Tahun lalu, kita (ya, aku dan kamu saja, berdua) duduk di pinggiran Suq Sayarah. 17 Agustus dini hari, langit masih gelap suasana sudah senyap, lirih-lirih menyanyikan Indonesia Raya. Masih melekat ingatan akan matamu yang berkaca-kaca. Juga aku, yang tak sanggup menahan bulir-bulir air itu.
Tahun lalu, kita (iya, hanya aku dan kamu saja kawan) berbincang dengan kesedihan yang akut. Tentang identitas, tentang sekat-sekat primordial, tentang segala hal yang kita kutuk dengan penuh kesumat, segala yang membuat kita sungkan (atau enggan?) mengaku dengan bangga; aku Indonesia.
Lalu, betapa sesaknya dada kita ketika mengakhiri pertemuan dengan sebuah tanya: "Kapan baju-baju itu kita tanggalkan?"
Dan kemarin, 17 Agustus tahun ini, tak sanggup aku menahan haru saat menyanyikan Indonesia Raya, bukan berdua saja, melainkan bersama ratusan kawan. Dan mereka, dengan kerelaan melepaskan sekat-sekat usang, bersama-sama mengucapkan ikrar untuk bersama-sama membangun masa depan Masisir yang lebih baik.
Maka, kawanku yang baik, terulang lagi haru yang sama saat melihatmu kemarin, memegang megaphone berteriak serak bersajak: "Indonesia dibangun atas nama kerelaan."
Karena itu kawanku, jangan pernah takut untuk bermimpi. Seperti birokrat busuk yang menatap aksi kita dengan wajah pucat, seperti kawan-kawan yang tergeragap bangun melihat deras arus sejarah, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bermimpilah kawan, seperti kau bilang kemarin di atas hijau rumput Kedutaan: masih ada terang, selagi hari belum petang.
1 comment:
Cukup Menggugah Nak, Tulisanmu...
sama sepertimu, haru pun menyelimutiku hingga ku tak mampu berkata2 apapun kala itu, hanya duka yang menyelimuti MERDEKA...
Post a Comment