Monday, August 20, 2007

Anti Kekerasan

Sebab kami percaya, bahwa anti kekerasan bukan sekedar sikap pasif, melainkan suatu cara bersikap dan bertindak dengan tujuan untuk mengatasi konflik, berjuang melawan ketidakadilan, dan membangun perdamaian abadi.

www.antikekerasan.org

Agustus: Tahun Lalu dan Kini

Tahun lalu, kita (ya, aku dan kamu saja, berdua) duduk di pinggiran Suq Sayarah. 17 Agustus dini hari, langit masih gelap suasana sudah senyap, lirih-lirih menyanyikan Indonesia Raya. Masih melekat ingatan akan matamu yang berkaca-kaca. Juga aku, yang tak sanggup menahan bulir-bulir air itu.

Tahun lalu, kita (iya, hanya aku dan kamu saja kawan) berbincang dengan kesedihan yang akut. Tentang identitas, tentang sekat-sekat primordial, tentang segala hal yang kita kutuk dengan penuh kesumat, segala yang membuat kita sungkan (atau enggan?) mengaku dengan bangga; aku Indonesia.

Lalu, betapa sesaknya dada kita ketika mengakhiri pertemuan dengan sebuah tanya: "Kapan baju-baju itu kita tanggalkan?"

Dan kemarin, 17 Agustus tahun ini, tak sanggup aku menahan haru saat menyanyikan Indonesia Raya, bukan berdua saja, melainkan bersama ratusan kawan. Dan mereka, dengan kerelaan melepaskan sekat-sekat usang, bersama-sama mengucapkan ikrar untuk bersama-sama membangun masa depan Masisir yang lebih baik.

Maka, kawanku yang baik, terulang lagi haru yang sama saat melihatmu kemarin, memegang megaphone berteriak serak bersajak: "Indonesia dibangun atas nama kerelaan."

Karena itu kawanku, jangan pernah takut untuk bermimpi. Seperti birokrat busuk yang menatap aksi kita dengan wajah pucat, seperti kawan-kawan yang tergeragap bangun melihat deras arus sejarah, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bermimpilah kawan, seperti kau bilang kemarin di atas hijau rumput Kedutaan: masih ada terang, selagi hari belum petang.

Sunday, August 19, 2007

300 dan Dua Kawan Amerika

Belum lama ini saya dolan ke kuliah. Pertama, saya harus memeriksa apakah hasil ujian tahun ini sudah turun. Kedua, saya hendak melihat-lihat barang di Khan Khalily. Barangkali ada sesuatu yang cukup menarik untuk dihadiahkan kepada kekasih saya.

Selepas sholat Maghrib di masjid Hussein, terpikir untuk singgah sejenak ke kedai kopi el-Fishawy. Itu lho, kedai kopi di bilangan Hussein yang menjadi salah satu tempat nongkrong almarhum Naguib Mahfouz. Seperti lazimnya, saya sendirian saja. Memesan teh dan apple shisa, duduk-duduk sembari membaca buku.

Dan mereka datang. Bertanya dengan ramah apakah mereka boleh bergabung di meja yang sama. Kubilang silahkan. Maka mengalirlah kata-kata, membanjir keluar di antara harum asap shisa.

Percayalah, bahasa Inggris-ku sangat pas-pasan. Aku tak tahu bagaimana malam itu kami tiba-tiba saja membincangkan 300, film adaptasi dari novel karya Frank Miller itu.

Edward, kenalan baru itu, berbicara tentang betapa dahsyatnya 300. Dari cerita, aspek visual, pokoknya semua hal yang cukup dijelaskan dalam satu kalimat: "Mas Nanang, Hollywood itu dahsyat."

Lalu sampailah, momentum yang bikin suasana mulai memanas. Kata saya, "Kalo kamu konsisten, kamu ga akan mengutuk gerakan perlawanan di Iraq, Palestina, juga di negara-negara lain."

Dia sedikit bingung, "Maksud kamu apa?"

"Let see, di matamu Leonidas dan pengikutnya adalah pahlawan. Mereka rela berkorban demi negara yang sedang terusik harga dirinya. Lalu, bagaimana dengan orang-orang di Irak dan Palestina? Bukankah mereka melakukan hal yang sama dengan Leonidas." ujarku.

Dia diam. Matanya menatap tajam penuh selidik. Saya mulai nyerocos lagi.

"Buatku, sejarah manusia hanya berisi pengulangan-pengulangan. Dulu Leonidas dan pasukannya melawan Xerxes. Sekarang siapakah yang memainkan peran sebagai Xerxes? Siapa pula yang menjadi Leonidas?"

Serangan itu membikin Edward terdiam. Lalu Emily, perempuan berambut brunette dan bola mata yang sangat indah itu, memberikan argumen, "Moussa, tak sepenuhnya begitu. Dalam perang Thermopylae, hanya para prajurit yang terbunuh, bukan rakyat sipil seperti yang kita lihat sekarang."

"Ok. Mari kita berhitung, berapa banyak penduduk sipil Amerika yang terbunuh karena aksi terorisme? Juga, berapa banyak penduduk Irak, Lebanon, juga Palestina yang tewas karena "aksi heroik" Amerika dan sekutunya, Israel?" jawabku sembari menggerakkan-gerakkan jari tengah dan telunjuk bersamaan, semacam penekanan ketika mengucap kata heroic.

Dan saya tahu, membawa persoalan ini ke dalam lingkaran statistika akan melemahkan posisi saya dalam perbincangan tersebut. Terbukti memang, Edward dengan intonasi tinggi menganggap saya aneh (saya lupa, dia menggunakan kata apa. Entah nerd, entah jerk, entah psycho) karena menakar nyawa hanya dengan bilangan-bilangan.Tapi saya baru kehilangan satu bidak, belum skak mati.

"Oh, jadi menurutmu nyawa seorang Amerika itu lebih berharga ketimbang nyawa seseorang dari negara lain?" jawab saya sejurus kemudian.

Berikutnya, sepasang kekasih itu silih berganti memaparkan argumentasi. Ungkapan-ungkapan apologetik untuk meyakinkan saya, bahwa tak semua kebijakan luar negeri Amerika, terutama di bidang pertahanan (baca: militer) lahir dari ego dan ke-semau gue-an Amerika. Juga tentang terorisme, tentang Islam dalam asumsi mereka, juga tentang kapitalisme global.

Dan malam itu, senang sekali rasanya menemukan kawan ngobrol yang begitu asyik. Sampai akhirnya sebuah panggilan masuk, meminta saya untuk segera ke KSW. Terpaksa deh harus undur diri. Saling bertukar alamat surel sebelum kemudian benar-benar pergi.

Di dalam bus yang melaju kencang menuju Nasr City, saya teringat akan Thomas Jefferson, akan Indian, juga Mark Twain. Juga buku-buku tentang Amerika yang pernah saya baca.

Mungkin kelak anak cucu saya akan bertanya; mengapa slogan right or wrong is my country didengungkan dari Amerika. Malam itu, rasanya jawaban sudah saya temukan.