Tak perlu bertanya mengapa saya memakai judul di atas. Yang pasti saya tak ingin menjadi katak berotak besar dalam tempurung kecil. Apalagi menjadi katak berotak kecil dalam tempurung kecil.
Apa? Jangan tanya bagaimana? Temukan sendiri bagaimana membebaskan diri dari tempurung. Kalau saya tahu, buat apa saya harus tertohok ketika menemukan komik itu.
p.s gambar diambil dengan setia dari maduracun. Thanks ya bro!
Thursday, September 14, 2006
Friday, September 1, 2006
Omong Kosong (1)
Betulkan apa yang diomongkan orang Inggris? There is nothing new under the sun. Selama matahari masih terbit dari timur dan tenggelam di barat, tetap saja dunia hanya akan berisi hal-hal yang sama. Bukan berarti sama persis, tapi kok rasa-rasanya tak ada perkembangan yang cukup signifikan untuk didiskusikan.
Tempo hari ada yang bertanya kepadaku, "Mas, menurut anda pemikiran (Islam-pen) liberal itu bagaimana?" Tentu saja saya menjawab itu dengan pertanyaan susulan, "Memang menurut anda definisi liberal itu apa?"
Nah lho! Yang bertanya tadi malah bingung sendiri. Akhirnya dengan panjang lebar ia menguraikan definisi liberal yang memang nggladrah kemana-mana. Saya jelas hanya bisa manggut-manggut sembari tersenyum. Lantas kawanku tadi mengeluh soal ketidak-konsistenan dalam mengambil sebuah sikap. Kataku, "Ya mungkin saja mas. Toh setiap orang akan berkembang. Jika sudah merasa cukup dan berhenti berarti sudah saatnya dia mati."
"Lalu pendapat anda tentang Islam liberal tadi bagaimana?"
Aku ingat sebuah ucapan yang (seingatku) dinisbatkan kepada Edward Said. Katanya, memberi definisi adalah bentuk imperialisme.
"Gini aja deh mas, saya akan berdiri di titik aman saja." jawabku.
"Kok curang begitu?"
"Ya engga curang dong. Soalnya saya memang belum cukup mumpuni untuk memutuskan berada di barisan mana."
"Kalo memang harus memilih??"
"Lho? Siapa yang mengharuskan? Perintahnya kan 'udhulu fi as-silmi kaffah'. Siapa juga yang mengharuskan saya memakai label tambahan?"
"He..he.. bener juga ya mas. Kenapa juga kita harus pake label-label?"
Lalu kawanku bertutur tentang paradoks yang sering terjadi saat ini. Di saat kelompok Islam liberal-progresif mengolok-olok kelompok radikal-fundamentalis, tanpa disadari mereka juga menjadi sama ekstremnya dengan yang diolok-olok. Nah, berarti keduanya sama-sama berdiri di kutub keras kepala. Berikutnya tentang perlunya pondasi keilmuan yang mapan. Menurutnya tanpa itu seseorang hanya akan terombang-ambing kesana-kemari tanpa punya identitas yang jelas. Tentang itu, saya jelas sepakat. Orang yang bisa bersentuhan dengan realitas dan bisa melihat secara utuh yang punya otoritas untuk berpendapat. Ups! Saya kok jadi sok tahu ya? Entahlah. Semoga tak menjadi katak berotak besar dalam tempurung yang kecil.
"Kalo soal Perda syari'ah gimana mas?"
"Wah, sebenarnya ga terlalu intens mengkaji masalah itu. Seharusnya sampeyan yang intens studi di fakultas Syari'ah yang memberi masukan untuk saya." jawabku.
"Kalo lempar-lemparan begitu yang kena anak Syari'ah Qanun dong?"
Kami tertawa ngakak. Tentu saja menertawakan diri sendiri atas ketidakberdayaan dalam mengkaji masalah-masalah yang dekat dengan realitas.
"Kalo saya nggak setuju mas. Soalnya Indonesia itu kan macem-macem. Yang namanya nation-state itu kan udah bentukan final."
"Om, sampeyan tadi nanya perda lho! Bukan negara syari'at." ucapku mengingatkan.
"Maksud saya begitu, toh kalo memang daerahnya mayoritas Muslim saja juga masih warna-warni kan? Nanti yang dipakai madzhab apa coba?"
"Masalahnya bukan pada syari'ahnya solih li kulli makan wa zaman (aplicable di semua ruang dan waktu-pen), lagi-lagi ini soal label."
"Kok bisa gitu?"
"Sebab harus dibedakan antara syari'ah dan fiqh. Beda lho, ibaratnya syari'ah itu jiwa dan fiqh itu raga. Benar bahwa muaranya satu; Islam itu sendiri. Tapi syari'ah merupakan teks-teks yang mencakup wilayah teologi, yurisprudensi, serta etika."
"Kalo fiqh?"
"Fiqh ya cenderung berbentuk diktum-diktum terperinci dari nash Al-Qur'an maupun Sunnah. Ia lahir melalui nalar dan tak bisa lepas dari pengaruh sosio-kultur dimana ia lahir."
"Termasuk pengaruh antropologis-geografis?"
"Pasti. Kan jelas sekali contohnya. Misalnya kenapa kok Ibnu Hazm memilih menjadi seorang Zahirian yang tekstualis-skripturalis? Sebabnya ulama-ulama di Andalusia saat itu cenderung menarik-narik nash kemana-mana mentang-mentang ada Qiyas. Mungkin Ibnu Hazm jengkel terus mencak-mencak, "Udah deh! daripada dibawa kemana-mana mendingan kita baca apa adanya saja." Kira-kira begitu," tuturku.
"Jadi kesimpulannya bagaimana mas?"
"Waduh, sampeyan tanya sendiri aja sama anak-anak SQ. Udah dibilang ga begitu paham masalah itu. Kapan-kapan saja ngobrolnya dilanjutkan."
Tempo hari ada yang bertanya kepadaku, "Mas, menurut anda pemikiran (Islam-pen) liberal itu bagaimana?" Tentu saja saya menjawab itu dengan pertanyaan susulan, "Memang menurut anda definisi liberal itu apa?"
Nah lho! Yang bertanya tadi malah bingung sendiri. Akhirnya dengan panjang lebar ia menguraikan definisi liberal yang memang nggladrah kemana-mana. Saya jelas hanya bisa manggut-manggut sembari tersenyum. Lantas kawanku tadi mengeluh soal ketidak-konsistenan dalam mengambil sebuah sikap. Kataku, "Ya mungkin saja mas. Toh setiap orang akan berkembang. Jika sudah merasa cukup dan berhenti berarti sudah saatnya dia mati."
"Lalu pendapat anda tentang Islam liberal tadi bagaimana?"
Aku ingat sebuah ucapan yang (seingatku) dinisbatkan kepada Edward Said. Katanya, memberi definisi adalah bentuk imperialisme.
"Gini aja deh mas, saya akan berdiri di titik aman saja." jawabku.
"Kok curang begitu?"
"Ya engga curang dong. Soalnya saya memang belum cukup mumpuni untuk memutuskan berada di barisan mana."
"Kalo memang harus memilih??"
"Lho? Siapa yang mengharuskan? Perintahnya kan 'udhulu fi as-silmi kaffah'. Siapa juga yang mengharuskan saya memakai label tambahan?"
"He..he.. bener juga ya mas. Kenapa juga kita harus pake label-label?"
Lalu kawanku bertutur tentang paradoks yang sering terjadi saat ini. Di saat kelompok Islam liberal-progresif mengolok-olok kelompok radikal-fundamentalis, tanpa disadari mereka juga menjadi sama ekstremnya dengan yang diolok-olok. Nah, berarti keduanya sama-sama berdiri di kutub keras kepala. Berikutnya tentang perlunya pondasi keilmuan yang mapan. Menurutnya tanpa itu seseorang hanya akan terombang-ambing kesana-kemari tanpa punya identitas yang jelas. Tentang itu, saya jelas sepakat. Orang yang bisa bersentuhan dengan realitas dan bisa melihat secara utuh yang punya otoritas untuk berpendapat. Ups! Saya kok jadi sok tahu ya? Entahlah. Semoga tak menjadi katak berotak besar dalam tempurung yang kecil.
"Kalo soal Perda syari'ah gimana mas?"
"Wah, sebenarnya ga terlalu intens mengkaji masalah itu. Seharusnya sampeyan yang intens studi di fakultas Syari'ah yang memberi masukan untuk saya." jawabku.
"Kalo lempar-lemparan begitu yang kena anak Syari'ah Qanun dong?"
Kami tertawa ngakak. Tentu saja menertawakan diri sendiri atas ketidakberdayaan dalam mengkaji masalah-masalah yang dekat dengan realitas.
"Kalo saya nggak setuju mas. Soalnya Indonesia itu kan macem-macem. Yang namanya nation-state itu kan udah bentukan final."
"Om, sampeyan tadi nanya perda lho! Bukan negara syari'at." ucapku mengingatkan.
"Maksud saya begitu, toh kalo memang daerahnya mayoritas Muslim saja juga masih warna-warni kan? Nanti yang dipakai madzhab apa coba?"
"Masalahnya bukan pada syari'ahnya solih li kulli makan wa zaman (aplicable di semua ruang dan waktu-pen), lagi-lagi ini soal label."
"Kok bisa gitu?"
"Sebab harus dibedakan antara syari'ah dan fiqh. Beda lho, ibaratnya syari'ah itu jiwa dan fiqh itu raga. Benar bahwa muaranya satu; Islam itu sendiri. Tapi syari'ah merupakan teks-teks yang mencakup wilayah teologi, yurisprudensi, serta etika."
"Kalo fiqh?"
"Fiqh ya cenderung berbentuk diktum-diktum terperinci dari nash Al-Qur'an maupun Sunnah. Ia lahir melalui nalar dan tak bisa lepas dari pengaruh sosio-kultur dimana ia lahir."
"Termasuk pengaruh antropologis-geografis?"
"Pasti. Kan jelas sekali contohnya. Misalnya kenapa kok Ibnu Hazm memilih menjadi seorang Zahirian yang tekstualis-skripturalis? Sebabnya ulama-ulama di Andalusia saat itu cenderung menarik-narik nash kemana-mana mentang-mentang ada Qiyas. Mungkin Ibnu Hazm jengkel terus mencak-mencak, "Udah deh! daripada dibawa kemana-mana mendingan kita baca apa adanya saja." Kira-kira begitu," tuturku.
"Jadi kesimpulannya bagaimana mas?"
"Waduh, sampeyan tanya sendiri aja sama anak-anak SQ. Udah dibilang ga begitu paham masalah itu. Kapan-kapan saja ngobrolnya dilanjutkan."
Subscribe to:
Posts (Atom)