Entah kapan pertama kali kau datang kepadaku. Yang kuingat malam itu bulan penuh. Kita berkenalan. Saling bertukar nama dan berjabat tangan. Saat itu kita berbicara tentang banyak hal. Kita berbagi, saling bercerita tentang episode-episode hidup yang telah dilakoni. Dan saat matahari muncul di ufuk, aku minta diri. Lelah. Juga gembira. Begitu banyak hal berharga yang kudapat darimu.
Maka ketika kau datang kepadaku beberapa hari lalu, aku sungguh terkejut. Sebab ini berbeda. Kali ini kau datang kepadaku untuk mengeluh. Mengeluhkan lelah yang menyergapmu dalam separuh perjalananmu.
“Nang, aku tak sanggup lagi menempuh jalan ini,” ucapmu.
Aku hanya diam. Jika ini soal lelah, kau masih punya waktu untuk istirahat. Tapi ini tentang enggan. Adakah yang bisa kulakukan untuk membunuh enggan di dirimu?
“Setidaknya kau bisa memberiku peta,” ucapmu.
Ah, ini bukan soal peta. Aku tahu, sangat tahu bahwa dengan peta maka perjalanan akan lebih mudah. Dan itu hanya bisa dilakukan selama kau memiliki tujuan. Percuma kau punya peta tapi tak tahu (atau tak mau tahu?) hendak kemana? Sungguh, yang menimpamu saat ini adalah kebimbangan akut yang membuatmu tersesat. Kau tak bisa memilih: kembali atau berangkat lagi.
“Tapi aku tak tahu harus kemana,” ucapmu.
Anj***!! Satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu adalah dirimu sendiri. Sejenak menarik diri tak ada salahnya. Biarkan semua mengendap dan tentukan kemana kau akan berangkat. Yakini dan jalani. Itu saja. Kalaupun ternyata salah, setidaknya itu adalah pilihan sadarmu. Ingat! Pilihan sadar. Engkau sendiri yang menentukannya. Bukan aku, dia atau mereka. Hanya kamu saja.
“Lalu bagaimana denganmu?”
Sial! Kau tak berhak mencampuri apa yang aku lakoni. Ini perjalananku sendiri. Meskipun kita bertemu di sebuah persimpangan dan melalui jalan yang sama, tetap saja tujuan kita berbeda. Maka hentikan sedu sedan. Tak usah menjadikanku beban. Kita hanya kawan seperjalanan. Itu saja.
No comments:
Post a Comment