Friday, May 30, 2008

Tentang Ingatan dan Keterlupaan[1]

Sebagian kenangan ada baiknya terlupakan begitu saja. Seperti nomor telepon mantan pacar atau alasan mengapa engkau dahulu berkencan dengannya. Dan jika melupakan bisa menjadi sebuah anugrah, mengapa pula kita lebih kerap menganggapnya sebagai bencana?

Kebanyakan dari kita cenderung terpaku pada apa yang lowong (absent)[2] dalam hidup ketimbang apa yang saat ini kita genggam. Kita bisa mengingat jelas kapan kekasih/anak/teman kos kita lupa membersihkan sampah ketimbang ribuan kali mereka selalu mencuci piring seusai makan. Batin kita tersiksa saat berpikir tentang tagihan yang lupa terbayar ketimbang bersyukur atas kewajiban-kewajiban yang berhasil ditunaikan. Dan nyatanya terlalu banyak orang yang berharap memiliki daya ingat lebih baik, meski memang ada satu dua orang yang saya kenal berkeinginan agar memorinya lebih buruk.

Alasan mengapa satu dua orang tadi ingin dihinggapi lupa hanyalah karena, terkadang, lupa itu membebaskan. Saat ia berupaya memanggil ulang ingatan tentang momen buruk dan ternyata yang muncul hanyalah lembar kosong, saat itulah ia merasakan manisnya keterlupaan. Maka berterima kasihlah kepada lupa: ia menghapuskan sampah memori yang mungkin akan meracuni pikiran dan memungkinkan seseorang untuk tetap fokus pada masa kini dan masa depan. Benar bahwa apa yang kita lakukan saat ini suatu hari kelak pun akan terlupakan. Lantas apakah itu membuat sesuatu yang terlupakan menjadi sia-sia? Kebanyakan orang yang saya temui bilang begitu. Apa yang terlupakan hanya berbeda tipis dengan apa yang tak terjadi. Namun toh saya cenderung melihat sisi baiknya: melupakan adalah bentuk pembebasan diri dari masa lalu.

Mungkin kebebasan semacam ini yang kerapkali ditakutkan kebanyakan orang. Mereka mungkin akan memaksa saya untuk menghabiskan waktu bersama para penderita amnesia atau bahkan pengidap Alzheimer[3] sekedar untuk mengingatkan bahwa kehilangan ingatan sama dengan kehilangan identitas. Berbarengan dengan hilangnya ingatan, hilang pula kemampuan untuk menapaki masa depan demi mewujudkan tujuan hidup. Untuk alasan ini, tampaknya kita lebih senang untuk terus-menerus bersandar pada ingatan, menikmati apa yang terekam di sana, dan terkadang gagal menghargai, bahwa bagi beberapa orang, keterlupaan adalah sebuah anugrah.

***

[1] Untuk Mac, maju saja terus dan jangan terlalu kerap menoleh ke belakang. Untuk Jelek,
sometime forgetting can be a blessing. Trust me. Dan kamu Zee, semua akan baik-baik saja.

[2] Menurut saya ada perbedaan antara kosong dan lowong. Yang pertama menandakan sebuah kehampaan. Seumpama ruang, ia memang tak berisi apapun, benar-benar tak ada sesuatu di sana. Sementara lowong mengindikasikan bahwa pernah ada sesuatu di sana namun sesuatu itu tak lagi hadir
(absent). Sejak menyadari soal ini, saya kerap tersenyum geli membaca rubrik lowongan di koran-koran. Menurut Anda, kegelian saya cukup beralasan bukan?

[3] Alzheimer adalah nama keren dari kepikunan. Silahkan baca di Wiki soal penyakit tak menular itu.