Saya tahu betul apa yang saya perlukan untuk melanjutkan mimpi saya; menyambung titik pada peta dengan garis, sebelum akhirnya sampai di sebuah kota di Barat sana. Dan saya belum mau menyerah meski belakangan ini keadaan memaksa saya untuk berdamai dengan banyak hal yang selama ini saya tentang keras: mengejar materi, bersikap abstain saat harus berpihak, menjadi benalu.
Kepada Suci saya bercerita bahwa di balik apa yang dilihat beberapa orang sebagai kemajuan (beberapa orang itu di antaranya saya dan keluarga) ternyata termuat juga banyak kemunduran. Jadwal kerja yang terpatok sekian jam dalam sehari dalam beberapa pekan mau tak mau membuat produktivitas dalam menulis turun drastis. Bahkan soal membaca, tak lebih dari lima judul baru yang saya baca, itu pun masih berkutat pada disiplin ilmu yang sudah saya akrabi. Keinginan untuk mempelajari disiplin baru hanya jadi angan kosong saja. Alih-alih bertambah wacana di Jogja, saya kok malah merasa semakin tumpul saja.
Masalahnya adalah, saya tak lagi punya kemampuan untuk menyalahkan sesuatu di luar diri saya. Termasuk beberapa malapetaka kecil yang beruntun menyambangi dalam bulan ini. Semenjak Jlitheng (nama mocin yang saya kendarai dua bulan terakhir) terjatuh dan cidera dalam sebuah kecelakaan ringan, rasanya ia semakin ringkih saja. Spekulasi bahwa kondisinya tak akan terlalu buruk jika perbaikan harus ditunda ternyata luput. Miris rasanya mendengar suara gemerisik setiap kali ia saya pacu. Duh! Yang saya bisa cuma bergumam dalam hati dan berharap Jlitheng paham bahwa kondisi si empunya memang lagi mepet, belum bisa mengantarnya ke dokter.
Kejadian berikutnya saat TravelMate kesayangan saya mendadak tewas. Berhari-hari ia tergeletak di sudut kamar sebelum semalam saya memberanikan diri untuk membawanya ke seorang kawan untuk diperiksa apa yang bikin laptop itu mati. Dari analisa ringan, diperkirakan kerusakannya tak terlalu parah. Tapi tetap saja bikin gelisah. Betapa tidak, jika benar analisa awal kawan saya tadi, gaji sebulan bisa menguap dalam sekali transaksi. Huh!
Inginnya sih tenang-tenang saja, setenang saya menjawab pertanyaan-pertanyaan filsafati yang ditanyakan Imam ke saya beberapa hari terakhir. Nyatanya, kita; manusia-manusia modern yang sudah terlanjur nyaman hidup di tengah pusaran arus konsumerisme ini, cenderung gelisah saat mulai memikirkan rekening dan segala kebutuhan yang harus digenapi. Dan itu pula yang saya rasakan belakangan ini. Duh!
Semoga saya masih hidup sampai Lebaran nanti, bisa berkumpul bersama keluarga di Solo. Semoga pula momentum itu bisa mengisi ulang semangat hidup yang belakangan ini semakin bangkrut saja. Sebab saya percaya masih banyak yang harus saya selesaikan agar titik-titik kecil di peta itu bisa terhubung satu sama lain sebelum saya sampai di sana, di kota dengan inisial P itu.
p.s
Saya mau terima kasih untuk mereka yang mewarnai kehidupan saya di kota ini. Kepada Bulik Ipung sekeluarga yang bermurah hati memberi tempat bernaung, kepada keluarga Miva (khususnya mas Heri dan mbak Feppy, serta Irus) yang membuat aktifitas rutin menjadi hal yang menyenangkan bagi saya, kepada penghuni Ningratri; untuk kopi yang nikmat dan obrolan malam yang hangat. Untuk Imam, yang sering menemani saya menangis dan tertawa dalam banyak kesempatan. Juga kamu P, untuk kesediaanmu menjadi penunjuk arah saat aku mulai tersesat, menjadi pengingat saat aku mulai lupa pada peta.
No comments:
Post a Comment