(Semacam sesaji untukmu yang gelisah dibalut mimpi)
Bung, kita tahu ruang dimana kita hidup tak memberi waktu bagi mimpi untuk berinkubasi. Mimpi bagi mereka hanyalah ledakan perasaan yang gagal diwujudkan. Kita tahu itu, seperti kita tahu bahwa mimpi adalah entitas nirwujud. Ia ada dalam tiada. seperti Tuhan, yang sampai detik ini hanya bisa dinikmati para Nabi dan sufi. Sisanya, makhluk-makhluk nista seperti kita hanya bisa membayangkan dalam alam ide saja.
Bung, kita tentu sudah mencatat kata Walt Disney, jika kau bisa memimpikannya, kau bisa melakukannya. Tanpa harus mendaftar sebagai anggota Disney Club yang mendunia itu, kita sadar ada kemungkinan mewujudkan angan jadi kenyataan. Karena kita seperti Matthew dalam The Age of Reason milik Sartre yang dikutuk menjadi manusia bebas, bebas untuk berbuat apa saja, semaunya. Meski ada yang harga harus dibayar, kesendirian yang mencekam. Mungkin memang tak segagah Soe Hok Gie yang berani berproklamasi: unable to live in peace and always be gelisah. Tapi kita (ya, aku, kamu dan juga mereka) merasakan pahit yang sama. Semacam ketidak nyamanan yang senantiasa menghantui perjalanan.
Maaf jika baru belakangan ini terpikir, bahwa selama ini aku hanya tenggelam saja dalam lautan kata. Dan kemarin, aku terjaga. Meski baru bisa berenang dan perlu banyak waktu untuk bisa menyelam, pertemuan denganmu memberi aku tenaga baru untuk mengukuhkan diri jadi manusia sebenar, bukan sekedar.
Jalan memang masih panjang. Menghibahkan diri dalam rimba sastra hampir sama dengan bertaruh nyawa. Tapi aku (semoga kau juga) masih percaya apa yang Sartre catat dalam The Purpose of Writing, jika sastra bukan segalanya maka ia bukan apa-apa. Aku tahu, masih jauh untukku bisa menghasilkan karya dimana setiap baris kalimatnya mampu menitipkan getar di setiap tataran masyarakat. Hanya saja aku merasa terlalu dini untuk memvonis diri dengan kata kalah.
Kita seperti anak-anak sekolah di puisi Joko Pinurbo yang berhamburan ke dalam rimba sambil bersorak-sorak: "Rusa jantan berlari masuk ke hutan." Sepeninggal waktu sorak-sorai hilang tak berbekas. Masing-masing menjadi kembara sunyi yang menikmati sendiri. Senja datang lalu kita pulang. Dengan wajah belepotan tanah dan kaki-kaki berdarah dicumbui duri. Perih. Tapi puas. Semacam orgasme.
Bung, kita memang tidak sedang onani. Namun seketika seseorang datang dan menampar kesadaran kita dengan berkata, rimba itu hanya ada dalam ruang ide kita. Kita terluka oleh duri yang kita ciptakan sendiri. Kita berkubang dalam lumpur imajinasi. Kita memang bukan Don Quixote yang hidup untuk mengejar ilusi. Walau benar, di masa pasca-modern ini manusia telah kehilangan kepekaan untuk membedakan kedalaman dan permukaan. Sebab kita, sebagaimana yang dicatat oleh Milan Kundera, telah terjebak dalam imagologi. Kita begitu bangga dengan citra-citra dan label palsu. Sungguh, kok sepertinya kita hanya hidup dalam hiper-realitas. Merasa bangga dan puas dengan berteriak: "Aku berbeda maka aku nyata."
Semoga kita bermufakat kali ini. Karena itu, izinkan mengucap kata melempar tanya: "Apa yang kita lawan?"
Aku merasa penat. Ingin istirahat. Tapi penggalan puisi Joko Pinurbo enggan permisi dari kelopak mata ini: "Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi."
No comments:
Post a Comment