Sebenarnya mata sudah merah dan tubuh sedikit lelah untuk "mencatat debu" dan "merekam waktu". Namun tiba-tiba ada energi baru yang merasuk, ketika sadar bahwa notes berukuran 12x20 cm setebal 100 lembar yang aku beli dua bulan lalu tinggal menyisakan dua lembar kosong.
Ok, anda akan protes, apa kerennya sih menghabiskan notes?
Untukku, notes ini adalah salah satu alat bantu dalam menyerap pengalaman hidup yang dijalani. Tidak perlu tahu bahwa HB Jassin, Taufik Ismail atau Eep Syaifulloh senantiasa membawa potongan kertas kemanapun mereka pergi, untuk sadar bahwa mencatat itu perlu.
Aku tak bisa memprediksikan kapan dan dimana sebuah peristiwa muncul. Aku juga sadar bahwa daya ingat yang kumiliki terlalu terbatas untuk bisa merekam semua yang terjadi. Karena itu notes dan pena menjadi senjata untuk menghindari kelumpuhan ingatan sekaligus monumen peringatan untuk melawan lupa.
Mencatat hasil pembacaan, merekam peristiwa keseharian, menulis ulang hasil jelajah di cyber, bahkan mengkalkulasi anggaran keuangan adalah aktifitas yang sering dilalui bersama lembar-lembar catatan. Maka harap dimaklumi ketika harus menjadi sentimentil dengan menulis catatan ini. Biarlah ini menjadi ucapan terimakasih untuk lembar-lembar yang setia menemani mencatat hidup. Sebab hidup yang tak diperiksa, kata Sokrates, tak layak untuk dijalani. Catatan-catatan sederhana inilah yang membantu untuk merekonstruksi perjalanan –setidaknya dalam alam pikir- agar suatu hari nanti, aku tidak terjatuh dalam lubang yang sama dua kali.
No comments:
Post a Comment