Saturday, May 27, 2006

Bung, Apa Yang Kita Lawan?

(Semacam sesaji untukmu yang gelisah dibalut mimpi)

Bung, kita tahu ruang dimana kita hidup tak memberi waktu bagi mimpi untuk berinkubasi. Mimpi bagi mereka hanyalah ledakan perasaan yang gagal diwujudkan. Kita tahu itu, seperti kita tahu bahwa mimpi adalah entitas nirwujud. Ia ada dalam tiada. seperti Tuhan, yang sampai detik ini hanya bisa dinikmati para Nabi dan sufi. Sisanya, makhluk-makhluk nista seperti kita hanya bisa membayangkan dalam alam ide saja.

Bung, kita tentu sudah mencatat kata Walt Disney, jika kau bisa memimpikannya, kau bisa melakukannya. Tanpa harus mendaftar sebagai anggota Disney Club yang mendunia itu, kita sadar ada kemungkinan mewujudkan angan jadi kenyataan. Karena kita seperti Matthew dalam The Age of Reason milik Sartre yang dikutuk menjadi manusia bebas, bebas untuk berbuat apa saja, semaunya. Meski ada yang harga harus dibayar, kesendirian yang mencekam. Mungkin memang tak segagah Soe Hok Gie yang berani berproklamasi: unable to live in peace and always be gelisah. Tapi kita (ya, aku, kamu dan juga mereka) merasakan pahit yang sama. Semacam ketidak nyamanan yang senantiasa menghantui perjalanan.

Maaf jika baru belakangan ini terpikir, bahwa selama ini aku hanya tenggelam saja dalam lautan kata. Dan kemarin, aku terjaga. Meski baru bisa berenang dan perlu banyak waktu untuk bisa menyelam, pertemuan denganmu memberi aku tenaga baru untuk mengukuhkan diri jadi manusia sebenar, bukan sekedar.

Jalan memang masih panjang. Menghibahkan diri dalam rimba sastra hampir sama dengan bertaruh nyawa. Tapi aku (semoga kau juga) masih percaya apa yang Sartre catat dalam The Purpose of Writing, jika sastra bukan segalanya maka ia bukan apa-apa. Aku tahu, masih jauh untukku bisa menghasilkan karya dimana setiap baris kalimatnya mampu menitipkan getar di setiap tataran masyarakat. Hanya saja aku merasa terlalu dini untuk memvonis diri dengan kata kalah.

Kita seperti anak-anak sekolah di puisi Joko Pinurbo yang berhamburan ke dalam rimba sambil bersorak-sorak: "Rusa jantan berlari masuk ke hutan." Sepeninggal waktu sorak-sorai hilang tak berbekas. Masing-masing menjadi kembara sunyi yang menikmati sendiri. Senja datang lalu kita pulang. Dengan wajah belepotan tanah dan kaki-kaki berdarah dicumbui duri. Perih. Tapi puas. Semacam orgasme.

Bung, kita memang tidak sedang onani. Namun seketika seseorang datang dan menampar kesadaran kita dengan berkata, rimba itu hanya ada dalam ruang ide kita. Kita terluka oleh duri yang kita ciptakan sendiri. Kita berkubang dalam lumpur imajinasi. Kita memang bukan Don Quixote yang hidup untuk mengejar ilusi. Walau benar, di masa pasca-modern ini manusia telah kehilangan kepekaan untuk membedakan kedalaman dan permukaan. Sebab kita, sebagaimana yang dicatat oleh Milan Kundera, telah terjebak dalam imagologi. Kita begitu bangga dengan citra-citra dan label palsu. Sungguh, kok sepertinya kita hanya hidup dalam hiper-realitas. Merasa bangga dan puas dengan berteriak: "Aku berbeda maka aku nyata."

Semoga kita bermufakat kali ini. Karena itu, izinkan mengucap kata melempar tanya: "Apa yang kita lawan?"

Aku merasa penat. Ingin istirahat. Tapi penggalan puisi Joko Pinurbo enggan permisi dari kelopak mata ini: "Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi."

Tuesday, May 23, 2006

Semoga...

Jika aku bilang aku sedang dalam pelarian, bukan berarti aku sedang melarikan diri. Meski aku memang dibesarkan oleh lingkungan, namun saat untuk melakukan sesuatu sudah tiba. Melakukan apa? Entah. Tak ada jawaban yang memuaskan.

Mungkin benar apa yang dicatat oleh Albert Camus, bahwa persoalan terbesar yang dihadapi filsafat sekarang adalah mencari alasan mengapa manusia tidak melakukan bunuh diri. Menurutnya hidup manusia hanyalah pendakian tanpa ujung. Kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana akan sampai puncak.

Orang lain bisa saja menjawab, "Ah, Camus kan bukan manusia bertuhan," Tapi pertanyaan itu hanyalah simplifikasi basi. Lalu apakah pertanyaan cukup dijawab dengan doktrin bahwa manusia dan jin tercipta semata-mata untuk beribadah? Jika memang begitu, bukankah dalam hadist Qudsi Dia menyatakan bahwa keengganan manusia untuk beribadah tak akan mengurangi secuilpun kuasaNya?

Terlalu banyak pertanyaan essensial yang tertinggal dan tak terselesaikan. Semoga hanya masalah waktu saja. Semoga hanya masalah waktu saja.

Tuesday, May 2, 2006

May Day 2006

Tak ada yang kulakukan untuk ikut merayakan hari buruh. Aku kelelahan setelah semalaman bertempur melawan kata-kata. Siang hari terjaga dan menyiapkan catatan untuk Grafiti Apresiasi Untuk PAT di rumah Pangapora. Yang aku berikan hanya segenggam doa agar buruh-buruh di dunia -terutama yang tinggal di sepanjang Gang Salak V,tempatku dibesarkan- selalu mendapatkan hak-hak mereka.

Oia, selamat juga kepada kaum buruh Indonesia untuk demo yang damai dan tidak anarkis.

Monday, May 1, 2006

Pram, Selamat Jalan

Catatan duka mengenang Pramoedya Ananta Toer

Aku bukan seorang Pramis. Meski sudah beberapa tahun kenal lewat karyanya yang dipajang di toko buku. Itupun tak semuanya terbaca. Hanya beberapa judul yang sempat kulahap. Setelah bergaul dengan manusia melek sastra aku baru sadar bahwa Pram adalah orang besar. Puluhan buku yang dihasilkan serta beberapa kali masuk nominasi penghargaan Nobel sastra adalah bukti eksistensi Pram sebagai manusia sebenar, bukan sekedar.

Pram bagiku adalah potret nyata sebuah dedikasi. Upaya-upaya yang ia lakukan untuk mencatat hidup merupakan bukti kesadaran diri. Pram bukan orang yang setengah jadi. Ia mempertaruhkan hidupnya demi sebuah prinsip yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Untuk hal satu ini kita berhutang kepadanya.

Aku bukan seorang Pramis. Meski begitu banyak yang aku ambil darinya. Tentang Jawanisme misalnya. Jawanisme bukan sekedar Jawa-sentris, yang mana menjadikan Jawa seagai pusat dan barometer kekuasaan. Jawanisme yang ditentang Pram adalah sikap taat dan setia pada atasan. Sikap inilah yang akan berujung kepada fasisme Jawa, sebuah sistem yang tumbuh dan berkembang pesat dalam masa Soeharto.

Jawanisme-lah yang bertanggung jawab atas jatuhnya Jawa di tangan penjajah. Ketika golongan priyayi menjadi alat pemerintah dan sawah milik desa disulap menjadi perkebunan. Sementara para petani hanya menjadi kuli diatas tanah mereka sendiri. Kondisi ini berlangsung terus-menerus. Rakyat yang miskin dan terbelakang tak tahu harus berbuat apa. Satu dua orang yang berani berbicara dihantam dan disingkirkan. Sisanya memilih diam tanpa perlawanan hanya karena satu hal: menghormati atasan. Hasilnya adalah generasi yang tak mampu (atau tak mau?) bertanya dan berargumen. Dan kita tahu, mental kuli itu masih dipelihara hingga kini. Terbukti, sampai sekarang Indonesia baru bisa menjadi negara pengekspor kuli terbesar di dunia.

Menurut Pram, dalam kehidupan keluarga Indonesia sekarang ini tidak diajarkan untuk berproduksi, melainkan hanya mengkonsumsi. Hasilnya adalah rakyat tidak tahu lagi bagaimana cara berproduksi, hanya jadi kuli, hanya jadi suruhan saja sepanjang hidupnya. Dan ketika mereka tak mampu berproduksi, mereka berusaha dengan korupsi: membuat orang lain korupsi atau dirinya sendiri korupsi.

Pram memang dilahirkan untuk melawan mitos. Ia berteriak agar bangsa Indonesia mau berpikir rasional dan menghancurkan mental pengemis. Kritikan ini tidak hanya ditujukan kepada kaum aristokrat saja, namun juga kaum agamis. Ia menganggap orang yang berdoa sama saja dengan pengemis. Pram terlalu percaya bahwa apa yang ada di dunia hanya bisa diubah dengan usaha manusia belaka, tanpa boleh mengidap ketergantungan kepada yang diatas. Boleh jadi Pram tidak sedang menyerang agama. Yang ia serang adalah sikap terlalu bergantung kepada unsur transendental dan enggan percaya kepada kemampuan sendiri. Maka ketika masyarakat berada dalam ketidakberdayaan akut untuk melawan mitos, gagasan Pram layak dielaborasi sebagai solusi alternatif memecahkan kebuntuan.

Indonesia adalah negeri yang dilahirkan dengan multi-kulturalisme kental. Ribuan pulau, puluhan bahasa, etnis, dan berbagai paham dan ideologi menjadi "kekayaan" bangsa ini. Namun dalam masa Orde Baru terjadi penyeragaman (homogenisasi) kultur secara masif. Upaya homogenisasi yang menuntut adanya doktrin atau ideologi tunggal pada akhirnya menciptakan masyarakat dengan budaya tertutup. Masyarakat tak mampu lagi berdialog dengan kebudayaan lain. Unsur-unsur baru yang masuk dicurigai dan dijauhi. Tak ada interaksi dan dialog satu sama lain.

Pram merasakan betul hal itu. Ketika kekerasan menjadi solusi bagi penguasa, ia adalah satu dari sekian banyak korban yang harus berada di penjara. Belum lagi penjarahan dan pembakaran kertas dan naskah ditambah pelarangan buku-bukunya. Tapi Pram tetaplah Pram. Penindasan yang dilakukan terhadapnya dibalas dengan karya-karya "berkelas Nobel". Dari sini nampak bagaimana semangat juang akan menjadi nyala bagi seseorang. Pram selalu ditekan, ia memilih untuk melawan. Karenanya Pram dan karya-karyanya akan selalu ada dalam sejarah.

Aku bukan seorang Pramis. Kurang bijak menempatkan Pram di altar agung tanpa cela. Sebagaimana yang ia yakini, dalam hidup kita harus bisa ber-dialektika. Tidak selamanya harus menganut logika oposisi biner: menyalakan satu saklar sembari mematikan yang lain. Ada yang bisa diambil, ada yang bisa ditinggalkan. Meski begitu, ada baiknya untuk bertanya: masih adakah orang-orang dengan visi keindonesiaan, memiliki –yang kata Bung Karno- visi nation and character building di sekitar kita?

Pram telah pergi. Dan kita merasa kehilangan. Konsep dan gagasan yang ia tinggalkan menjadi PR bagi kita: generasi muda Indonesia. Masih banyak yang harus dikerjakan untuk membangun jati diri dan karakter sejati. Pram mungkin kesepian, tapi kita tahu: ia tak benar-benar sendirian. Masih ada segelintir manusia yang memiliki kesadaran dan mulai menapaki jalan yang ia pilih. Jalan panjang yang menuntut dedikasi tinggi untuk menjadi seorang Indonesia sejati. Akhirnya, sepenggal kalimat dalam Bumi Manusia harus selalu diingat: "Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap, kalau tidak dia takkan jadi apa-apa."

Selamat jalan Pram, baik-baik disana. Kau tak perlu lagi berteriak menyuarakan ketidakadilan. Aku masih percaya kok, Tuhan itu Maha Adil.