Sunday, December 31, 2006

Vacant

Sepanjang hari aku tak keluar rumah. Tadi pagi bangun terlambat. Keluar dari kamar mandi ternyata sudah iqamat. Masuk kamar untuk sholat Subuh. Jelas-jelas sudah telat sih, tapi bagaimana lagi? Toh sudah sejak kemarin lampu di kamar byar-pet, makanya kumatikan saja. Korelasinya dengan telat sholat subuh? Ya jelas lah. Kamarnya kan masih gelap. Hehe.

Sembari menunggu air panas untuk menyeduh kopi, kunyalakan komputer. Saddam Hussein dieksekusi hari ini. Aku tak bisa menggambarkan perasaanku setelah membaca berita itu. Ya, aku memang berada dalam wilayah abu-abu. Otakku terlalu pas-pasan untuk bisa mencerna ada apa di balik berita tentang Irak. Yang aku tahu Saddam dieksekusi, penduduk Syi'ah bernyanyi menari, lalu beberapa saat kemudian ada bom menyalak menghantarkan puluhan nyawa menyusul Saddam. Tragis.

Konflik. Pelik. Dan selama manusia masih menggunakan kosakata lama; balas dendam, maka akan selalu ada darah tumpah. Lagi dan lagi.

Sementara di perairan Masalembo, Senopati tenggelam. Ratusan penumpang belum diketahui nasibnya. Beberapa selamat memang. Hanya beberapa. Di sini aku jelas tak bisa melakukan apa-apa. Jangankan melakukan sesuatu, menangispun aku tak. Yang pasti, beberapa tahun sebelum aku lahir, di perairan yang sama Tampomas tenggelam. Aku memang belum lahir ketika berita itu ada. Tapi aku pernah mendengar Iwan Fals bernyanyi untuk Tampomas, dan aku belum lupa syair lagunya.

Mungkin nanti akan ada lagu baru lagi, judulnya Senopati.

Berikutnya kabar dari Saudi. Jama'ah haji Indonesia kelaparan karena katering gagal. 24 jam mereka tak menerima ransum. Banyak yang pingsan. Ada pula yang dikabarkan meninggal karena penyakit jantung. Katanya, karena telat obat. Padahal obatnya baru bisa diminum setelah makan. Tak ada ransum tak ada obat. Tragis.

Dan seperti biasa, aku tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk menyalahkan pihak tertentu pun tak. Biarlah jama'ah haji yang bisa menerima "ujian" semacam ini mendapatkan pahala. Biarlah mereka yang "menguji" para jama'ah terbuka hatinya.

Hari ini Idul Adha. Di mana-mana orang berbicara tentang semangat berkorban. Di mana-mana orang bertutur ulang kisah Ibrahim dan Ismail. Di mana-mana orang menyambut hari raya. Dan di sini, aku tak melakukan apa-apa. Di rumah saja. Membaca berita. Mendengar mp3 mengalun dari speaker. Menghirup kopi. Membakar tembakau. Menghajar jantung dan paru-paru. Beberapa jam ini dadaku terasa sesak. Mungkin karena kebanyakan merokok. Bukan karena muak melihat dunia yang semakin bobrok.

nb.
Judul di atas terinspirasi dari ucapan seorang kawan. Dia bilang, "... a word human needs another exact meaning, rather then what it looks today: self-vacant..."
Oia, ada yang hafal Blowing In The Wind-nya Bob Dylan? Nyanyi sama-sama yuk?

Monday, December 25, 2006

Ujian dan Tergadainya Religiusitas

Selepas Maghrib, aku jalan kaki dari sekretariat menuju mahattah Bawwabah III. Saat itu, aku melihat banyak kawan-kawan mahasiswa Indonesia keluar dari masjid Sahabah. Ini bukan bulan Ramadlan. Tak biasanya kawan-kawan sholat berjama'ah di masjid. Hmm, aku masih ingat jelas: saat ini ujian.

Entah mengapa kecenderungan meningkatnya spirit religiusitas selalu tampak pada masa-masa seperti ini. Ketika ujian, mereka yang sebelumnya biasa-biasa saja dalam menjalankan ibadah formal, seketika berubah. Melakukan sholat sunnah, puasa Senin-Kamis, rutin bertahajud, tilawah Al Qur'an, bahkan ziarah makam, menjadi semacam kewajiban dalam hari-hari menjelang ujian.

Tentu fenomena ini layak diberi apresiasi. Dengan ukuran tertentu, peningkatan kuantitas ibadah bisa dijadikan indikator religiusitas seseorang. Yang dipertanyakan adalah niat: semata-mata untukNya atau sebatas untuk kelulusan saja? Silahkan menjawab, aku cuma ingin bertanya.

Kemarin ada kawan yang mengajakku untuk ziarah ke makam Imam Syafi'i di kawasan Sayyidah 'Aisyah. Karena aku masih harus menyelesaikan beberapa materi, kubilang saja aku enggan.

"Lha wong belajar aja juga belum. Kamu berangkat aja sendiri." ujarku.

"Lho? Justru karena belum belajar malah harus banyak-banyak berdoa. Selama ini aku belajarnya juga pas-pasan, tapi kok bisa najah terus? Kayaknya karena sering ziarah deh."

"Iya. Tapi kalo ntar malah dikartu kuning gara-gara cuma nengok pas butuh, gimana?"

Taufik. Istilah ini akrab sekali di telinga kawan-kawan Indonesia di Kairo. Ujian di Al Azhar tak cukup dengan belajar, harus diimbangi dengan doa, biar dapat taufik, begitu katanya. Realitanya tak jauh berbeda. Selalu saja ada kejutan ketika hasil ujian diumumkan. Si A yang belajar pas-pasan bisa naik. Padahal si B yang sudah ngos-ngosan malah gagal. Secara guyon aku bilang, bahwa di Al Azhar, bukan dosen yang mengoreksi, tapi malaikat. Meski banyak yang tertawa, sepertinya --kawan-kawan di sini-- banyak yang sepakat. Ada hal-hal tak terduga --untuk tidak mengatakan irasional-- terjadi.

Tahun lalu, ketika melihat fenomena peningkatan kuantitas ibadah menjelang ujian, aku yang masih biasa-biasa saja dalam beribadah bilang: "Tuhan bukan pedagang. Kalaupun menghendaki sesuatu, tanpa memintapun akan diberi. Memangnya manusia? Yang harus disogok dulu biar urusan lancar?"

Dan ketika hasil ujian diumumkan, batinku betul-betul remuk. Bayangkan saja, sembilan mata kuliah dinyatakan gagal. Unbelieveable. Untuk mata kuliah tertentu memang aku belum menguasai, tapi bilangan sembilan jelas sukar dipercaya. Seharusnya tak sebanyak itu. Dalam kasus semacam ini aku mencoba melakukan rasionalisasi; mungkin memang aku belum bisa mengerjakan soal dengan baik, barangkali tulisanku tak terbaca oleh dosen, barangkali ada kesalahan teknis, barangkali...

Ya. Banyak cara untuk merasionalkan sesuatu yang ganjil. Sebagaimana pula banyak cara untuk membuatnya irasional; toh jawabanku persis dengan buku, toh si A yang tak lebih menguasai materi ketimbang aku bisa lulus, toh tulisan tanganku lumayan bagus, toh...

Tahun ini, aku tak akan berani lagi mengulangi ucapan tentang Tuhan yang bukan pedagang.

(Tiba-tiba ada dialog di kepala)

"Lho Nang? Kok kamu jadi goyah begitu? Itu hal yang prinsipil, aku tahu kamu enggan berkompromi untuk hal-hal prinsip."

"Bukan goyah. Tapi siapa sih yang melarang kita untuk mengubah cara pandang akan sesuatu? Ga usah munafik, siapa sih yang ga pengen naik tingkat?"

"Dengan menggadaikan keimanan untuk hal-hal remeh seperti ujian?"

"Bullshit! Siapa bilang naik tingkat itu hal remeh? Siapa bilang memelas-melas kepada Tuhan untuk diluluskan adalah penggadaian iman?"

"Bukannya kamu?"

"Dulu. Sekarang engga."

"Ayolah Nang, aku tahu itu bukan kamu."

"Ssst! Sudah! Cukup!"

(Dialog selesai)

Dua hari lagi ujian mata kuliah Tarikh Sunnah. Ini termasuk mata kuliah bonus. Kebijakan Fakultas Ushuluddin tahun ini menyatakan bahwa mahasiswa yang tidak naik di tingkat I wajib mengikuti dua mata kuliah tambahan tahun ajaran 2006/2007. Total kopral, aku kena sembilan plus bonus dua: sebelas. Hmm, rasanya ingin misuh-misuh. Tapi nurani mengatakan itu tak baik. Permisi, hendak belajar lagi.

Oia, barang yang sudah tergadai bisa ditebus lagi bukan?

nb.
gadai (n) barang yang diserahkan sebagai tanggungan hutang.
menggadai (vt) menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.
tergadai (vi) sudah digadai.

Sunday, December 24, 2006

Rendezvous (1)

Lebih dari dua minggu aku tinggal di Qatamea. Selama itu pula aku tak menyempatkan diri untuk mampir ke Nasr City, kawasan di mana mahasiswa Indonesia terkonsentrasi. Sebenarnya sudah kuniatkan beberapa hari yang lalu, tapi selalu saja ada hal-hal kecil yang akhirnya membuat rencanaku tertunda. Berhubung cuaca lagi bersahabat dan kondisi fisikku sudah lumayan, maka segera kumulai jalan-jalan ke Nasr City.

Seperti biasanya, aku naik tramco dari mahattah terdekat dari flat yang kutempati. Dari sana turun di Malaf lantas jalan kaki beberapa ratus meter sampai Syabab. Dari Syabab aku langsung nyetop tramco jurusan H 10. Aku tadi berangkat selepas Maghrib. Meskipun udara terasa lebih dingin, tapi aku lebih senang melakukan perjalanan H 10-Qatamea pada sore atau malam hari. Untukku, melihat lampu-lampu jalan dan padang pasir tak berpenghuni pada malam hari jauh lebih menarik. Semacam eksotis.

Sampai di Zahra, tinggal tersisa lima orang dalam kendaraan termasuk sopir dan kumsari. Sebenarnya aku juga bisa turun di sini, tapi malam-malam begini terminal Zahra terlalu sepi. Males. Akhirnya turun di akhir mahattah H 10 dekat Madrasah yang lebih ramai. Oia, rencana aku hendak ketemu Nadhief di Wisma Nusantara. Ada bus 939 jurusan Rab'ah yang datang, tapi aku malah duduk-duduk dulu di bangku halte. Semacam hobi.

Ada alasan kenapa aku senang berlama-lama di halte. Di tempat seperti ini aku bisa melihat lalu-lalang orang-orang. Selalu saja ada kejadian yang menurutku menarik. Seandainya aku memegang kamera, halte adalah salah satu tempat di mana banyak momen human interest. Orang-orang yang berlari mengejar kendaraan, orang-orang yang bertengkar entah karena apa, polisi yang jengkel karena pak sopir nekat ngetem di tempat yang salah. Banyak sekali. Termasuk yang kulihat tadi: ekspresi terkejut gadis cantik berkerudung biru berwajah Melayu karena tramco yang disandarinya melaju. Apalagi melihat gadis itu malu-malu anjing saat tahu aku mengamati tingkahnya. Ha...ha...ha... *aku ga ketawa siy, cuman senyum simpul kok*

Lalu ada bus 65 datang. Yup, saatnya berangkat ke Rab'ah. Dan, puji Tuhan, gadis itu juga naik bus yang sama. Bus yang kami, eh, maksudku kutumpangi, masih kosong. Aku yang naik belakangan (lady's first selalu berlaku untukku) bisa melihat gadis itu duduk di tengah. Puji Tuhan, ia memilih bangku kosong, aku bisa duduk di sampingnya dong!

Tiba-tiba aku teringat screen saver di komputer Masari. Di sana terpampang wajah perempuan cantik berzodiak Gemini. Aku yang masang. Hu...hu... jadi ingat di seberang sana ada seseorang yang menungguku pulang.

Akhirnya aku duduk di bagian depan. Dekat pintu depan. Artinya jelas: aku urung melakukan hal-hal yang diinginkan. (Buat Nad; jangan munafik. Kamu pasti juga menginginkan hal yang sama jika berada dalam kondisi semacam itu)

Kira-kira seperempat jam kemudian kulihat gadis berkerudung biru turun. Lho? Kok bisa-bisanya dia melirikku dan melempar senyum? Itupun saat bus mulai melaju. Lalu aku berucap dalam hati, Memangnya senyumanmu cukup untuk membuatku meminta sopir menghentikan bus tiba-tiba hah? Dan kalaupun itu terjadi, kau pikir aku akan menyusulmu untuk bertanya apakah kamu punya obeng? Itukah yang terbersit dalam pikiranmu? Maaf nona manis, simpan senyummu untuk orang lain. Duh Gusti, selamatkanlah Nanang Musha dari godaan makhluk cute.

Di mahattah berikutnya aku turun. Bergegas ke Wisma. Begitu masuk gerbang segera mencari poster Arus Kampus edisi ujian. Sip. Sudah terpasang rupanya. Dari tanda kecil bertuliskan 'tdk distempel' aku yakin pasti dia pelakunya. (Buat rekan-rekan AK; kok kecil gitu siy? Kalo dibikin A3 kan lebih sip? Eh, engga jadi ding. Udah bagus kok segitu :P)

Habis itu ke warnet. Jemput Nadhief. Wow! Sungguh ajaib menemukan Nadhief Shidqi membaca diktat. Diktat lho! Kalau cuma membaca buku sih biasa. Tapi itu diktat, fotokopian pula. Ha...ha...

Kemudian aku dan Nadhief jalan kaki ke NSGB. Rupanya benar, Tuhan akan menguji hamba-hambaNya yang baik. Sebab itu Nadhief, seorang hamba Tuhan yang baik, hanya tersenyum penuh syukur meski mendapati rekeningnya masih kosong. Bagaimana denganku? Tebak saja deh, kira-kira apa yang terjadi dengan hambaNya yang kurang baik sepertiku.

Setelah itu kami menuju kedai tho'miyah. Dua burger dan dua tho'miyah untuk dua orang. Di sesela makan malam ngobrol tentang banyak hal. Banyak sih; proyek pribadi masing-masing, rencana untuk ambil kursus sebagai antisipasi jika studi tahun ajaran ini jeblok, biaya kuliah di Indonesia, persiapan menjelang ujian, strategi untuk bisa lolos (iya, lolos, bukan lulus) ujian, dsb.

-belumTAMAT-

Sekretariat PCI-NU, 3rd Gate, menjelang subuh.

nb. Tidur siang terlalu panjang dapat menyebabkan susah tidur. Efek samping: terjaga sendirian, feeling lonely, menghajar paru-paru dengan berbatang-batang rokok, menuliskan hal-hal remeh untuk diposting di blog.

Friday, December 22, 2006

Hari Ini *

Ada yang berbeda dalam musim dingin tahun ini. Tak sama dengan tahun sebelumnya. Suhu udaranya, aku rasakan, lebih dingin, dan, karenanya lebih menyiksa.

Ya, orang boleh menganggapku wagu. Tapi, memang begitu kenyataannya. Di Qatamea hampir tak pernah aku merasa nyaman menikmati cuaca.

Maka aku nikmati saja.

Ada satu pertanyaan yang membikinku tertegun: "Dalam semua buku yang memuat kritik Islam yang ditulis oleh seorang muslim sendiri, mereka setuju mengakui bahwa kebudayaan Islam hari ini amat terbelakang dalam segala bidang. Mengapa tak ada perubahan?"

Aku membayangkan jika pertanyaan ini dilontarkan di sebuah kamar di Kampung Sembilan, akan ada diskusi panjang.

(Kuberitahu, aku membayangkan dua sosok lelaki: seorang narsis arogan bertampang culun dan seorang pendengar setia yang hanya ngomong pada akhir kesempatan)

"Ukurannya begini; kita bandingkan apa yang telah dicapai oleh kita pada abad ini, dengan apa yang dicapai oleh yang lain. Jika tidak lebih baik, berarti asumsi adanya keterbelakangan memang benar." ucap pendengar setia yang hanya ngomong pada akhir kesempatan.

(Obrolan masih berlangsung. Lumayan seru)

"Kalau kita tak boleh melukai keyakinan orang lain, mengapa cara penyampaian orang yang mengatakan hal itu justru dengan melukai keyakinan orang Islam?" tanya lelaki narsis arogan bertampang culun.

"Nyatanya dengan kuantitas yang ada, toh juga ga ada perubahan apa-apa. Kalo udah ga punya daya kreasi berarti punah dong? Apa Inggris-e? Extinct?" balas pendengar setia.

"Soal penyampaian tadi lho maksudku. Piye sih?"

"Iya. Kalo disindir engga ngerasa ujung-ujungnya dikirimi offline kan? Langsung kartu merah. Gitu kok bingung lho."

(Dan mereka tertawa)

Kesimpulan sementara hari ini; masih tentang mind-set dan tolak ukur atas sesuatu. Sementara lho. Baru sementara.

Dan saat ketemu Nadhief, aku bercerita, bahwa akhir-akhir ini aku sering nongkrong di belakang kampus, nonton buku.

Namun hari ini aku terlelap, tak jadi ke kampus, bangun dan menemukan kawan lama menyapa. Tak jadi nonton buku (lagi).

Dan kalian tak perlu bertanya kenapa aku tak berangkat ke kampus. Sebab menemukan buku bagus sementara tak punya cukup uang untuk menebus sangatlah menyakitkan. Untukku lho. Untukku.

*) Judul singkat untuk Nonton Buku dan Pertanyaan Hari Ini edisi remix. Versi aslinya di sini

Tuesday, December 19, 2006

Doa

Gusti, jika nanti saya pulang, jangan bikin dia ga mau ketemu saya ya?

p.s: Saat ini banyak mahasiswa Kairo yang berdoa buat dilulusin ujian. Bukannya saya ga pengen. Tapi saya nyadar 'pulsa' saya tinggal dikit. Jadi kalo masih ada sisa, tolong buat nebus yang di atas saja.

Monday, December 18, 2006

Tentang Baygon Cair

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak akan pernah
Selesai mendoakan keselamatanmu.
(Dalam Doaku, Sapardi Djoko Damono)

Salam,
Itu sajak Sapardi punya. Aku meminjamnya untuk kalian baca. Sebentar, jangan potong dulu. Kita tidak sedang berdebat tentang doa siapa yang paling manjur di antara kita bertiga. Sebentar, tunggu aku selesai bercerita.

Begini, kalian perlu tahu bahwa sejak aku mengikrarkan diri untuk sebuah proyek 'kecil' bernama Baygon Cair, aku benar-benar gelisah. Olla tak salah, untungnya aku mengucapkannya diam-diam. Tapi bahkan denting paling sunyi sekalipun akan terdengar oleh mereka yang peka.

Aku akan mulai dari kamu; Nad.

Barangkali sore itu jadi hari paling indah buat kita ya? Untung saja aku bukan gay, sehingga ucapanku selepas kita keluar dari taman kota tak perlu kau rekam dalam-dalam. Iya, aku tahu senja itu tersenyum untuk kita. Tapi kita tak boleh tertawa lama-lama. Bukan. Bukan karena aku 'sibuk sekarang, mencoba sebisa mungkin memahami teks-teks dengan huruf tak jelas' seperti yang engkau duga. Saat ini aku sedang sibuk mengumpulkan bahan agar tahun depan aku tak harus menelan Baygon cair. Ketakutan bahwa engkau tak menulis jika tak ada yang ngoyak-ngoyak jelas tak terbukti. Setidaknya kamu selalu berkabar tentang apa yang kamu kerjakan sekarang. Anggaplah itu pemanasan untuk tahun depan.

Kuberi bocoran ya Nad, sejak kita berpisah kemarin, aku sudah menemukan jurus-jurus milik Hemingway dalam In Our Time juga punya Orwell dalam Animal Farm. Mungkin memang daya serapku pas-pasan. Aku tak bisa menemukan apa yang Olla bilang tentang jarak-ruang dalam cerita. Yang kudapat dari Hemingway hanyalah cara menulis dialog. Untuk orang yang 'belum siap menulis novel' -seperti kata mas Allen- sepertiku, itu akan membantu.

Dari Animal Farm, yang menarik adalah bagaimana seorang penulis menyerap pelajaran dari alam sekitar. Kamu sudah pernah membacanya bukan? Nah, betapa cerdasnya Orwell membagi peran. Coba bayangkan kalau Napoleon itu kucing? Atau mengapa pula Boxer seekor kuda dan bukan yang lain? Cermati itu Nad.

Pertanyaanmu sore itu terjawab; aku mungkin sedang sibuk, tapi sibuk untuk sebisa mungkin memahami teks-teks di layar monitor sebagai pemanasan untuk bekerja tahun depan.

Oia, jangan main NFS terus. Setelah monumenmu jadi baru boleh berbuat apa saja.

Untuk Olla,

Bung, saya minta maaf untuk inkonsistensi selama ini. Setelah rencana enam bulan kemarin gagal, terbukti bahwa saya yang paling tidak melakukan apa-apa. Dan saya ingin menebus kesalahan itu. Sudah terlalu lama kita berbual tentang idealisme dan segala hal yang hanya semakin membuat kita kesakitan. Persoalannya jelas, bahwa saya belum memulai. Karenanya saya berharap tiga bulan ke depan cukup untuk menebus hutang-hutang sosial, agar nanti bisa berkonsentrasi menggarap proyek pribadi.

Sungguh, saya berterimakasih telah diberikan rumah untuk belajar. Dari sana kita bisa memompa semangat untuk tetap bergerak dan bergerak. Oia, saya belum sempat ngomong tempo hari; jika nanti anda menemukan 'anak' saya jauh dari apa yang pernah kita diskusikan, semoga anda memaafkan. Entah kenapa saya memilih untuk membuang standar kelayakan yang sudah terpatri selama ini. Maka maaf, jika pengkhianatan kreatif yang saya lakukan nanti membuat anda kehilangan jejak. Barangkali, hanya dengan dekonstruksi paling ekstrim saya bisa terlahir kembali.

Oh, salam hangat saya untuk Budi. Bilang untuk jangan terlalu sering 'menangis' di depan umum.

Demikian kawan. Semoga yang kutulis cukup pantas untuk memberi alasan mengapa aku harus mengutip sajak Sapardi di awal tulisan ini. Tentu, selain sama-sama dikutuk untuk mencintai kata-kata, kita sama-sama dibayang-bayangi oleh dua kata; mati muda. Sebelum itu terjadi kawan, segera bekerja sebelum kamu merasa lelah dan menyerah.

Salam,

Nanang Musha

Saturday, December 16, 2006

Kancilen (1)

Betapa menjengkelkannya terbangun pada dini hari karena suara pintu diketuk keras. Aku beranjak dari kamar menuju pintu depan. Sial! Ternyata apartemen depan. Seharusnya aku mengingat dengan baik bahwa mengetuk pintu keras-keras pada dini hari hanya lazim dilakukan oleh orang Mesir. Dengan cara inilah kami bisa membedakan siapa yang berada di muka rumah kita; orang Mesirkah atau sesama Indonesia?

Baiklah. Aku tidak sedang ingin bercerita tentang cara mengetuk pintu yang baik dan benar. Yang jelas aku terbangun pada jam dua dini hari dan harus melakukan sesuatu untuk dikerjakan. Oh, kenapa tak tidur lagi katamu? Aku nokturnal pengidap insomnia dosis rendah. Merebahkan diri hanya akan membuatku setengah tidur dan gelisah.

Aku belum makan. Segera ke dapur dan menemukan masih ada sayur untuk disantap. Aku tahu Husnul yang masak. Karena tadi lagi nonton Alexander karya Oliver Stone di Star Movie, aku enggan mengambil jatah. Iya, sebab di Star Movie tak ada iklan di sela-sela film diputar. Rasanya malas melewatkan beberapa menit meski film itu tak terlalu menarik.

Lalu aku makan. Sayur dan telor goreng menemani semangkuk nasi porsi besar. Sembari makan menyalakan komputer di kamar Masari. Ugh! Seandainya ini bukan hari Sabtu, besar kemungkinan aku bisa menyapa dia sekarang. Makan selesai. Apalagi yang bisa dikerjakan? Oia, aku tadi mulai membuka The Sufi Path of Knowledge-nya William C. Chittick. Versi Indonesia sih, tapi rasanya lumayan enak dibaca. Buku itu membahas tentang hermenuetika Al-Quran menurut Ibn Al-'Araby. Yang bikin buku ini asyik karena Chittick banyak mengulas ajaran Ibn Al-'Araby yang termaktub dalam Futuhat Al-Makkiyah. Bagi mereka yang memiliki kemampuan bahasa Arab pas-pasan [kayak saya :D] karya Chittick lumayan membantu sebagai 'pengantar' sebelum menikmati teks aslinya. Dulu aku langsung klenger ketika melihat dengan mata kepala sendiri (sebelumnya cuma nguping) edisi cetak Futuhat yang puluhan jilid. Isinya sekitar 560 bab dengan pembahasan yang pelik dan bahasa yang njlimet. Wah, bisa-bisa sampai habis usia cuma habis untuk mengkhatamkan Futuhat dong? :P

(Di luar suara anjing-anjing menggonggong. Di sini aku masih belum ngantuk. Dia belum nongol juga. Apa langsung berangkat ke kampus ya?)

Catatan:
1. Kancilen (Jawa) berasal dari kata kancil. Istilah kancilen digunakan untuk menunjukkan sebuah kondisi di mana seseorang terbangun dan susah untuk tidur lagi. Istilah ini saya dapatkan dari seorang kawan sangat baik (jadi maksudmu ada kawan yang sangat tidak baik gitu??)

2. Jo, aku kangen.

Thursday, December 14, 2006

Lelah

When you try your best but you don't succeed
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can't sleep
Stuck in reverse
Fix You (Coldplay)

Sudah lama tak menyimak musik. Tahu kan beda antara mendengar dan menyimak? Ok. Tak perlu didiskusikan lebih lanjut.

Sudah lama tahu kalau Coldplay meliris album X&Y. Baru beberapa hari terakhir berhasil mengumpulkan seluruh lagu di album itu dalam satu folder. Oia, lagu Fix You tadi belum selesai.

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?

Lalu aku benar-benar merasa lelah sekarang. Sakauta menyebut kondisiku dengan akumulasi jengah. Well, seseorang bisa cukup kuat untuk menghadapi satu dua masalah. Tapi bagaimana jika sesuatu yang tak nyaman menyerbumu berbarengan. He..he.. aku jadi ingat kawan baik yang aku berkunjung ke rumahnya tempo hari. Dalam perjalanan pulang -aku hendak pulang dan ia menjemput seseorang- dia bilang bahwa perempuan tak pernah percaya bahwa lelaki punya air mata. Menurutnya, itu karena mata perempuan telah lamur oleh air mata mereka sendiri. Aku tak berkomentar. Tak membantah dan tak juga sepakat.

Hmm, jadi teringat seorang kawan (oh, semoga ia sudi menggunakan kata sakral itu untuk aku) yang lain. Ia kirim offline untuk berkabar bahwa ia sedang 'sakit' sekarang. Duh Gusti, andai ia tahu bahwa aku juga sedang sakit. Aku sadar fakta itu tak terlalu penting untuknya. Biar. Toh aku cenderung untuk merumuskan diri sendiri ketimbang membiarkan variabel di luar aku untuk mengambil keputusan. Aku memang sedang lelah. Sebab itu aku enggan untuk turut mencicipi lukamu saat ini. Maaf.

Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you

High up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you'll never try, you'll never know
Just what you're worth

Seharusnya aku merasa lebih baik. Ada beberapa kemajuan setelah lama bersembunyi. Ya ya, langit masih biru seperti kemarin. Aku ingin menikmatinya. Bersamanya atau sendirian saja? Itu soal lain. Pertanyaannya jelas sekali; mengapa Tuan Jones yang pemabuk itu enggan melepaskan Manor Farm? Rasanya aku tak salah; sebab petani (atau tuan tanah?) tak seperti lazimnya pekerja bisnis sekarang. Tanah bukan koper yang bisa diajak berpindah-pindah. Itu saja.

Ah, sepertinya aku akan merampungkan Animal Farm-nya Orwell malam ini.

Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you