Belakangan ini saya memang begitu. Sedikit moody kata saya, malas-malasan kata banyak orang. Rasanya, tak terlalu berdosa jika saya berhenti melakukan sesuatu. Hanya diam saja tak mengerjakan apa-apa. Dan kini, menyesal rasanya membiarkan penyakit tumbuh semakin akut dan akut menggerogoti diri. Sebabnya sederhana saja, bumi selalu berotasi bahkan ketika seluruh penghuninya memilih untuk tak bergerak. Lha, itu seluruh penghuni. Sementara apalah seorang Nanang yang hanya satu dari sekian banyak manusia yang hidup di muka bumi?
Dan saat saya mulai membuka mata melihat dunia, ada keterkejutan melihat banyaknya perubahan. Semacam keterkejutan budaya, ketika nilai-nilai yang dulu kukuh diyakini mulai luruh tergerus arus sejarah. Apa saya bilang? Arus sejarah? Iya. Memang begitu. Salah satunya saya tandai ketika semakin banyak wajah-wajah baru berlalu-lalang. Menjadi masalah tersendiri ketika mereka menyapa dengan ramah, sementara di kepala saya ada tanda besar, "Anda siapa ya?"
Dari dulu saya memang begitu. Cenderung introvert, lebih-lebih untuk urusan menjalin silaturahmi dengan orang-orang baru. Masalahnya, beberapa aktifitas yang saya lakukan setahun belakangan membuat tampang saya familier. Rasanya aneh, berpapasan dengan orang-orang yang menyapa dengan ramah di saat saya harus berfikir keras kapan dan di mana ketemu. Masih untung jika yang bersangkutan sudi berpanjang kalam sehingga bisa menaksir darimana dia "kenal" saya. Sayangnya, kebanyakan hanya berbasa-basi sebelum akhirnya melanjutkan aktifitas masing-masing. Sungguh, ngganjel sekali buat saya kalau harus diganggu penasaran.
Lalu bagaimana dengan kawan-kawan lama? Rasanya tak jauh berbeda. Seringkali ketinggalan kabar. Si A sudah pulang. Si B menikah kemarin. Si C bikin polemik di milis Kairo.
Begitulah. Toh sekarang saya mulai menyadari, terlalu berdamai dengan diri sendiri justru kurang baik. Ibarat kata, senjata makan tuan. Bolehlah saya merasa sudah menemukan kembali identitas saya, bolehlah saya merasa cukup setelah berlelah-lelah menyembuhkan diri, tapi sungguh terlalu mahal jika harus dibayar dengan putus silaturahmi. Karenanya, saya minta maaf kepada siapapun yang merasa hak-haknya terganggu karena ketakmampuan saya menunaikan kewajiban. Memang kondisi saya tak benar-benar lebih baik ketimbang kemarin dulu, namun setidaknya sudah ada greget untuk kembali melakukan sesuatu yang lebih baik.
Oia, tentu saja saya akan terus menulis, terus bepergian, untuk menangkap semua pengalaman yang bisa dicecap, merasakan emosi yang bisa diresap.
Tabik.
No comments:
Post a Comment