Farm? Rasanya aku tak salah; sebab petani (atau tuan tanah?) tak seperti lazimnya pekerja bisnis sekarang. Tanah bukan koper yang bisa diajak berpindah-pindah. Itu saja.
Ah, sepertinya aku akan merampungkan Animal Farm-nya Orwell malam ini.
Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you
Wednesday, November 8, 2006
Sebab Aku Manusia, Bukan Pabrik Kata-Kata
"The writer is not like a phonograph even they themselves were born with ponographic ideas" Kahlil Gibran
Adalah sebuah kelaziman ketika seseorang datang untuk meminta sesuatu kepada kita. Bukankah itu secuil bukti mengenai fitrah manusia sebagai makhluk sosial? Maka akan sangat wajar ketika terjadi interaksi antara satu dengan yang lain. Namun dalam titik tertentu muncul juga kejengkelanku terhadap sikap a-humanis kawan-kawan lain. Kejengkelan itu lebih sebagai akumulasi atas ketidakpedulian mereka akan kenyataan bahwa setiap orang berhak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan, bukan sekedar menjadi pembebek atas apa yang diinginkan orang lain. Sebagai seorang yang dikenal sebagai penulis, atau lebih tepatnya a-wanna-be-writer, banyak sekali permintaan untuk menyumbangkan tulisan. Tentu saja aku menghargai permintaan semacam itu sebagai bentuk apresiasi timbal-balik. Sayang beberapa kali terjadi permintaan itu berubah nada menjadi paksaan halus. Maka aku hanya bisa memaki-maki --meski hanya dalam hati-- saat itu terjadi.
Ada alasan mengapa aku tak terlalu suka bergabung dalam media yang menganut asas kerja berdasar deadline. Sebab aku hanya ingin menulis apa yang ingin aku tulis dan hanya pada saat aku memang ingin menulis. Tentu saja engkau bisa menemukan banyak tulisan dalam folder komputer kawan-kawanku (note: Nanang Musha belum punya perangkat komputer sendiri). Tapi sebagian besar berisi catatan-catatan yang tidak ingin aku publikasikan, setidaknya untuk saat ini.
Bagiku menulis adalah aktifitas yang cenderung menyenangkan. Dalam banyak hal menulis membantuku untuk menjaga kesehatan pikiran. Terlepas tulisan itu akan aku publikasikan atau tidak, setidaknya aku berusaha untuk membebaskan diri dari lupa yang melumpuhkan. Tapi seperti halnya pohon, ada saat dimana ia tak berbuah. Begitu pula aku, kadang-kadang memang benar-benar tak mau menulis. Jangankan untuk menulis makalah, esai lepas, atau cerita pendek, untuk memperbaharui isi blog atau menulis catatan harian saja enggan.
Ya, tentu saja aku tak mengelak jika engkau menuduhku sebagai pengikut Gibran dalam kasus ini. Aku termasuk satu yang sepakat dengan apa yang ia katakan kepada para redaktur yang "sewenang-wenang". Gibran bilang, "Kami seniman bukan pabrik literari. Kami bukan mesin yang diberi tinta dan kertas lalu bisa menghasilkan artikel dan puisi di waktu yang lain. Kami menulis saat kami ingin menulis, tidak saat kamu menginginkan itu. Maka beri kami kesempatan dan tinggalkan kami sendirian, sebab kita tidak hidup dalam dunia yang sama. Engkau bukan bagian dari kami dan kami bukan golonganmu."
Oia, dulu aku pernah bilang selalu menulis 2000 kata perhari. Aku tak berbohong saat itu. Tapi aku tak mau menjadi pembohong karena mengingkari ucapan sendiri. Jadi perlu engkau tahu, sekarang aku hanya menulis saat aku memang benar-benar ingin menulis.
Adalah sebuah kelaziman ketika seseorang datang untuk meminta sesuatu kepada kita. Bukankah itu secuil bukti mengenai fitrah manusia sebagai makhluk sosial? Maka akan sangat wajar ketika terjadi interaksi antara satu dengan yang lain. Namun dalam titik tertentu muncul juga kejengkelanku terhadap sikap a-humanis kawan-kawan lain. Kejengkelan itu lebih sebagai akumulasi atas ketidakpedulian mereka akan kenyataan bahwa setiap orang berhak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan, bukan sekedar menjadi pembebek atas apa yang diinginkan orang lain. Sebagai seorang yang dikenal sebagai penulis, atau lebih tepatnya a-wanna-be-writer, banyak sekali permintaan untuk menyumbangkan tulisan. Tentu saja aku menghargai permintaan semacam itu sebagai bentuk apresiasi timbal-balik. Sayang beberapa kali terjadi permintaan itu berubah nada menjadi paksaan halus. Maka aku hanya bisa memaki-maki --meski hanya dalam hati-- saat itu terjadi.
Ada alasan mengapa aku tak terlalu suka bergabung dalam media yang menganut asas kerja berdasar deadline. Sebab aku hanya ingin menulis apa yang ingin aku tulis dan hanya pada saat aku memang ingin menulis. Tentu saja engkau bisa menemukan banyak tulisan dalam folder komputer kawan-kawanku (note: Nanang Musha belum punya perangkat komputer sendiri). Tapi sebagian besar berisi catatan-catatan yang tidak ingin aku publikasikan, setidaknya untuk saat ini.
Bagiku menulis adalah aktifitas yang cenderung menyenangkan. Dalam banyak hal menulis membantuku untuk menjaga kesehatan pikiran. Terlepas tulisan itu akan aku publikasikan atau tidak, setidaknya aku berusaha untuk membebaskan diri dari lupa yang melumpuhkan. Tapi seperti halnya pohon, ada saat dimana ia tak berbuah. Begitu pula aku, kadang-kadang memang benar-benar tak mau menulis. Jangankan untuk menulis makalah, esai lepas, atau cerita pendek, untuk memperbaharui isi blog atau menulis catatan harian saja enggan.
Ya, tentu saja aku tak mengelak jika engkau menuduhku sebagai pengikut Gibran dalam kasus ini. Aku termasuk satu yang sepakat dengan apa yang ia katakan kepada para redaktur yang "sewenang-wenang". Gibran bilang, "Kami seniman bukan pabrik literari. Kami bukan mesin yang diberi tinta dan kertas lalu bisa menghasilkan artikel dan puisi di waktu yang lain. Kami menulis saat kami ingin menulis, tidak saat kamu menginginkan itu. Maka beri kami kesempatan dan tinggalkan kami sendirian, sebab kita tidak hidup dalam dunia yang sama. Engkau bukan bagian dari kami dan kami bukan golonganmu."
Oia, dulu aku pernah bilang selalu menulis 2000 kata perhari. Aku tak berbohong saat itu. Tapi aku tak mau menjadi pembohong karena mengingkari ucapan sendiri. Jadi perlu engkau tahu, sekarang aku hanya menulis saat aku memang benar-benar ingin menulis.
Tuesday, October 31, 2006
Lebaran, Kumpulan Cerpen, dan Pistol Tanpa Peluru
1
Iya. Seminggu lalu lebaran. Tapi aku merasa biasa-biasa saja. Datar. Tanpa greget. Biasanya orang-orang gembira ketika lebaran tiba. Entah karena apa. Mungkin karena hari itu mereka bertemu dengan banyak orang. Mungkin karena hari itu mereka memakai baju baru. Mungkin.
Ada pula yang merasa sedih ketika lebaran tiba. Sebagian karena tak bisa merasakan suasana Idul Fitri yang gemerlap. Sebagian karena merasa kehilangan setelah berpisah dengan Ramadlan. Dengan kelompok yang terakhir ini, aku merasa hormat. Rasanya konyol saja, bulan puasa lewat kok malah senang. Seharusnya sedih. Seharusnya.
Ok, siapa pula yang mengharuskan kita untuk sedih? Sepertinya tidak ada. Sepertinya. Tapi ada kawan yang bilang bahwa malam lebaran adalah lailatul jaizah. Semacam pembagian rapor atau pengumuman hasil ujian. Makanya wajar dong jika ada yang merasa sedih. Boleh jadi mereka merasa gagal memanfaatkan bulan puasa sebagai lumbung amal. Nah, makanya wajar juga dong, jika saya merasa ganjil? Ramadlan lewat kok malah ceria. Seharusnya mereka merasa kehilangan. Seharusnya.
Tiba-tiba ada kawan yang membaca tulisan ini. Dia bilang, emang kamu yakin rapor kamu bagus di bulan puasa ini?
"Kamu ga baca paragraf pertama ya?" jawabku.
Aku merasa biasa-biasa saja. Datar. Tanpa greget.
2
Iya. Sudah hampir tiga minggu aku menggarap kumpulan cerpen. Terus terang, kerja semacam ini selalu membuat aku kelimpungan. Menghubungi penulis, meminta naskah, menyortir mana yang sesuai dan mana yang tidak, menyunting sekaligus mengedit. Belum termasuk disain sampul, ilustrasi, dan menyiapkan pengantar. Sungguh, meski aku tak benar-benar mengerjakan semuanya sendirian, kerja semacam ini sungguh melelahkan. Sungguh melelahkan.
Baiklah. Secara teknis memang tak sulit. Meski begitu, dalam hidup selalu saja ada hal-hal kecil yang membuat laju sesuatu jadi tak linier. Pernahkah kamu berjalan di luar rumah dengan suasana hati yang cerah, ketika kamu merasa seakan-akan seluruh dunia sedang berlagu untukmu, namun tiba-tiba saja kakimu menginjak tahi? Nah, kira-kira semacam itu yang aku rasakan sekarang. Tentu aku merasa gemes, geregetan, sekaligus jengkel. Tapi siapa yang rela dimaki-maki? Rasanya tak ada. Bahkan mereka yang --entah sengaja atau tidak-- buang kotoran di jalan. Pasti mereka --yang buang kotoran sembarangan tadi-- akan bilang begini, "Salah sendiri. Jalan ga pasang mata. Toh yang lain juga ga nginjek tahi kan?"
Lalu aku tersenyum. Rasanya benar. Memang aku yang salah. Rasanya.
Oh, terima kasih untuk Adon dan Muhib yang tidak banyak protes karena komputer di sekretariat sering aku serobot untuk merampungkan tugas. Juga untuk kawan-kawan serumah; Nadhief, Anung, dan Amin untuk pengertian karena aku harus sering keluar rumah, pulang menjelang pagi bahkan tak kembali dua-tiga hari. Terima kasih pula untuk semua orang yang terlibat dalam pengerjaan kumcer, baik yang kooperatif atau tidak, baik yang ikhlas atau terpaksa.
Eh, aku tidak sedang mengeluh lho! Sungguh. Aku tidak sedang mengeluh. Rasanya memang aku sendiri yang salah. Rasanya.
3
Mana yang kamu pilih; sepucuk pistol kosong atau beberapa butir peluru? Apa katamu? Kamu pilih pistol berpeluru penuh? O, itu tidak masuk dalam alternatif pilihan.
Begitulah. Nadhief bilang dia ingin mengisi peluru. Aku tahu, dia belum punya pistol. Tapi aku sependapat dengannya. Beberapa butir peluru lebih berbahaya ketimbang pistol kosong. Maka jika hanya ada dua pilihan, jangan salahkan kami yang memilih untuk mengumpulkan peluru terlebih dahulu. Kamu akan bilang bahwa kami terlalu naif. Silahkan saja. Setiap orang bebas menentukan pilihan bukan?
Kami sangat sadar, di dunia ini banyak orang punya pistol. Tapi kami bukan tak tahu, banyak dari mereka lupa bahwa pistol di genggaman mereka sudah kosong. Bagi yang tak tahu, orang-orang semacam itu akan tampak gagah. Betapa tidak? Lha wong mereka bisa petentang-petenteng bawa senjata kok. Iya. Mereka akan tampak gagah. Bisa menakut-nakuti orang seperti di film-film koboi. Tapi aku tidak takut, pistol kosong tak akan membuatku mati. Paling-paling bikin pingsan jika dihantamkan ke tengkuk, seperti di film-film mafia.
"Emang kamu yakin pistol mereka kosong?" tanya kawan yang menemaniku menulis catatan ini.
"Yakin. Yakin sekali."
"Kok bisa?" tanya dia lagi.
"Ini." jawabku sembari merogoh kantong jaket yang penuh dengan peluru.
Ok. Aku ulangi lagi. Mana yang kamu pilih: sepucuk pistol kosong atau beberapa butir peluru?
Kampung Sembilan, 30 Agustus 2006.
Iya. Seminggu lalu lebaran. Tapi aku merasa biasa-biasa saja. Datar. Tanpa greget. Biasanya orang-orang gembira ketika lebaran tiba. Entah karena apa. Mungkin karena hari itu mereka bertemu dengan banyak orang. Mungkin karena hari itu mereka memakai baju baru. Mungkin.
Ada pula yang merasa sedih ketika lebaran tiba. Sebagian karena tak bisa merasakan suasana Idul Fitri yang gemerlap. Sebagian karena merasa kehilangan setelah berpisah dengan Ramadlan. Dengan kelompok yang terakhir ini, aku merasa hormat. Rasanya konyol saja, bulan puasa lewat kok malah senang. Seharusnya sedih. Seharusnya.
Ok, siapa pula yang mengharuskan kita untuk sedih? Sepertinya tidak ada. Sepertinya. Tapi ada kawan yang bilang bahwa malam lebaran adalah lailatul jaizah. Semacam pembagian rapor atau pengumuman hasil ujian. Makanya wajar dong jika ada yang merasa sedih. Boleh jadi mereka merasa gagal memanfaatkan bulan puasa sebagai lumbung amal. Nah, makanya wajar juga dong, jika saya merasa ganjil? Ramadlan lewat kok malah ceria. Seharusnya mereka merasa kehilangan. Seharusnya.
Tiba-tiba ada kawan yang membaca tulisan ini. Dia bilang, emang kamu yakin rapor kamu bagus di bulan puasa ini?
"Kamu ga baca paragraf pertama ya?" jawabku.
Aku merasa biasa-biasa saja. Datar. Tanpa greget.
2
Iya. Sudah hampir tiga minggu aku menggarap kumpulan cerpen. Terus terang, kerja semacam ini selalu membuat aku kelimpungan. Menghubungi penulis, meminta naskah, menyortir mana yang sesuai dan mana yang tidak, menyunting sekaligus mengedit. Belum termasuk disain sampul, ilustrasi, dan menyiapkan pengantar. Sungguh, meski aku tak benar-benar mengerjakan semuanya sendirian, kerja semacam ini sungguh melelahkan. Sungguh melelahkan.
Baiklah. Secara teknis memang tak sulit. Meski begitu, dalam hidup selalu saja ada hal-hal kecil yang membuat laju sesuatu jadi tak linier. Pernahkah kamu berjalan di luar rumah dengan suasana hati yang cerah, ketika kamu merasa seakan-akan seluruh dunia sedang berlagu untukmu, namun tiba-tiba saja kakimu menginjak tahi? Nah, kira-kira semacam itu yang aku rasakan sekarang. Tentu aku merasa gemes, geregetan, sekaligus jengkel. Tapi siapa yang rela dimaki-maki? Rasanya tak ada. Bahkan mereka yang --entah sengaja atau tidak-- buang kotoran di jalan. Pasti mereka --yang buang kotoran sembarangan tadi-- akan bilang begini, "Salah sendiri. Jalan ga pasang mata. Toh yang lain juga ga nginjek tahi kan?"
Lalu aku tersenyum. Rasanya benar. Memang aku yang salah. Rasanya.
Oh, terima kasih untuk Adon dan Muhib yang tidak banyak protes karena komputer di sekretariat sering aku serobot untuk merampungkan tugas. Juga untuk kawan-kawan serumah; Nadhief, Anung, dan Amin untuk pengertian karena aku harus sering keluar rumah, pulang menjelang pagi bahkan tak kembali dua-tiga hari. Terima kasih pula untuk semua orang yang terlibat dalam pengerjaan kumcer, baik yang kooperatif atau tidak, baik yang ikhlas atau terpaksa.
Eh, aku tidak sedang mengeluh lho! Sungguh. Aku tidak sedang mengeluh. Rasanya memang aku sendiri yang salah. Rasanya.
3
Mana yang kamu pilih; sepucuk pistol kosong atau beberapa butir peluru? Apa katamu? Kamu pilih pistol berpeluru penuh? O, itu tidak masuk dalam alternatif pilihan.
Begitulah. Nadhief bilang dia ingin mengisi peluru. Aku tahu, dia belum punya pistol. Tapi aku sependapat dengannya. Beberapa butir peluru lebih berbahaya ketimbang pistol kosong. Maka jika hanya ada dua pilihan, jangan salahkan kami yang memilih untuk mengumpulkan peluru terlebih dahulu. Kamu akan bilang bahwa kami terlalu naif. Silahkan saja. Setiap orang bebas menentukan pilihan bukan?
Kami sangat sadar, di dunia ini banyak orang punya pistol. Tapi kami bukan tak tahu, banyak dari mereka lupa bahwa pistol di genggaman mereka sudah kosong. Bagi yang tak tahu, orang-orang semacam itu akan tampak gagah. Betapa tidak? Lha wong mereka bisa petentang-petenteng bawa senjata kok. Iya. Mereka akan tampak gagah. Bisa menakut-nakuti orang seperti di film-film koboi. Tapi aku tidak takut, pistol kosong tak akan membuatku mati. Paling-paling bikin pingsan jika dihantamkan ke tengkuk, seperti di film-film mafia.
"Emang kamu yakin pistol mereka kosong?" tanya kawan yang menemaniku menulis catatan ini.
"Yakin. Yakin sekali."
"Kok bisa?" tanya dia lagi.
"Ini." jawabku sembari merogoh kantong jaket yang penuh dengan peluru.
Ok. Aku ulangi lagi. Mana yang kamu pilih: sepucuk pistol kosong atau beberapa butir peluru?
Kampung Sembilan, 30 Agustus 2006.
Thursday, September 14, 2006
Tentang Katak Junior dan Induknya
Tak perlu bertanya mengapa saya memakai judul di atas. Yang pasti saya tak ingin menjadi katak berotak besar dalam tempurung kecil. Apalagi menjadi katak berotak kecil dalam tempurung kecil.
Apa? Jangan tanya bagaimana? Temukan sendiri bagaimana membebaskan diri dari tempurung. Kalau saya tahu, buat apa saya harus tertohok ketika menemukan komik itu.
p.s gambar diambil dengan setia dari maduracun. Thanks ya bro!
Apa? Jangan tanya bagaimana? Temukan sendiri bagaimana membebaskan diri dari tempurung. Kalau saya tahu, buat apa saya harus tertohok ketika menemukan komik itu.
p.s gambar diambil dengan setia dari maduracun. Thanks ya bro!
Friday, September 1, 2006
Omong Kosong (1)
Betulkan apa yang diomongkan orang Inggris? There is nothing new under the sun. Selama matahari masih terbit dari timur dan tenggelam di barat, tetap saja dunia hanya akan berisi hal-hal yang sama. Bukan berarti sama persis, tapi kok rasa-rasanya tak ada perkembangan yang cukup signifikan untuk didiskusikan.
Tempo hari ada yang bertanya kepadaku, "Mas, menurut anda pemikiran (Islam-pen) liberal itu bagaimana?" Tentu saja saya menjawab itu dengan pertanyaan susulan, "Memang menurut anda definisi liberal itu apa?"
Nah lho! Yang bertanya tadi malah bingung sendiri. Akhirnya dengan panjang lebar ia menguraikan definisi liberal yang memang nggladrah kemana-mana. Saya jelas hanya bisa manggut-manggut sembari tersenyum. Lantas kawanku tadi mengeluh soal ketidak-konsistenan dalam mengambil sebuah sikap. Kataku, "Ya mungkin saja mas. Toh setiap orang akan berkembang. Jika sudah merasa cukup dan berhenti berarti sudah saatnya dia mati."
"Lalu pendapat anda tentang Islam liberal tadi bagaimana?"
Aku ingat sebuah ucapan yang (seingatku) dinisbatkan kepada Edward Said. Katanya, memberi definisi adalah bentuk imperialisme.
"Gini aja deh mas, saya akan berdiri di titik aman saja." jawabku.
"Kok curang begitu?"
"Ya engga curang dong. Soalnya saya memang belum cukup mumpuni untuk memutuskan berada di barisan mana."
"Kalo memang harus memilih??"
"Lho? Siapa yang mengharuskan? Perintahnya kan 'udhulu fi as-silmi kaffah'. Siapa juga yang mengharuskan saya memakai label tambahan?"
"He..he.. bener juga ya mas. Kenapa juga kita harus pake label-label?"
Lalu kawanku bertutur tentang paradoks yang sering terjadi saat ini. Di saat kelompok Islam liberal-progresif mengolok-olok kelompok radikal-fundamentalis, tanpa disadari mereka juga menjadi sama ekstremnya dengan yang diolok-olok. Nah, berarti keduanya sama-sama berdiri di kutub keras kepala. Berikutnya tentang perlunya pondasi keilmuan yang mapan. Menurutnya tanpa itu seseorang hanya akan terombang-ambing kesana-kemari tanpa punya identitas yang jelas. Tentang itu, saya jelas sepakat. Orang yang bisa bersentuhan dengan realitas dan bisa melihat secara utuh yang punya otoritas untuk berpendapat. Ups! Saya kok jadi sok tahu ya? Entahlah. Semoga tak menjadi katak berotak besar dalam tempurung yang kecil.
"Kalo soal Perda syari'ah gimana mas?"
"Wah, sebenarnya ga terlalu intens mengkaji masalah itu. Seharusnya sampeyan yang intens studi di fakultas Syari'ah yang memberi masukan untuk saya." jawabku.
"Kalo lempar-lemparan begitu yang kena anak Syari'ah Qanun dong?"
Kami tertawa ngakak. Tentu saja menertawakan diri sendiri atas ketidakberdayaan dalam mengkaji masalah-masalah yang dekat dengan realitas.
"Kalo saya nggak setuju mas. Soalnya Indonesia itu kan macem-macem. Yang namanya nation-state itu kan udah bentukan final."
"Om, sampeyan tadi nanya perda lho! Bukan negara syari'at." ucapku mengingatkan.
"Maksud saya begitu, toh kalo memang daerahnya mayoritas Muslim saja juga masih warna-warni kan? Nanti yang dipakai madzhab apa coba?"
"Masalahnya bukan pada syari'ahnya solih li kulli makan wa zaman (aplicable di semua ruang dan waktu-pen), lagi-lagi ini soal label."
"Kok bisa gitu?"
"Sebab harus dibedakan antara syari'ah dan fiqh. Beda lho, ibaratnya syari'ah itu jiwa dan fiqh itu raga. Benar bahwa muaranya satu; Islam itu sendiri. Tapi syari'ah merupakan teks-teks yang mencakup wilayah teologi, yurisprudensi, serta etika."
"Kalo fiqh?"
"Fiqh ya cenderung berbentuk diktum-diktum terperinci dari nash Al-Qur'an maupun Sunnah. Ia lahir melalui nalar dan tak bisa lepas dari pengaruh sosio-kultur dimana ia lahir."
"Termasuk pengaruh antropologis-geografis?"
"Pasti. Kan jelas sekali contohnya. Misalnya kenapa kok Ibnu Hazm memilih menjadi seorang Zahirian yang tekstualis-skripturalis? Sebabnya ulama-ulama di Andalusia saat itu cenderung menarik-narik nash kemana-mana mentang-mentang ada Qiyas. Mungkin Ibnu Hazm jengkel terus mencak-mencak, "Udah deh! daripada dibawa kemana-mana mendingan kita baca apa adanya saja." Kira-kira begitu," tuturku.
"Jadi kesimpulannya bagaimana mas?"
"Waduh, sampeyan tanya sendiri aja sama anak-anak SQ. Udah dibilang ga begitu paham masalah itu. Kapan-kapan saja ngobrolnya dilanjutkan."
Tempo hari ada yang bertanya kepadaku, "Mas, menurut anda pemikiran (Islam-pen) liberal itu bagaimana?" Tentu saja saya menjawab itu dengan pertanyaan susulan, "Memang menurut anda definisi liberal itu apa?"
Nah lho! Yang bertanya tadi malah bingung sendiri. Akhirnya dengan panjang lebar ia menguraikan definisi liberal yang memang nggladrah kemana-mana. Saya jelas hanya bisa manggut-manggut sembari tersenyum. Lantas kawanku tadi mengeluh soal ketidak-konsistenan dalam mengambil sebuah sikap. Kataku, "Ya mungkin saja mas. Toh setiap orang akan berkembang. Jika sudah merasa cukup dan berhenti berarti sudah saatnya dia mati."
"Lalu pendapat anda tentang Islam liberal tadi bagaimana?"
Aku ingat sebuah ucapan yang (seingatku) dinisbatkan kepada Edward Said. Katanya, memberi definisi adalah bentuk imperialisme.
"Gini aja deh mas, saya akan berdiri di titik aman saja." jawabku.
"Kok curang begitu?"
"Ya engga curang dong. Soalnya saya memang belum cukup mumpuni untuk memutuskan berada di barisan mana."
"Kalo memang harus memilih??"
"Lho? Siapa yang mengharuskan? Perintahnya kan 'udhulu fi as-silmi kaffah'. Siapa juga yang mengharuskan saya memakai label tambahan?"
"He..he.. bener juga ya mas. Kenapa juga kita harus pake label-label?"
Lalu kawanku bertutur tentang paradoks yang sering terjadi saat ini. Di saat kelompok Islam liberal-progresif mengolok-olok kelompok radikal-fundamentalis, tanpa disadari mereka juga menjadi sama ekstremnya dengan yang diolok-olok. Nah, berarti keduanya sama-sama berdiri di kutub keras kepala. Berikutnya tentang perlunya pondasi keilmuan yang mapan. Menurutnya tanpa itu seseorang hanya akan terombang-ambing kesana-kemari tanpa punya identitas yang jelas. Tentang itu, saya jelas sepakat. Orang yang bisa bersentuhan dengan realitas dan bisa melihat secara utuh yang punya otoritas untuk berpendapat. Ups! Saya kok jadi sok tahu ya? Entahlah. Semoga tak menjadi katak berotak besar dalam tempurung yang kecil.
"Kalo soal Perda syari'ah gimana mas?"
"Wah, sebenarnya ga terlalu intens mengkaji masalah itu. Seharusnya sampeyan yang intens studi di fakultas Syari'ah yang memberi masukan untuk saya." jawabku.
"Kalo lempar-lemparan begitu yang kena anak Syari'ah Qanun dong?"
Kami tertawa ngakak. Tentu saja menertawakan diri sendiri atas ketidakberdayaan dalam mengkaji masalah-masalah yang dekat dengan realitas.
"Kalo saya nggak setuju mas. Soalnya Indonesia itu kan macem-macem. Yang namanya nation-state itu kan udah bentukan final."
"Om, sampeyan tadi nanya perda lho! Bukan negara syari'at." ucapku mengingatkan.
"Maksud saya begitu, toh kalo memang daerahnya mayoritas Muslim saja juga masih warna-warni kan? Nanti yang dipakai madzhab apa coba?"
"Masalahnya bukan pada syari'ahnya solih li kulli makan wa zaman (aplicable di semua ruang dan waktu-pen), lagi-lagi ini soal label."
"Kok bisa gitu?"
"Sebab harus dibedakan antara syari'ah dan fiqh. Beda lho, ibaratnya syari'ah itu jiwa dan fiqh itu raga. Benar bahwa muaranya satu; Islam itu sendiri. Tapi syari'ah merupakan teks-teks yang mencakup wilayah teologi, yurisprudensi, serta etika."
"Kalo fiqh?"
"Fiqh ya cenderung berbentuk diktum-diktum terperinci dari nash Al-Qur'an maupun Sunnah. Ia lahir melalui nalar dan tak bisa lepas dari pengaruh sosio-kultur dimana ia lahir."
"Termasuk pengaruh antropologis-geografis?"
"Pasti. Kan jelas sekali contohnya. Misalnya kenapa kok Ibnu Hazm memilih menjadi seorang Zahirian yang tekstualis-skripturalis? Sebabnya ulama-ulama di Andalusia saat itu cenderung menarik-narik nash kemana-mana mentang-mentang ada Qiyas. Mungkin Ibnu Hazm jengkel terus mencak-mencak, "Udah deh! daripada dibawa kemana-mana mendingan kita baca apa adanya saja." Kira-kira begitu," tuturku.
"Jadi kesimpulannya bagaimana mas?"
"Waduh, sampeyan tanya sendiri aja sama anak-anak SQ. Udah dibilang ga begitu paham masalah itu. Kapan-kapan saja ngobrolnya dilanjutkan."
Monday, June 12, 2006
Kisah Di Tepi Mississippi
Nak, kau bertanya tentang sungai itu. Maka hari akan kuceritakan kisah yang pernah terjadi diantara aliran sungai yang indah dan menyimpan sejarah. Di sebuah waktu, di sebuah kota kecil bernama St. Petersburg hidup seorang anak nakal, gelandangan alkoholic bernama Huck. Kau akan mengira ini cerita yang membosankan. Sabar dulu anakku, nanti kau akan tahu bagaimana ia mengalami petualangan yang merubah cara seseorang memandang hidup.
Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan, itu kata orang. Sayangnya, ada kalanya omongan itu benar. Bapak Huck seorang alkoholik juga, suatu malam dalam kondisi mabuk ia mengancam akan membunuh Huck, anak yang lahir dari darahnya sendiri. Huck beruntung anakku, ia akhirnya diadopsi oleh seorang perempuan bernama Watson. Dalam kenyamanan secara materi, Huck bertemu dengan Jim, budak hitam yang cerdas dan bijak.
Waktu berlalu. Jim akan dijual ke Selatan. Konon wilayah selatan Amerika saat itu lebih keras dan lebih liar, terutama dalam memperlakukan budak hitam seperti Jim. Jim memutuskan untuk melarikan diri. Huck tahu dan ia ingin ikut, hidup dalam kemewahan tak selamanya membuatnya merasa nyaman. Keduanya pergi dengan rakit menyusuri Mississippi. Menjalani pelarian yang penuh kecemasan namun sarat pelajaran.
Malang tak dapat ditolak. Sebuah kapal uap menabrak rakit yang mereka tumpangi. Mereka tenggelam dan terpisah. Disinilah petualangan sejati mulai terjadi. Huck yang sudah menganggap Jim sebagai figur seorang ayah harus berupaya sendiri untuk menempuh hidup. Begitupula Jim yang merasa bersyukur dipertemukan dengan Huck, harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Kau tentu akan protes, apa asyiknya bersembunyi di semak belukar, berlari dari kejaran anjing penjaga dalam malam gelap. Tentu tak ada yang indah dari kisah itu anakku, tapi dari sini kau bisa belajar bahwa secara naluri manusia punya jiwa eksploitasi. Mencoba mengambil keuntungan dari sesuatu diluar dirinya. Persoalannya adalah bagaimana cara dia mengelola naluri jahat itu. Kau tahu anakku, Jim yang akhirnya tertangkap kemudian dimerdekakan oleh nona Watson. Kemudian Huck yang liar akhirnya diadopsi oleh keluarga terhormat.
Apakah cerita selesai sampai disini? Tidak. Kisah belum usai. Huck memberontak dan memilih lari menuju tanah Indian. Tanah yang murni dari kebusukan moral berbungkus kemajuan peradaban. Meski begitu, kita sama-sama tahu: rakit yang murni dan sederhana tadi pada akhirnya ditenggelamkan oleh kemajuan; kapal uap.
p.s Bapak, terima kasih untuk kekayaan yang kau wariskan untuk kami. Meski komik sederhana itu baru bisa aku resapi maknanya pagi tadi. Delapan tahun untuk bisa membaca kembali kisah klasik itu.
Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan, itu kata orang. Sayangnya, ada kalanya omongan itu benar. Bapak Huck seorang alkoholik juga, suatu malam dalam kondisi mabuk ia mengancam akan membunuh Huck, anak yang lahir dari darahnya sendiri. Huck beruntung anakku, ia akhirnya diadopsi oleh seorang perempuan bernama Watson. Dalam kenyamanan secara materi, Huck bertemu dengan Jim, budak hitam yang cerdas dan bijak.
Waktu berlalu. Jim akan dijual ke Selatan. Konon wilayah selatan Amerika saat itu lebih keras dan lebih liar, terutama dalam memperlakukan budak hitam seperti Jim. Jim memutuskan untuk melarikan diri. Huck tahu dan ia ingin ikut, hidup dalam kemewahan tak selamanya membuatnya merasa nyaman. Keduanya pergi dengan rakit menyusuri Mississippi. Menjalani pelarian yang penuh kecemasan namun sarat pelajaran.
Malang tak dapat ditolak. Sebuah kapal uap menabrak rakit yang mereka tumpangi. Mereka tenggelam dan terpisah. Disinilah petualangan sejati mulai terjadi. Huck yang sudah menganggap Jim sebagai figur seorang ayah harus berupaya sendiri untuk menempuh hidup. Begitupula Jim yang merasa bersyukur dipertemukan dengan Huck, harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Kau tentu akan protes, apa asyiknya bersembunyi di semak belukar, berlari dari kejaran anjing penjaga dalam malam gelap. Tentu tak ada yang indah dari kisah itu anakku, tapi dari sini kau bisa belajar bahwa secara naluri manusia punya jiwa eksploitasi. Mencoba mengambil keuntungan dari sesuatu diluar dirinya. Persoalannya adalah bagaimana cara dia mengelola naluri jahat itu. Kau tahu anakku, Jim yang akhirnya tertangkap kemudian dimerdekakan oleh nona Watson. Kemudian Huck yang liar akhirnya diadopsi oleh keluarga terhormat.
Apakah cerita selesai sampai disini? Tidak. Kisah belum usai. Huck memberontak dan memilih lari menuju tanah Indian. Tanah yang murni dari kebusukan moral berbungkus kemajuan peradaban. Meski begitu, kita sama-sama tahu: rakit yang murni dan sederhana tadi pada akhirnya ditenggelamkan oleh kemajuan; kapal uap.
p.s Bapak, terima kasih untuk kekayaan yang kau wariskan untuk kami. Meski komik sederhana itu baru bisa aku resapi maknanya pagi tadi. Delapan tahun untuk bisa membaca kembali kisah klasik itu.
Menjelang Lembar Terakhir
Sebenarnya mata sudah merah dan tubuh sedikit lelah untuk "mencatat debu" dan "merekam waktu". Namun tiba-tiba ada energi baru yang merasuk, ketika sadar bahwa notes berukuran 12x20 cm setebal 100 lembar yang aku beli dua bulan lalu tinggal menyisakan dua lembar kosong.
Ok, anda akan protes, apa kerennya sih menghabiskan notes?
Untukku, notes ini adalah salah satu alat bantu dalam menyerap pengalaman hidup yang dijalani. Tidak perlu tahu bahwa HB Jassin, Taufik Ismail atau Eep Syaifulloh senantiasa membawa potongan kertas kemanapun mereka pergi, untuk sadar bahwa mencatat itu perlu.
Aku tak bisa memprediksikan kapan dan dimana sebuah peristiwa muncul. Aku juga sadar bahwa daya ingat yang kumiliki terlalu terbatas untuk bisa merekam semua yang terjadi. Karena itu notes dan pena menjadi senjata untuk menghindari kelumpuhan ingatan sekaligus monumen peringatan untuk melawan lupa.
Mencatat hasil pembacaan, merekam peristiwa keseharian, menulis ulang hasil jelajah di cyber, bahkan mengkalkulasi anggaran keuangan adalah aktifitas yang sering dilalui bersama lembar-lembar catatan. Maka harap dimaklumi ketika harus menjadi sentimentil dengan menulis catatan ini. Biarlah ini menjadi ucapan terimakasih untuk lembar-lembar yang setia menemani mencatat hidup. Sebab hidup yang tak diperiksa, kata Sokrates, tak layak untuk dijalani. Catatan-catatan sederhana inilah yang membantu untuk merekonstruksi perjalanan –setidaknya dalam alam pikir- agar suatu hari nanti, aku tidak terjatuh dalam lubang yang sama dua kali.
Ok, anda akan protes, apa kerennya sih menghabiskan notes?
Untukku, notes ini adalah salah satu alat bantu dalam menyerap pengalaman hidup yang dijalani. Tidak perlu tahu bahwa HB Jassin, Taufik Ismail atau Eep Syaifulloh senantiasa membawa potongan kertas kemanapun mereka pergi, untuk sadar bahwa mencatat itu perlu.
Aku tak bisa memprediksikan kapan dan dimana sebuah peristiwa muncul. Aku juga sadar bahwa daya ingat yang kumiliki terlalu terbatas untuk bisa merekam semua yang terjadi. Karena itu notes dan pena menjadi senjata untuk menghindari kelumpuhan ingatan sekaligus monumen peringatan untuk melawan lupa.
Mencatat hasil pembacaan, merekam peristiwa keseharian, menulis ulang hasil jelajah di cyber, bahkan mengkalkulasi anggaran keuangan adalah aktifitas yang sering dilalui bersama lembar-lembar catatan. Maka harap dimaklumi ketika harus menjadi sentimentil dengan menulis catatan ini. Biarlah ini menjadi ucapan terimakasih untuk lembar-lembar yang setia menemani mencatat hidup. Sebab hidup yang tak diperiksa, kata Sokrates, tak layak untuk dijalani. Catatan-catatan sederhana inilah yang membantu untuk merekonstruksi perjalanan –setidaknya dalam alam pikir- agar suatu hari nanti, aku tidak terjatuh dalam lubang yang sama dua kali.
Saturday, June 3, 2006
To Be Different Is Not Crime
Ketika jalanan terlalu padat oleh keseragaman kita harus bergerak. Mewarnai, atau bahkan menciptakan lorong-lorong baru. Kita tidak sedang berbicara tentang anti-kemapanan atau melawan mainstream. Tidak. Sama sekali tidak. Lorong baru diperlukan bukan untuk memberontak, melawan arus dengan bergerak. Sama sekali bukan. Kita memerlukan lorong baru semata-mata untuk menjaga kesadaran manusia. Sama itu wajar, namun menganggap keseragaman sebagai kewajiban adalah salah. Betapa tidak, perbedaan adalah hukum alam (dalam bahasa lain: Sunnatullah) yang tidak bisa digugat. Sejarah mencatat bahwa beda itu biasa. Justru ketika semuanya sama dan seragam maka kita patut mempertanyakan. Ada apa?
Kita tidak sedang mencurigai ada apa dibalik arus utama. Hanya ingin bersikap kritis dan menjaga kesadaran kita. Apa salahnya jika sesekali bertanya: ada apa? Apa salahnya jika sesekali mengkritisi: jangan-jangan ada sesuatu dibalik ini.
Kita harus mengakui bahwa selama ini telah dicekoki homogenisasi. Kita tidak lagi terbiasa untuk berbeda. Kita tidak lagi berani berkata tidak untuk apa yang kita tolak. Kita terlalu pengecut. Diam dan melarikan diri. Anjing!!
Sekali lagi, kita harus bergerak untuk menjaga kesadaran manusia. Bahwa dalam kondisi tertentu keseragaman bukanlah kewajiban. Betapapun sulitnya untuk memulai, setidaknya kita punya mimpi yang diyakini bahwa berbeda tak selamanya dosa.
Kita tidak sedang mencurigai ada apa dibalik arus utama. Hanya ingin bersikap kritis dan menjaga kesadaran kita. Apa salahnya jika sesekali bertanya: ada apa? Apa salahnya jika sesekali mengkritisi: jangan-jangan ada sesuatu dibalik ini.
Kita harus mengakui bahwa selama ini telah dicekoki homogenisasi. Kita tidak lagi terbiasa untuk berbeda. Kita tidak lagi berani berkata tidak untuk apa yang kita tolak. Kita terlalu pengecut. Diam dan melarikan diri. Anjing!!
Sekali lagi, kita harus bergerak untuk menjaga kesadaran manusia. Bahwa dalam kondisi tertentu keseragaman bukanlah kewajiban. Betapapun sulitnya untuk memulai, setidaknya kita punya mimpi yang diyakini bahwa berbeda tak selamanya dosa.
Saturday, May 27, 2006
Bung, Apa Yang Kita Lawan?
(Semacam sesaji untukmu yang gelisah dibalut mimpi)
Bung, kita tahu ruang dimana kita hidup tak memberi waktu bagi mimpi untuk berinkubasi. Mimpi bagi mereka hanyalah ledakan perasaan yang gagal diwujudkan. Kita tahu itu, seperti kita tahu bahwa mimpi adalah entitas nirwujud. Ia ada dalam tiada. seperti Tuhan, yang sampai detik ini hanya bisa dinikmati para Nabi dan sufi. Sisanya, makhluk-makhluk nista seperti kita hanya bisa membayangkan dalam alam ide saja.
Bung, kita tentu sudah mencatat kata Walt Disney, jika kau bisa memimpikannya, kau bisa melakukannya. Tanpa harus mendaftar sebagai anggota Disney Club yang mendunia itu, kita sadar ada kemungkinan mewujudkan angan jadi kenyataan. Karena kita seperti Matthew dalam The Age of Reason milik Sartre yang dikutuk menjadi manusia bebas, bebas untuk berbuat apa saja, semaunya. Meski ada yang harga harus dibayar, kesendirian yang mencekam. Mungkin memang tak segagah Soe Hok Gie yang berani berproklamasi: unable to live in peace and always be gelisah. Tapi kita (ya, aku, kamu dan juga mereka) merasakan pahit yang sama. Semacam ketidak nyamanan yang senantiasa menghantui perjalanan.
Maaf jika baru belakangan ini terpikir, bahwa selama ini aku hanya tenggelam saja dalam lautan kata. Dan kemarin, aku terjaga. Meski baru bisa berenang dan perlu banyak waktu untuk bisa menyelam, pertemuan denganmu memberi aku tenaga baru untuk mengukuhkan diri jadi manusia sebenar, bukan sekedar.
Jalan memang masih panjang. Menghibahkan diri dalam rimba sastra hampir sama dengan bertaruh nyawa. Tapi aku (semoga kau juga) masih percaya apa yang Sartre catat dalam The Purpose of Writing, jika sastra bukan segalanya maka ia bukan apa-apa. Aku tahu, masih jauh untukku bisa menghasilkan karya dimana setiap baris kalimatnya mampu menitipkan getar di setiap tataran masyarakat. Hanya saja aku merasa terlalu dini untuk memvonis diri dengan kata kalah.
Kita seperti anak-anak sekolah di puisi Joko Pinurbo yang berhamburan ke dalam rimba sambil bersorak-sorak: "Rusa jantan berlari masuk ke hutan." Sepeninggal waktu sorak-sorai hilang tak berbekas. Masing-masing menjadi kembara sunyi yang menikmati sendiri. Senja datang lalu kita pulang. Dengan wajah belepotan tanah dan kaki-kaki berdarah dicumbui duri. Perih. Tapi puas. Semacam orgasme.
Bung, kita memang tidak sedang onani. Namun seketika seseorang datang dan menampar kesadaran kita dengan berkata, rimba itu hanya ada dalam ruang ide kita. Kita terluka oleh duri yang kita ciptakan sendiri. Kita berkubang dalam lumpur imajinasi. Kita memang bukan Don Quixote yang hidup untuk mengejar ilusi. Walau benar, di masa pasca-modern ini manusia telah kehilangan kepekaan untuk membedakan kedalaman dan permukaan. Sebab kita, sebagaimana yang dicatat oleh Milan Kundera, telah terjebak dalam imagologi. Kita begitu bangga dengan citra-citra dan label palsu. Sungguh, kok sepertinya kita hanya hidup dalam hiper-realitas. Merasa bangga dan puas dengan berteriak: "Aku berbeda maka aku nyata."
Semoga kita bermufakat kali ini. Karena itu, izinkan mengucap kata melempar tanya: "Apa yang kita lawan?"
Aku merasa penat. Ingin istirahat. Tapi penggalan puisi Joko Pinurbo enggan permisi dari kelopak mata ini: "Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi."
Bung, kita tahu ruang dimana kita hidup tak memberi waktu bagi mimpi untuk berinkubasi. Mimpi bagi mereka hanyalah ledakan perasaan yang gagal diwujudkan. Kita tahu itu, seperti kita tahu bahwa mimpi adalah entitas nirwujud. Ia ada dalam tiada. seperti Tuhan, yang sampai detik ini hanya bisa dinikmati para Nabi dan sufi. Sisanya, makhluk-makhluk nista seperti kita hanya bisa membayangkan dalam alam ide saja.
Bung, kita tentu sudah mencatat kata Walt Disney, jika kau bisa memimpikannya, kau bisa melakukannya. Tanpa harus mendaftar sebagai anggota Disney Club yang mendunia itu, kita sadar ada kemungkinan mewujudkan angan jadi kenyataan. Karena kita seperti Matthew dalam The Age of Reason milik Sartre yang dikutuk menjadi manusia bebas, bebas untuk berbuat apa saja, semaunya. Meski ada yang harga harus dibayar, kesendirian yang mencekam. Mungkin memang tak segagah Soe Hok Gie yang berani berproklamasi: unable to live in peace and always be gelisah. Tapi kita (ya, aku, kamu dan juga mereka) merasakan pahit yang sama. Semacam ketidak nyamanan yang senantiasa menghantui perjalanan.
Maaf jika baru belakangan ini terpikir, bahwa selama ini aku hanya tenggelam saja dalam lautan kata. Dan kemarin, aku terjaga. Meski baru bisa berenang dan perlu banyak waktu untuk bisa menyelam, pertemuan denganmu memberi aku tenaga baru untuk mengukuhkan diri jadi manusia sebenar, bukan sekedar.
Jalan memang masih panjang. Menghibahkan diri dalam rimba sastra hampir sama dengan bertaruh nyawa. Tapi aku (semoga kau juga) masih percaya apa yang Sartre catat dalam The Purpose of Writing, jika sastra bukan segalanya maka ia bukan apa-apa. Aku tahu, masih jauh untukku bisa menghasilkan karya dimana setiap baris kalimatnya mampu menitipkan getar di setiap tataran masyarakat. Hanya saja aku merasa terlalu dini untuk memvonis diri dengan kata kalah.
Kita seperti anak-anak sekolah di puisi Joko Pinurbo yang berhamburan ke dalam rimba sambil bersorak-sorak: "Rusa jantan berlari masuk ke hutan." Sepeninggal waktu sorak-sorai hilang tak berbekas. Masing-masing menjadi kembara sunyi yang menikmati sendiri. Senja datang lalu kita pulang. Dengan wajah belepotan tanah dan kaki-kaki berdarah dicumbui duri. Perih. Tapi puas. Semacam orgasme.
Bung, kita memang tidak sedang onani. Namun seketika seseorang datang dan menampar kesadaran kita dengan berkata, rimba itu hanya ada dalam ruang ide kita. Kita terluka oleh duri yang kita ciptakan sendiri. Kita berkubang dalam lumpur imajinasi. Kita memang bukan Don Quixote yang hidup untuk mengejar ilusi. Walau benar, di masa pasca-modern ini manusia telah kehilangan kepekaan untuk membedakan kedalaman dan permukaan. Sebab kita, sebagaimana yang dicatat oleh Milan Kundera, telah terjebak dalam imagologi. Kita begitu bangga dengan citra-citra dan label palsu. Sungguh, kok sepertinya kita hanya hidup dalam hiper-realitas. Merasa bangga dan puas dengan berteriak: "Aku berbeda maka aku nyata."
Semoga kita bermufakat kali ini. Karena itu, izinkan mengucap kata melempar tanya: "Apa yang kita lawan?"
Aku merasa penat. Ingin istirahat. Tapi penggalan puisi Joko Pinurbo enggan permisi dari kelopak mata ini: "Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi."
Tuesday, May 23, 2006
Semoga...
Jika aku bilang aku sedang dalam pelarian, bukan berarti aku sedang melarikan diri. Meski aku memang dibesarkan oleh lingkungan, namun saat untuk melakukan sesuatu sudah tiba. Melakukan apa? Entah. Tak ada jawaban yang memuaskan.
Mungkin benar apa yang dicatat oleh Albert Camus, bahwa persoalan terbesar yang dihadapi filsafat sekarang adalah mencari alasan mengapa manusia tidak melakukan bunuh diri. Menurutnya hidup manusia hanyalah pendakian tanpa ujung. Kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana akan sampai puncak.
Orang lain bisa saja menjawab, "Ah, Camus kan bukan manusia bertuhan," Tapi pertanyaan itu hanyalah simplifikasi basi. Lalu apakah pertanyaan cukup dijawab dengan doktrin bahwa manusia dan jin tercipta semata-mata untuk beribadah? Jika memang begitu, bukankah dalam hadist Qudsi Dia menyatakan bahwa keengganan manusia untuk beribadah tak akan mengurangi secuilpun kuasaNya?
Terlalu banyak pertanyaan essensial yang tertinggal dan tak terselesaikan. Semoga hanya masalah waktu saja. Semoga hanya masalah waktu saja.
Mungkin benar apa yang dicatat oleh Albert Camus, bahwa persoalan terbesar yang dihadapi filsafat sekarang adalah mencari alasan mengapa manusia tidak melakukan bunuh diri. Menurutnya hidup manusia hanyalah pendakian tanpa ujung. Kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana akan sampai puncak.
Orang lain bisa saja menjawab, "Ah, Camus kan bukan manusia bertuhan," Tapi pertanyaan itu hanyalah simplifikasi basi. Lalu apakah pertanyaan cukup dijawab dengan doktrin bahwa manusia dan jin tercipta semata-mata untuk beribadah? Jika memang begitu, bukankah dalam hadist Qudsi Dia menyatakan bahwa keengganan manusia untuk beribadah tak akan mengurangi secuilpun kuasaNya?
Terlalu banyak pertanyaan essensial yang tertinggal dan tak terselesaikan. Semoga hanya masalah waktu saja. Semoga hanya masalah waktu saja.
Tuesday, May 2, 2006
May Day 2006
Tak ada yang kulakukan untuk ikut merayakan hari buruh. Aku kelelahan setelah semalaman bertempur melawan kata-kata. Siang hari terjaga dan menyiapkan catatan untuk Grafiti Apresiasi Untuk PAT di rumah Pangapora. Yang aku berikan hanya segenggam doa agar buruh-buruh di dunia -terutama yang tinggal di sepanjang Gang Salak V,tempatku dibesarkan- selalu mendapatkan hak-hak mereka.
Oia, selamat juga kepada kaum buruh Indonesia untuk demo yang damai dan tidak anarkis.
Oia, selamat juga kepada kaum buruh Indonesia untuk demo yang damai dan tidak anarkis.
Monday, May 1, 2006
Pram, Selamat Jalan
Catatan duka mengenang Pramoedya Ananta Toer
Aku bukan seorang Pramis. Meski sudah beberapa tahun kenal lewat karyanya yang dipajang di toko buku. Itupun tak semuanya terbaca. Hanya beberapa judul yang sempat kulahap. Setelah bergaul dengan manusia melek sastra aku baru sadar bahwa Pram adalah orang besar. Puluhan buku yang dihasilkan serta beberapa kali masuk nominasi penghargaan Nobel sastra adalah bukti eksistensi Pram sebagai manusia sebenar, bukan sekedar.
Pram bagiku adalah potret nyata sebuah dedikasi. Upaya-upaya yang ia lakukan untuk mencatat hidup merupakan bukti kesadaran diri. Pram bukan orang yang setengah jadi. Ia mempertaruhkan hidupnya demi sebuah prinsip yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Untuk hal satu ini kita berhutang kepadanya.
Aku bukan seorang Pramis. Meski begitu banyak yang aku ambil darinya. Tentang Jawanisme misalnya. Jawanisme bukan sekedar Jawa-sentris, yang mana menjadikan Jawa seagai pusat dan barometer kekuasaan. Jawanisme yang ditentang Pram adalah sikap taat dan setia pada atasan. Sikap inilah yang akan berujung kepada fasisme Jawa, sebuah sistem yang tumbuh dan berkembang pesat dalam masa Soeharto.
Jawanisme-lah yang bertanggung jawab atas jatuhnya Jawa di tangan penjajah. Ketika golongan priyayi menjadi alat pemerintah dan sawah milik desa disulap menjadi perkebunan. Sementara para petani hanya menjadi kuli diatas tanah mereka sendiri. Kondisi ini berlangsung terus-menerus. Rakyat yang miskin dan terbelakang tak tahu harus berbuat apa. Satu dua orang yang berani berbicara dihantam dan disingkirkan. Sisanya memilih diam tanpa perlawanan hanya karena satu hal: menghormati atasan. Hasilnya adalah generasi yang tak mampu (atau tak mau?) bertanya dan berargumen. Dan kita tahu, mental kuli itu masih dipelihara hingga kini. Terbukti, sampai sekarang Indonesia baru bisa menjadi negara pengekspor kuli terbesar di dunia.
Menurut Pram, dalam kehidupan keluarga Indonesia sekarang ini tidak diajarkan untuk berproduksi, melainkan hanya mengkonsumsi. Hasilnya adalah rakyat tidak tahu lagi bagaimana cara berproduksi, hanya jadi kuli, hanya jadi suruhan saja sepanjang hidupnya. Dan ketika mereka tak mampu berproduksi, mereka berusaha dengan korupsi: membuat orang lain korupsi atau dirinya sendiri korupsi.
Pram memang dilahirkan untuk melawan mitos. Ia berteriak agar bangsa Indonesia mau berpikir rasional dan menghancurkan mental pengemis. Kritikan ini tidak hanya ditujukan kepada kaum aristokrat saja, namun juga kaum agamis. Ia menganggap orang yang berdoa sama saja dengan pengemis. Pram terlalu percaya bahwa apa yang ada di dunia hanya bisa diubah dengan usaha manusia belaka, tanpa boleh mengidap ketergantungan kepada yang diatas. Boleh jadi Pram tidak sedang menyerang agama. Yang ia serang adalah sikap terlalu bergantung kepada unsur transendental dan enggan percaya kepada kemampuan sendiri. Maka ketika masyarakat berada dalam ketidakberdayaan akut untuk melawan mitos, gagasan Pram layak dielaborasi sebagai solusi alternatif memecahkan kebuntuan.
Indonesia adalah negeri yang dilahirkan dengan multi-kulturalisme kental. Ribuan pulau, puluhan bahasa, etnis, dan berbagai paham dan ideologi menjadi "kekayaan" bangsa ini. Namun dalam masa Orde Baru terjadi penyeragaman (homogenisasi) kultur secara masif. Upaya homogenisasi yang menuntut adanya doktrin atau ideologi tunggal pada akhirnya menciptakan masyarakat dengan budaya tertutup. Masyarakat tak mampu lagi berdialog dengan kebudayaan lain. Unsur-unsur baru yang masuk dicurigai dan dijauhi. Tak ada interaksi dan dialog satu sama lain.
Pram merasakan betul hal itu. Ketika kekerasan menjadi solusi bagi penguasa, ia adalah satu dari sekian banyak korban yang harus berada di penjara. Belum lagi penjarahan dan pembakaran kertas dan naskah ditambah pelarangan buku-bukunya. Tapi Pram tetaplah Pram. Penindasan yang dilakukan terhadapnya dibalas dengan karya-karya "berkelas Nobel". Dari sini nampak bagaimana semangat juang akan menjadi nyala bagi seseorang. Pram selalu ditekan, ia memilih untuk melawan. Karenanya Pram dan karya-karyanya akan selalu ada dalam sejarah.
Aku bukan seorang Pramis. Kurang bijak menempatkan Pram di altar agung tanpa cela. Sebagaimana yang ia yakini, dalam hidup kita harus bisa ber-dialektika. Tidak selamanya harus menganut logika oposisi biner: menyalakan satu saklar sembari mematikan yang lain. Ada yang bisa diambil, ada yang bisa ditinggalkan. Meski begitu, ada baiknya untuk bertanya: masih adakah orang-orang dengan visi keindonesiaan, memiliki –yang kata Bung Karno- visi nation and character building di sekitar kita?
Pram telah pergi. Dan kita merasa kehilangan. Konsep dan gagasan yang ia tinggalkan menjadi PR bagi kita: generasi muda Indonesia. Masih banyak yang harus dikerjakan untuk membangun jati diri dan karakter sejati. Pram mungkin kesepian, tapi kita tahu: ia tak benar-benar sendirian. Masih ada segelintir manusia yang memiliki kesadaran dan mulai menapaki jalan yang ia pilih. Jalan panjang yang menuntut dedikasi tinggi untuk menjadi seorang Indonesia sejati. Akhirnya, sepenggal kalimat dalam Bumi Manusia harus selalu diingat: "Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap, kalau tidak dia takkan jadi apa-apa."
Selamat jalan Pram, baik-baik disana. Kau tak perlu lagi berteriak menyuarakan ketidakadilan. Aku masih percaya kok, Tuhan itu Maha Adil.
Aku bukan seorang Pramis. Meski sudah beberapa tahun kenal lewat karyanya yang dipajang di toko buku. Itupun tak semuanya terbaca. Hanya beberapa judul yang sempat kulahap. Setelah bergaul dengan manusia melek sastra aku baru sadar bahwa Pram adalah orang besar. Puluhan buku yang dihasilkan serta beberapa kali masuk nominasi penghargaan Nobel sastra adalah bukti eksistensi Pram sebagai manusia sebenar, bukan sekedar.
Pram bagiku adalah potret nyata sebuah dedikasi. Upaya-upaya yang ia lakukan untuk mencatat hidup merupakan bukti kesadaran diri. Pram bukan orang yang setengah jadi. Ia mempertaruhkan hidupnya demi sebuah prinsip yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Untuk hal satu ini kita berhutang kepadanya.
Aku bukan seorang Pramis. Meski begitu banyak yang aku ambil darinya. Tentang Jawanisme misalnya. Jawanisme bukan sekedar Jawa-sentris, yang mana menjadikan Jawa seagai pusat dan barometer kekuasaan. Jawanisme yang ditentang Pram adalah sikap taat dan setia pada atasan. Sikap inilah yang akan berujung kepada fasisme Jawa, sebuah sistem yang tumbuh dan berkembang pesat dalam masa Soeharto.
Jawanisme-lah yang bertanggung jawab atas jatuhnya Jawa di tangan penjajah. Ketika golongan priyayi menjadi alat pemerintah dan sawah milik desa disulap menjadi perkebunan. Sementara para petani hanya menjadi kuli diatas tanah mereka sendiri. Kondisi ini berlangsung terus-menerus. Rakyat yang miskin dan terbelakang tak tahu harus berbuat apa. Satu dua orang yang berani berbicara dihantam dan disingkirkan. Sisanya memilih diam tanpa perlawanan hanya karena satu hal: menghormati atasan. Hasilnya adalah generasi yang tak mampu (atau tak mau?) bertanya dan berargumen. Dan kita tahu, mental kuli itu masih dipelihara hingga kini. Terbukti, sampai sekarang Indonesia baru bisa menjadi negara pengekspor kuli terbesar di dunia.
Menurut Pram, dalam kehidupan keluarga Indonesia sekarang ini tidak diajarkan untuk berproduksi, melainkan hanya mengkonsumsi. Hasilnya adalah rakyat tidak tahu lagi bagaimana cara berproduksi, hanya jadi kuli, hanya jadi suruhan saja sepanjang hidupnya. Dan ketika mereka tak mampu berproduksi, mereka berusaha dengan korupsi: membuat orang lain korupsi atau dirinya sendiri korupsi.
Pram memang dilahirkan untuk melawan mitos. Ia berteriak agar bangsa Indonesia mau berpikir rasional dan menghancurkan mental pengemis. Kritikan ini tidak hanya ditujukan kepada kaum aristokrat saja, namun juga kaum agamis. Ia menganggap orang yang berdoa sama saja dengan pengemis. Pram terlalu percaya bahwa apa yang ada di dunia hanya bisa diubah dengan usaha manusia belaka, tanpa boleh mengidap ketergantungan kepada yang diatas. Boleh jadi Pram tidak sedang menyerang agama. Yang ia serang adalah sikap terlalu bergantung kepada unsur transendental dan enggan percaya kepada kemampuan sendiri. Maka ketika masyarakat berada dalam ketidakberdayaan akut untuk melawan mitos, gagasan Pram layak dielaborasi sebagai solusi alternatif memecahkan kebuntuan.
Indonesia adalah negeri yang dilahirkan dengan multi-kulturalisme kental. Ribuan pulau, puluhan bahasa, etnis, dan berbagai paham dan ideologi menjadi "kekayaan" bangsa ini. Namun dalam masa Orde Baru terjadi penyeragaman (homogenisasi) kultur secara masif. Upaya homogenisasi yang menuntut adanya doktrin atau ideologi tunggal pada akhirnya menciptakan masyarakat dengan budaya tertutup. Masyarakat tak mampu lagi berdialog dengan kebudayaan lain. Unsur-unsur baru yang masuk dicurigai dan dijauhi. Tak ada interaksi dan dialog satu sama lain.
Pram merasakan betul hal itu. Ketika kekerasan menjadi solusi bagi penguasa, ia adalah satu dari sekian banyak korban yang harus berada di penjara. Belum lagi penjarahan dan pembakaran kertas dan naskah ditambah pelarangan buku-bukunya. Tapi Pram tetaplah Pram. Penindasan yang dilakukan terhadapnya dibalas dengan karya-karya "berkelas Nobel". Dari sini nampak bagaimana semangat juang akan menjadi nyala bagi seseorang. Pram selalu ditekan, ia memilih untuk melawan. Karenanya Pram dan karya-karyanya akan selalu ada dalam sejarah.
Aku bukan seorang Pramis. Kurang bijak menempatkan Pram di altar agung tanpa cela. Sebagaimana yang ia yakini, dalam hidup kita harus bisa ber-dialektika. Tidak selamanya harus menganut logika oposisi biner: menyalakan satu saklar sembari mematikan yang lain. Ada yang bisa diambil, ada yang bisa ditinggalkan. Meski begitu, ada baiknya untuk bertanya: masih adakah orang-orang dengan visi keindonesiaan, memiliki –yang kata Bung Karno- visi nation and character building di sekitar kita?
Pram telah pergi. Dan kita merasa kehilangan. Konsep dan gagasan yang ia tinggalkan menjadi PR bagi kita: generasi muda Indonesia. Masih banyak yang harus dikerjakan untuk membangun jati diri dan karakter sejati. Pram mungkin kesepian, tapi kita tahu: ia tak benar-benar sendirian. Masih ada segelintir manusia yang memiliki kesadaran dan mulai menapaki jalan yang ia pilih. Jalan panjang yang menuntut dedikasi tinggi untuk menjadi seorang Indonesia sejati. Akhirnya, sepenggal kalimat dalam Bumi Manusia harus selalu diingat: "Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap, kalau tidak dia takkan jadi apa-apa."
Selamat jalan Pram, baik-baik disana. Kau tak perlu lagi berteriak menyuarakan ketidakadilan. Aku masih percaya kok, Tuhan itu Maha Adil.
Saturday, April 29, 2006
Pengakuan Seorang Nokturnal
Sebab aku menyukai malam. Ia tenang. Juga damai. Karena itulah saat matahari masih pasang aksi kau akan sering menemuiku dengan mata merah. Sembab. Lelah. Dan aku puas. Mungkin bahagia. Aku tidak sedang bersembunyi. Bukan pula uzlah sebagaimana para nabi dan manusia suci. Aku hanya menyukai malam. Itu saja. Rasanya nyaman sekali ketika berhadapan dengan layar monitor, menyentuhkan ujung jemari diatas keyboard. Apalagi ditemani segelas kopi dan beberapa batang rokok. Mungkin tak seindah surga, tapi aku suka.
Perjalanan, Peta, Tujuan
Entah kapan pertama kali kau datang kepadaku. Yang kuingat malam itu bulan penuh. Kita berkenalan. Saling bertukar nama dan berjabat tangan. Saat itu kita berbicara tentang banyak hal. Kita berbagi, saling bercerita tentang episode-episode hidup yang telah dilakoni. Dan saat matahari muncul di ufuk, aku minta diri. Lelah. Juga gembira. Begitu banyak hal berharga yang kudapat darimu.
Maka ketika kau datang kepadaku beberapa hari lalu, aku sungguh terkejut. Sebab ini berbeda. Kali ini kau datang kepadaku untuk mengeluh. Mengeluhkan lelah yang menyergapmu dalam separuh perjalananmu.
“Nang, aku tak sanggup lagi menempuh jalan ini,” ucapmu.
Aku hanya diam. Jika ini soal lelah, kau masih punya waktu untuk istirahat. Tapi ini tentang enggan. Adakah yang bisa kulakukan untuk membunuh enggan di dirimu?
“Setidaknya kau bisa memberiku peta,” ucapmu.
Ah, ini bukan soal peta. Aku tahu, sangat tahu bahwa dengan peta maka perjalanan akan lebih mudah. Dan itu hanya bisa dilakukan selama kau memiliki tujuan. Percuma kau punya peta tapi tak tahu (atau tak mau tahu?) hendak kemana? Sungguh, yang menimpamu saat ini adalah kebimbangan akut yang membuatmu tersesat. Kau tak bisa memilih: kembali atau berangkat lagi.
“Tapi aku tak tahu harus kemana,” ucapmu.
Anj***!! Satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu adalah dirimu sendiri. Sejenak menarik diri tak ada salahnya. Biarkan semua mengendap dan tentukan kemana kau akan berangkat. Yakini dan jalani. Itu saja. Kalaupun ternyata salah, setidaknya itu adalah pilihan sadarmu. Ingat! Pilihan sadar. Engkau sendiri yang menentukannya. Bukan aku, dia atau mereka. Hanya kamu saja.
“Lalu bagaimana denganmu?”
Sial! Kau tak berhak mencampuri apa yang aku lakoni. Ini perjalananku sendiri. Meskipun kita bertemu di sebuah persimpangan dan melalui jalan yang sama, tetap saja tujuan kita berbeda. Maka hentikan sedu sedan. Tak usah menjadikanku beban. Kita hanya kawan seperjalanan. Itu saja.
Maka ketika kau datang kepadaku beberapa hari lalu, aku sungguh terkejut. Sebab ini berbeda. Kali ini kau datang kepadaku untuk mengeluh. Mengeluhkan lelah yang menyergapmu dalam separuh perjalananmu.
“Nang, aku tak sanggup lagi menempuh jalan ini,” ucapmu.
Aku hanya diam. Jika ini soal lelah, kau masih punya waktu untuk istirahat. Tapi ini tentang enggan. Adakah yang bisa kulakukan untuk membunuh enggan di dirimu?
“Setidaknya kau bisa memberiku peta,” ucapmu.
Ah, ini bukan soal peta. Aku tahu, sangat tahu bahwa dengan peta maka perjalanan akan lebih mudah. Dan itu hanya bisa dilakukan selama kau memiliki tujuan. Percuma kau punya peta tapi tak tahu (atau tak mau tahu?) hendak kemana? Sungguh, yang menimpamu saat ini adalah kebimbangan akut yang membuatmu tersesat. Kau tak bisa memilih: kembali atau berangkat lagi.
“Tapi aku tak tahu harus kemana,” ucapmu.
Anj***!! Satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu adalah dirimu sendiri. Sejenak menarik diri tak ada salahnya. Biarkan semua mengendap dan tentukan kemana kau akan berangkat. Yakini dan jalani. Itu saja. Kalaupun ternyata salah, setidaknya itu adalah pilihan sadarmu. Ingat! Pilihan sadar. Engkau sendiri yang menentukannya. Bukan aku, dia atau mereka. Hanya kamu saja.
“Lalu bagaimana denganmu?”
Sial! Kau tak berhak mencampuri apa yang aku lakoni. Ini perjalananku sendiri. Meskipun kita bertemu di sebuah persimpangan dan melalui jalan yang sama, tetap saja tujuan kita berbeda. Maka hentikan sedu sedan. Tak usah menjadikanku beban. Kita hanya kawan seperjalanan. Itu saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)