Mubarak dan penasehatnya ada dalam pesawat di atas kota Kairo. Membawa duit $ 1,000 dia bertanya bagaimana cara memanfaatkan uang itu agar penduduk Mesir bahagia. Penasehat pertama usul agar Mubarak melemparkan uang itu lewat jendela agar satu keluarga Mesir bahagia. Penasehat kedua menyarankan agar bundelan uang dibagi dua sebelum dilempar agar ada dua keluarga berbahagia. "Tapi saya pingin semua warga senang? Gimana dong?" tanya Mubarak lagi. "Gampang saja Pak," jawab penasehat ketiga. "Kantongi saja duitnya, lalu sampeyan lompat dari pesawat. Pasti semua warga Mesir bahagia."
Pernah dengar guyonan tadi? Begitulah cara orang Mesir mengungkapkan kejengkelan atas pemerintah. Terkesan garing? Mungkin. Tapi di negeri dengan pengekangan mengeluarkan pendapat, humor jadi cara efektif untuk meluapkan kemarahan. Ok, ada banyak cara sebenarnya. Bisa lewat kotak suara, itupun kalau tak ada manipulasi dalam proses penghitungan. Mungkin juga lewat tulisan, baik di koran atau blog, asal siap jika nanti ada polisi yang tiba-tiba datang mendobrak pintu dan mengajakmu "jalan-jalan". Ikut demonstrasi juga boleh, dengan konsekuensi harus nginap di penjara, atau minimal jadi korban penyiksaan sebelum kemudian dibuang ke padang pasir seperti kasus Dr. Abdul Wahab el-Messiry beberapa hari lalu.
Begitulah. Seperti halnya para pengkritik gerakan Kifaya, kebanyakan warga Mesir lebih memilih jalur yang relatif lebih aman. Mungkin tak seberani Abdullah al-Nadim, penggerak Revolusi 1919, yang menyampaikan kritik lewat majalah humor al-Tabkit wa al-Tankit, tapi setidaknya ada nuansa perlawanan terhadap pemerintahan otoritarian.
Tema yang berkembang beragam, dari rakusnya pemerintah sampai soal loyonya pemegang otoritas keagamaan di Mesir. Tentang isu pewarisan kekuasaan kepada Gamal misalnya, disebutkan bahwa Mubarak memanggil syeikh Azhar (yang banyak disorot karena terlalu loyal kepada rezim) untuk mengeluarkan fatwa agar Gamal bisa menjadi presiden selanjutnya. Dan terkejutlah Mubarak karena sang mufti menolak sebab hal itu bertentangan dengan ayat tentang larangan menikahi ibu (penggambaran atas apa yang dilakukan Mubarak terhadap Mesir selama beberapa dekade). Dan pesan bersayapnya juga ada: Bahwa Mubarak sebagai pemimpin sekular yang keras terhadap oposisi Muslim, kerapkali bergandengan tangan dengan figur ulama atau institusi keagamaan demi legitimasi kekuasaan.Soal monopoli bisnis oleh keluarga dan kroninya tergambar dari lelucon soal sekaratnya Mubarak. "Apa jadinya bangsa Mesir tanpa saya?", tanya sang presiden menjelang ajal. Si penasehat, untuk menenangkan sang presiden, bilang bahwa bangsa Mesir akan baik-baik saja, toh selama ini mereka biasa hidup susah dan bisa "makan batu". Mendengar itu, cepat-cepat ia mengeluarkan dekrit presiden tentang monopoli perdagangan batu untuk Ala, putra tertuanya yang usahawan itu.
Jika hidup hanya melulu berisi kegetiran, maka kemampuan untuk menertawakan diri sendiri (baca: pemerintah) bisa jadi penawar ampuh. Rakyat kecil yang berada di luar kekuasaan dan tampak diam, pada akhirnya mengembangkan pola komunikasi tersendiri untuk melawan rezim. Dan bukan mustahil jika kelak mayoritas yang terbungkam tadi tak bisa lagi menahan diri dan memilih cara lain untuk berbicara. Sepanjang 2006, ada 220 aksi protes di penjuru Mesir. Bandingkan dengan laporan Land Centre for Human Rights yang menyatakan bahwa setidaknya ada 283 aksi massa pada paruh pertama 2007. Well, quite huge number isn't it?
Mungkin masih jauh panggang dari api jika membayangkan Revolusi Roti (Intifadzat al-Hubz) tahun 1977 terulang lagi. Toh menurut LCHR, mayoritas aksi protes di tahun 2007 menyoal kenaikan gaji buruh. Belum menyentuh isu-isu "kolektif" seperti pencabutan subsidi bahan pokok atau lengsernya sang Fir'aun. Sementara penduduk Mesir sedang berproses untuk sadar, memunguti joke-joke politik bisa menjadi alternatif membunuh bosan kan? Seperti Fastball yang bilang, "there is always more than one way to say exactly what you mean to say", biarlah lelucon-lelucon itu jadi cara merayakan kediktatoran.
No comments:
Post a Comment