Banyak yang saya temukan selepas hujan deras di Kairo hari ini. Sesuatu yang tentu jauh lebih berarti ketimbang dingin udara atau jalanan becek yang bikin sepatu saya tampak sangat kotor.
Pertama, saya teringat akan seseorang yang sangat saya sayangi meskipun kami sama sekali tak memiliki hubungan darah. Bukan pula karena kesamaan-kesamaan tertentu sebab nyatanya ia lebih suka Andrea Hirata sementara saya lebih memilih Iwan Simatupang. Jika ia menyukai senja, maka saya lebih memilih pagi. Dan sepertinya ia akan memilih gunung ketimbang pantai sementara saya sebaliknya.
Dan perbedaan-perbedaan itu terasa tak begitu penting. Setidaknya setelah kami sudah saling membaca sedemikian lama. Memang sih, intensitas tak musti berbanding lurus dengan kualitas. Terbukti ketika tahun lalu acapkali muncul gesekan yang memaksa saya untuk menarik nafas dalam-dalam sembari beristighfar, hanya untuk meredam kemarahan yang lagi memuncak. Dan luka-luka itu menjadi tak berarti. Sederhana saja sebabnya: kalau mau hujan ya jangan protes karena melihat petir dan mendengar guntur. Kalau di Solo istilahnya begini, gelem nangkane yo kudu gelem pulute.
Dalam hubungan selalu ada perselisihan. Betapapun besarnya rasa cinta setiap anggota pasangan. Selama masih ada keinginan untuk terus melanjutkan relasi, selebihnya hanya soal komunikasi. Tak mudah memang mengatasi perbedaan cara pandang atau alur berfikir. Bukan sekali dua kami bersepakat atas sesuatu hanya di tataran kesimpulan. Jalannya? Masih berlainan. Dan saya tersenyum saja, mungkin lelaki memang datang dari Mars dan perempuan dari Venus. Dan saya tersenyum saja, sebab kami masih berada di Bumi, rumah kami; tempat berteduh setelah kami bergandengan tangan di bawah hujan, kelak.
Kedua, perbincangan beberapa bulan lampau. Pemicunya pertanyaan Falah kepada saya, Faizin, dan Tob soal apakah hujan kali itu akan dimuat di Ahram, salah satu koran dengan oplah terbesar di Mesir. Pertanyaan itu menarik karena hujan baru benar-benar deras pada pukul tiga dini hari. Jika memang berita itu turun, besar kemungkinan distribusi koran akan tersendat karena urung naik cetak. Padahal, menurut Falah, Ahram adalah koran Mesir dengan distribusi paling canggih dan dibaca di berbagai negara. Tentu saja konsekuensi telat naik cetak bukan hal enteng bagi Ahram. Menurut saya, hal itu lazim saja. Koran harian kan bermain dalam hitungan menit, beda dengan mingguan yang punya lebih banyak waktu untuk menentukan materi. Dan justru, kemampuan untuk menangani berita-berita dadakan semacam itulah yang bikin sebuah media dibaca. Umumnya pembaca menuntut aktualitas bukan?
Tapi obrolan di atas jadi ga penting banget. Sebab keesokan harinya, tak seorangpun dari kami yang membeli koran untuk memeriksa soal hujan. Padahal, jarak antara flat kami dan kios koran cuma sepelemparan granat. Dan sungguh, sampai detik ini saya masih menyesal, sekaligus geli, kenapa kami harus membuang waktu untuk membahas soal Ahram dan hujan di Kairo. Hahaha.
No comments:
Post a Comment