Pada sebuah titik kita singgah, sekedar menghirup nafas sebelum benar-benar terhempas. Di balik tabir ada tanya mengalir. Menciptakan sebuah ruang dengan labirin tak berujung. Begitu misteri, begitu puisi. Barangkali senandika itulah yang menuliskan sebuah cerita tentang duka. "Aku mencintaimu, sungguh."
"Maaf, aku tak bisa melakukan hal yang sama."
"Mengapa? Apakah aku terlalu hina di matamu yang agung itu?"
"Aku tak bisa mencintaimu, sungguh."
"Tapi mengapa? Begitu beratkah untuk memberi sebuah alasan?"
"Entahlah, ini tentang enggan yang sedang menginap dalam ingatan."
"Mengapa tak kau usir saja enggan itu? Agar aku bisa merebahkan diri dalam ruangmu?"
"Sudah kubilang tidak!! Mengapa terus saja kau menggangguku?!"
"Karena aku mencintaimu, sungguh..."
"Sudahlah. Bukankah hidup tak cukup dijawab dengan sebuah alasan. Aku tak bisa menjadi yang kau ingini."
"Setidaknya kau sudi, meski bukan untukku. Lakukanlah untuk anak-anak yang lahir dari sekian masa perjumpaan kita."
"Tidak!! Biarkan puisimu besar tanpa ibu. Biar mereka tumbuh sendiri. Seumpama Karna yang tumbuh dewasa tanpa kasih ibunya."
"Tapi Karna seorang penjahat? Kau mau anak-anak kita menjadi dia?"
"Kau ini picik sekali. Justru Karna seorang pahlawan. Ia anak yang terbuang yang membayar hutang. Ia mencintai saudaranya, namun ia memilih mereka yang membesarkannya."
"Dan berujung kepada kematian?"
"Bukankah setiap tujuan ada pemberhentian. Toh itu hanya masalah cara saja. Dan kau harus catat ini, bahwa selalu ada harga yang harus dibayar. Lebih-lebih untuk bisa merdeka dalam memilih."