Tuesday, October 31, 2006

Lebaran, Kumpulan Cerpen, dan Pistol Tanpa Peluru

1
Iya. Seminggu lalu lebaran. Tapi aku merasa biasa-biasa saja. Datar. Tanpa greget. Biasanya orang-orang gembira ketika lebaran tiba. Entah karena apa. Mungkin karena hari itu mereka bertemu dengan banyak orang. Mungkin karena hari itu mereka memakai baju baru. Mungkin.

Ada pula yang merasa sedih ketika lebaran tiba. Sebagian karena tak bisa merasakan suasana Idul Fitri yang gemerlap. Sebagian karena merasa kehilangan setelah berpisah dengan Ramadlan. Dengan kelompok yang terakhir ini, aku merasa hormat. Rasanya konyol saja, bulan puasa lewat kok malah senang. Seharusnya sedih. Seharusnya.

Ok, siapa pula yang mengharuskan kita untuk sedih? Sepertinya tidak ada. Sepertinya. Tapi ada kawan yang bilang bahwa malam lebaran adalah lailatul jaizah. Semacam pembagian rapor atau pengumuman hasil ujian. Makanya wajar dong jika ada yang merasa sedih. Boleh jadi mereka merasa gagal memanfaatkan bulan puasa sebagai lumbung amal. Nah, makanya wajar juga dong, jika saya merasa ganjil? Ramadlan lewat kok malah ceria. Seharusnya mereka merasa kehilangan. Seharusnya.

Tiba-tiba ada kawan yang membaca tulisan ini. Dia bilang, emang kamu yakin rapor kamu bagus di bulan puasa ini?

"Kamu ga baca paragraf pertama ya?" jawabku.

Aku merasa biasa-biasa saja. Datar. Tanpa greget.

2
Iya. Sudah hampir tiga minggu aku menggarap kumpulan cerpen. Terus terang, kerja semacam ini selalu membuat aku kelimpungan. Menghubungi penulis, meminta naskah, menyortir mana yang sesuai dan mana yang tidak, menyunting sekaligus mengedit. Belum termasuk disain sampul, ilustrasi, dan menyiapkan pengantar. Sungguh, meski aku tak benar-benar mengerjakan semuanya sendirian, kerja semacam ini sungguh melelahkan. Sungguh melelahkan.

Baiklah. Secara teknis memang tak sulit. Meski begitu, dalam hidup selalu saja ada hal-hal kecil yang membuat laju sesuatu jadi tak linier. Pernahkah kamu berjalan di luar rumah dengan suasana hati yang cerah, ketika kamu merasa seakan-akan seluruh dunia sedang berlagu untukmu, namun tiba-tiba saja kakimu menginjak tahi? Nah, kira-kira semacam itu yang aku rasakan sekarang. Tentu aku merasa gemes, geregetan, sekaligus jengkel. Tapi siapa yang rela dimaki-maki? Rasanya tak ada. Bahkan mereka yang --entah sengaja atau tidak-- buang kotoran di jalan. Pasti mereka --yang buang kotoran sembarangan tadi-- akan bilang begini, "Salah sendiri. Jalan ga pasang mata. Toh yang lain juga ga nginjek tahi kan?"

Lalu aku tersenyum. Rasanya benar. Memang aku yang salah. Rasanya.

Oh, terima kasih untuk Adon dan Muhib yang tidak banyak protes karena komputer di sekretariat sering aku serobot untuk merampungkan tugas. Juga untuk kawan-kawan serumah; Nadhief, Anung, dan Amin untuk pengertian karena aku harus sering keluar rumah, pulang menjelang pagi bahkan tak kembali dua-tiga hari. Terima kasih pula untuk semua orang yang terlibat dalam pengerjaan kumcer, baik yang kooperatif atau tidak, baik yang ikhlas atau terpaksa.

Eh, aku tidak sedang mengeluh lho! Sungguh. Aku tidak sedang mengeluh. Rasanya memang aku sendiri yang salah. Rasanya.

3
Mana yang kamu pilih; sepucuk pistol kosong atau beberapa butir peluru? Apa katamu? Kamu pilih pistol berpeluru penuh? O, itu tidak masuk dalam alternatif pilihan.

Begitulah. Nadhief bilang dia ingin mengisi peluru. Aku tahu, dia belum punya pistol. Tapi aku sependapat dengannya. Beberapa butir peluru lebih berbahaya ketimbang pistol kosong. Maka jika hanya ada dua pilihan, jangan salahkan kami yang memilih untuk mengumpulkan peluru terlebih dahulu. Kamu akan bilang bahwa kami terlalu naif. Silahkan saja. Setiap orang bebas menentukan pilihan bukan?

Kami sangat sadar, di dunia ini banyak orang punya pistol. Tapi kami bukan tak tahu, banyak dari mereka lupa bahwa pistol di genggaman mereka sudah kosong. Bagi yang tak tahu, orang-orang semacam itu akan tampak gagah. Betapa tidak? Lha wong mereka bisa petentang-petenteng bawa senjata kok. Iya. Mereka akan tampak gagah. Bisa menakut-nakuti orang seperti di film-film koboi. Tapi aku tidak takut, pistol kosong tak akan membuatku mati. Paling-paling bikin pingsan jika dihantamkan ke tengkuk, seperti di film-film mafia.

"Emang kamu yakin pistol mereka kosong?" tanya kawan yang menemaniku menulis catatan ini.

"Yakin. Yakin sekali."

"Kok bisa?" tanya dia lagi.

"Ini." jawabku sembari merogoh kantong jaket yang penuh dengan peluru.

Ok. Aku ulangi lagi. Mana yang kamu pilih: sepucuk pistol kosong atau beberapa butir peluru?

Kampung Sembilan, 30 Agustus 2006.